Blogger Widgets

Senin, 22 Desember 2014

feature Ibu: Demi Perhiasan Hidupnya (Yudha Prima)

Demi Perhiasan Hidupnya
Posturnya memang kecil. Tidak tinggi, tidak gemuk. Namun selama puluhan tahun dia telah banyak menanam di hamparan lahan amalnya yang terus meluas. Dia juga telah memperpanjang goresan tinta emas malaikat Raqib di dalam buku catatannya. Empat tahun silam, sekitar dua bulan jelang Ramadhan, dia kembali membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu perempuan terhebat yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Di saat kebingungan melanda karena harus segera mengumpulkan dana kurang lebih 30 juta, dengan sepenuh kerelaan dan tanpa menyisakan senoktah keraguan, dia “titipkan” semua perhiasan emas dan peraknya ke Perum Pegadaian demi membiayai operasi dan 20 hari rawat inap  salah satu anaknya di RSUD Dr Soetomo Surabaya akibat musibah kecelakaan. Dia lebih rela kehilangan semua perhiasannya daripada kehilangan salah satu “perhiasan hidupnya” yang jauh lebih berharga.
Keikhlasan berkorban memang menjadi karakter utamanya sebagai sosok ibu. Tak pernah dia menuntut balik modal atas semua dana yang dibelanjakan untuk kepentingan keluarga. Baginya, suami dan ketiga buah hatinya adalah segala-galanya. Tak jarang, dia rela menyantap makanan yang tidak lebih lezat dibandingkan dengan masakan untuk orang-orang tercintanya. Dia selalu menjadi orang paling cemas saat terjadi sesuatu yang menimpa anak-anaknya. Di balik jasad kecilnya juga terpancar ketegasan, terutama mengenai hal-hal prinsip. Dia tidak pernah ingin mereka yang terlahir dari kandungannya kelak tersesat atau bahkan jatuh dalam jurang kehinaan. Walaupun kadang terkesan cerewet, namun dia juga tak ragu mengorbankan waktunya untuk menjadi figur yang membuat ketiga anaknya merasa nyaman berkeluh kesah, mencurahkan isi hati mereka. 
Bentuk pengorbanannya yang lain adalah dengan tidak menjadi seorang wanita karir. Beliau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga biasa. Dengan begitu, dia bisa punya banyak waktu untuk dijadikan sandaran suami dan anak-anaknya. Dia merasa bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah jihad terbaik yang bisa ia lakukan. Dia tidak pernah rendah diri di hadapan ibu-ibu lain yang berkarir di kantor.  
“Jangan lupa baca doa,” itu satu-satunya pesan yang tak pernah bosan ia sampaikan pada putera puterinya meski ia sendiri pun tak pernah lupa memasukkan nama-nama penghuni ruang cinta dan sayangnya dalam daftar doa setiap usai shalat. Dia meyakini bahwa doa bisa menjadi senjata penngiring ikhtiar untuk mencapai ridho Allah.
Itulah ibuku. Andai saja ada jutaan ibu yang seikhlas, setabah, dan sebesar pengorbanannya, alangkah indahnya dunia ini.

Yudha Prima

Surabaya, 22 Desember 2014

feature Ibu: Ibu (Diana Septiani Sari)

Oleh: Diana Septiani Sari
21/12/2014
IBU
            Langit senja terlihat dari balik jendela rumahku. Terdengar suara burung berkicau di atap rumah. Sosok perempuan parubaya terlihat masih sibuk memasak di dapur. Beliau adalah ibuku. Aku, adik, serta ayah menunggu di ruang makan untuk makan malam bersama. Suasana kebersamaan ini yang aku rindukan saat aku jauh dari orangtua. Masakan ibuku yang selalu aku rindukan ketika aku berada di Surabaya. Setelah makan malam selesai, tugas ibu belum selesai, ibu harus mendampingi adik belajar. Ibu yang selalu mengajari dan mendampingi adik saat belajar. Saat ibu mengalami kesulitan mengenai tugas adikku, ibu meneleponku bila aku tidak ada di rumah. Ibu meminta bantuanku untuk menjelaskan suatu materi yang ibu belum mengerti yang berada di buku mata pelajaran adikku. Aku mecoba untuk  menjelaskan kepada ibu sampai ibu mengerti. Ibu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya.
            Saat ibu tidur, terlihat kerutan halus di wajahnya. Aktivitas yang di kerjakan seharian penuh membuat ia lelah. Ibu tak pernah mengeluh, tak sepatah katapun yang terlontar dari lisannya. Senyumnya yang manis yang selalu aku rindukan bila aku tidak ada di dekatnya. Tutur katanya yang halus membuatku tenang ketika aku sedang galau. Ibu yang selalu memberiku nasihat saat aku banyak masalah. Juga menjadi teman setiaku meskipun aku tidak selalu berada di sampingnya.
            Saat rasa malas menyerangku, aku teringat ibu. Ibu yang tak pernah lelah untuk melakukan aktivitas apapun. Saat ibu sakitpun, ibu tetap melakukan aktivitas sehari-harinya. Tidak pernah absen untuk memberikan yang terbaik untuk suami dan anaknya. Yang menjadi panutan untuk anak-anaknya.

            Aku belum bisa membuat ibu bahagia. Kebaikan yang aku berikan kepada ibu hanya secuil dari semua pengorbanan yang di berikan ibu untukku. Suatu saat nanti aku akan membuat ibu menangis bukan karena kenakalanku, tapi karena prestasiku. Hanya untaian do’a yang selalu mengalir dari lisanku untuk ibu. Semoga Yang Maha Kuasa yang selalu mencurahkan kasih sayang-Nya kepada ibu.

feature ibu: Tak Perlu Menjadi Chef Internasional (Viva Latiefatus Yuroch)

Tak Perlu Menjadi Chef Internasional
Ditulis oleh: Viva Latiefatus Yuroch

Pagi hari pukul tiga setelah selesai dalam sujud tahajudnya, Ibu berganti seragam. Berangkat menembus dinginnya pagi, rela menanggalkan selimut dan hangatnya rumah untuk menuju  ke tempat kerjanya. Saat matanya yang masih sepet harus pula ditambahi oleh pedih karena mengupas bawang. Pekerja catering tidak boleh mengeluh tangannya panas karena mencuci cabai atau mual karena anyir darah ayam. Ibu seorang pekerja catering di daerah yang tak jauh dari rumah kami. Sebuah catering yang setiap harinya selalu menerima pesanan untuk makan siang sebuah pabrik. Jadi bisa dipastikan kalau tidak pernah ada hari libur untuk beliau.
Wanita Jawa tulen akan selalu berkata pada anak perempuannya “Sepandai-pandainya seorang wanita ia akan kembali ke dapur juga. Jadi tak ada salahnya kalau kamu belajar masak.” Kutipan itu seringkali digaungkan di telingaku bahkan sampai usiaku yang ke Sembilan belas tahun ini. Ibu adalah orang tak pernah bosan mengajariku. Mengenal mana ketumbar mana merica. Membedakan mana lengkuas, jahe, kunyit dan rempah lainnya. Ibu tidak pernah lelah.
Wanita kelahiran Surabaya 5 Mei 1955 itu telah dengan sangat baik mempengaruhi pola pikiranku. Aku sangat tahu betul apa yang menjadi kegemaran Ibu. Beliau sangat menyukai memasak. Tangannya begitu lincah meracik berbagai macam bahan untuk menjadi makanan yang luar biasa enak. Atau bahkan hanya sekadar menyajikan kudapan untuk menemani kumpul kita di sore hari. Bahkan ketika saat tersulit itu datang…
Tahun 2004 silam, Bapak yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga kami mendadak harus mengalami sakit yang parah. Stroke telah merenggut sebagian aktifitas beliau. Dan silahkan kalian tebak, siapakah yang harus banting setir menambah pekerjaannya? IBU. Kenapa aku sebut ‘menambah’. Ya, karena Ibu harus berperan ganda bahkan lebih. Beliau harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi istri dan menjadi seorang ibu untuk aku.
Ketika aku bertanya “Hendak bekerja apa nantinya Ibu?.” Dengan senyum yang tergurat di wajahnya beliau tenang menjawab “Memasak.” Ibu mendadak melejit menjadi tukang masak andalan catering itu. Banyak pelanggan merasa puas karena masakannya. Tak sia-sia berarti kerjanya dari shubuh sampai ba’da ashar itu. Pulang ke rumah pun Ibu masih harus disibukkan merawat Bapak yang lumpuh. Meladeni makan, mengganti popok atau sekadar menemani Bapak mengobrol. Aku tahu itu sangat melelahkan, tapi sekalipun aku tak pernah mendengar Ibu mengeluh.
Tak ada pekerjaan yang tanpa resiko. Tak jarang ketika pulang aku menyalami tangannya dan mendapati tangannya melepuh karena minyak, terkoyak parutan kelapa. Tapi itu beliau lakukan untuk memenuhi kebutuhan kami, menyekolahkan aku yang saat itu masih kelas tiga sekolah dasar. Satir memang, ia bekerja memasak kepada orang lain mengupas makanan yang enak-enak hanya untuk membuat keluarganya makan nasi plus telur ceplok atau berganti menu ala kadarnya. Upahnya kala itu hanya Rp 500.000,- , rasanya tak cukup untuk biaya makan, bayar listrik, membeli sabun sampai membayar sekolah dan uang sakuku. Lantas darimana Ibu menambal kekurangannya? Rupanya beliau ada bisnis terselubung. Seusai shalat maghrib, sembari menemani aku mengerjakan pe-er, Ibu membuat jajanan seperti ; pastel, lumpia , tahu isi, dll. Paginya akan beliau titipkan untuk di iderkan oleh Mbok Jamu.
Hasilnya bekerja keras itu rupanya mampu menyekolahkan aku sampai lepas SMA. Tenangnya seperti tak pernah ada habisnya, masih kuat untuk merawat seorang laki-laki tercinta di hidupnya. Menyuapinya dengan sungguh, padahal aku sendiri tahu beliau kadang juga menahan lapar. Saat itu aku pernah ikut Ibu kerja di satu hari libur, Ibu jarang sekali makan siang. Paling hanya nyemil satu dua tempe goreng. Tapi saat kakinya menginjak rumah yang pertama kali beliau tanyakan adalah “Bapak sudah lapar? Ayo makan”
Passion Ibu dalam memasak sungguh luar biasa. Semangatnya yang subhanallah selalu bisa menginspirasiku dari segala sudut kehidupan. Hal sesederhana seperti memasak ternyata mampu menjadi kebanggaan untuk dia. Beliau tak perlu menjadi chef internasional untuk membuatnya merasa hebat. Kala kutanya padanya Ibu hanya menjawab “Ibu sudah senang bisa bekerja pada sesuatu yang Ibu suka.” 19 Juni 2014 kemarin bisa jadi pukulan terdahsyat yang menghantamnya. Laki-laki tercinta dalam hidup Ibu dan aku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Bapak meninggalkan kami berdua. Aku tahu ada sembilu yang coba beliau sembunyikan. Dalam keadaan demikian pun kalimat yang sungguh luar biasa seakan mudah sekali keluar dari mulutnya “Inilah hebatnya menjadi seorang Ibu dan seorang istri. Mereka bisa memasak dan membahagiakan keluarga dengan masakan-masakannya. Ibu senang sudah menemani dua puluh lima tahun dalam hidup Bapak kamu dan menjadi kebanggaanya. Itu sudah pernghargaan tertinggi dalam hidup Ibu.” Subhanallah, Engkau menciptakan hati Ibu dari apa sih ya Allah ?

feature ibu: Ibuku Mengalahkan Superman (Ryan P Putra)

“Ibuku Mengalahkan Superman”
Ditulis oleh: Ryan P Putra

Jangan panggil seorang wanita dengan panggilan “Ibu” jika tidak memiliki aktivitas super! Tentu saja, aktivitas super ini pasti dimiliki oleh seorang ibu. Seperti ibuku yang memiliki aktivitas super. Namun, aktivitas supernya bagaikan aktivitas Superman.
            Superman adalah pahlawan yang berotot besar dan sangat kuat. Akan tetapi, ibuku tidak memiliki otot-otot yang besar, namun ibuku sangat kuat. Bahkan kekuatannya bisa dibilang dapat mengalahkan Superman. Jika Superman dapat mengangkat gedung-gedung selama beberapa detik saja, tetapi ibuku dapat menggendongku selama 3 tahun lamanya. Karena saat itu aku belum bisa berjalan. Tak hanya ayahku saja, ibuku juga dapat membawa beban hidup keluargaku. Meskipun ibuku dapat membawa itu, ibuku tidak mengeluh sedikit pun atas yang ia bawa selama ini. Ibuku mengalahkan Superman.
            Jika terjadi kebakaran, Superman dapat meniup kebakaran tersebut dengan rentang waktu beberapa detik saja. Akan tetapi, jika makananku panas, hanya ibuku yang dapat meniupnya. Ibuku dapat meniup makananku selama 3 kali dalam sehari serta dalam rentang waktu 5 tahun lamanya. Karena saat itu aku belum bisa makan sendiri.  Ibuku mengalahkan Superman.

            Selama 37 tahun, aku tidak menyangka bahwa ibuku dapat mengalahkan sosok sehebat Superman. Kini aku tersadar bahwa ibuku dapat mengalahkannya. Meskipun ibuku tidak berjubah sepertinya dan berubah terlebih dahulu untuk melakukan segala aktivitas sepertinya, ibuku dapat mengalahkan Superman dengan bukti-bukti yang telah aku terima dan jalani. Ibuku mengalahkan Superman.

Feature Ibu: Tahu Mengering Termakan Lambung (RIzka A)

Tahu Mengering Termakan Lambung
Ditulis oleh: Rizka A
Jumat kelabu rintik-rintik hujan membasahi dapur tak berjendela dan tak berpintu itu. Sosok wanita tua berwajah segitiga terbalik itu sedang sibuk mengiris bawang putih. Guratan kasar tergambar di wajahnya yang selalu nampak letih. Matanya yang berwarna sedikit keabuan di bagian pinggirnya. Tangannya tak sehalus dulu, tak licin seperti bawang putih yang baru dikupasnya.
Ia begitu fokus menggoreng tahu untuk camilan sore hari yang dingin. Anak perempuan dan laki-lakinya terheran karena tak biasanya wanita tua itu berperilaku seperti saat ini. Wanita itu menjadi sosok ibu yang sebenarnya, yang biasanya ia sibuk menjadi seorang ayah. Sesekali ia memanggil anak perempuannya yang berwajah segitiga dan tak mewarisi sifatnya sama sekali. Anak perempuannya yang merupakan si sulung itu tampak senang mencipratkan air bekas cuci piring ke rambut adiknya. Wanita tua itu berteriak keras seperti biasanya. Suaranya menggelegar penuh percaya diri dan ketegasan. Ia melerai dua buah hatinya untuk segera berhenti dan membantunya membuat gorengan. Seperti biasanya, si bungsu segera lari dari tanggung jawab dan lebih memilih mencuci motornya di halaman rumah. Tinggalah si sulung yang sedikit ogah-ogahan membantu, karena ibunya itu sungguh berisik sekali dan suka bertanya-tanya seputar info pribadinya atau keadaan dirinya selama 4 hari dalam seminggu pergi menuntut ilmu ke kota orang.  
Dua orang berbeda karakter itu akhirnya terhenyak di dalam lamunan panjang seiring air hujan tumpah ruah dan aroma sedap dari minyak panas perlahan menyeruak hidung. Si sulung ternyata lebih memilih bungkam untuk tidak membeberkan permasalahan pribadinya. Wanita tua yang melahirkan dua buah hati yang bergolongan darah berbeda satu sama lain itu terus membolak-balik tahu. Tahu yang menguning, lalu perlahan berubah kecoklatan dan bagian luarnya mulai mengering. Tahu yang mengering, tak kenyal lagi, dan akhirnya raib tertelan lambung manusia. Seperti siklus hidup manusia dari yang segar hingga layu. Seperkasanya wanita, akhirnya akan lunglai juga seiring tua renta menyerang usianya.
Tiba-tiba, terbenak dalam hati si sulung bahwa setelah ibunya tiada nanti tanggung jawabnya akan semakin besar. Ia harus dapat menjadi panutan bagi 4 adiknya yang terletak di berbagai tempat. Meski hanya adik pertamanya yang berada di rumah itu, namun adik-adiknya yang lain masih membutuhkan bimbingan darinya. Adik-adik tirinya. Yang masih sangat belia dan si sulung tak ingin mereka bernasib sama seperti dirinya. Hidup yang penuh keheningan tanpa suara tawa yang hangat.  
Dari hal sepele saja yang ingin dilakukan si sulung sedari dulu adalah mendapat bimbingan keterampilan dasar seorang wanita dari ibunya, seperti membuat camilan sederhana yang dilakukannya hari ini. Tapi sayangnya, si ibu jarang sekali meluangkan waktu mengajarinya menjadi wanita sejati. Mungkin rintik-rintik hujan sore ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi si sulung meski tak menampakkannya secara langsung, malah terkesan cuek.

Minggu, 21 Desember 2014

[Feature Hari Ibu]: "Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" karya Ken Hanggara

    "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.

    Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

Jumat, 12 Desember 2014

Cerpen Tanaman Tanpa Buah Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi,Sidoarjo)

Tanaman Tanpa Buah
Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi,Sidoarjo)
Pada pukul 5 pagi, aku harus sudah siap untuk bekerja. Cita-citaku adalah petani.Di dekat rumahku, aku memiliki lahan yang luas. Aku sempat berpikir untuk mengganti cita-cita. Tetapi aku bingung harus berganti apa. Hmm... sambil mencari kesibukan, aku pergi ke hutan dengan bersepeda.
Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Mbak Uri. Dia adalah salah seorang kakakku yang baik hati.
“Kakak sedang apa?” tanyaku.
“Ini sepertinya ada biji yang tersebar disini,” ucap Mbak Uri.
Aku memandang ke arah yang ditunjuk oleh Mbak Uri sambil mencoba menebak apa yang akan dilakukannya terhadap biji-biji itu.
“Bintang, apa kamu mau membantuku untuk mengambil biji-biji ini, nanti akan kita tanam di halaman rumah,” ajak Mbak Uri.
“Oke,” sahutku.
Aku membantu Mbak Uri. Sesampainya di rumah, aku dan Mbak Uri langsung menanam biji-biji itu di dalam tanah. Setiap hari aku memberinya air, pupuk, bahkan yang paling aneh aku sering memandanginya hingga melotot.
Suatu hari, desa yang kutempati mengalami kekeringan. Semua lahan mati, tumbuhan di jalan-jalan layu. Aku pun bersedih. Meski begitu, kasih sayangku terhadap tumbuhan yang kutanam bersama Mbak Uri tidak ikut rontok. Tetapi, aku makin lama makin putus asa. Tumbuhan itu tidak mau tumbuh.
“Sudah tidak ada harapan lagi. Seluruh tumbuhan di desa kita akan mati kekeringan,” ucap Pak RT. Mendengar itu, aku langsung pulang.
Aku penasaran dengan tumbuhan yang kutanam itu. Akhirnya aku melakukan penggalian. Mbak Uri ikut membantu. Setelah kucangkul sepenuh tenaga, aku sangat terkejut. Ternyata tumbuhan itu berbuah di dalam tanah.
“Aku mau cicipi. Mungkin rasanya enak,” ujar Mbak Uri saat melihat tanamanku tumbuh subur di dalam tanah.
“Wah, benar. Rasanya enak sekali!” seru Mbak Uri kegirangan. Aku senang mendengarnya. Tak lama kemudian, Pak RT datang bersama para warga. Rupanya kabar tentang berbuahnya tanamanku itu menyebar dengan cepat.
“Bintang, ini adalah makanan terlezat yang pernah Bapak makan,” puji Pak RT.
Aku senang. Desaku hijau lagi. Dan yang tak kalah penting, aku bertekad tidak akan mengubah cita-citaku. Ya, menjadi petani, itulah cita-citaku.



Sabtu, 01 November 2014

Cerpen Cahaya Illahi Karya Nazhifah Firyal Jasmine, siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)

Cahaya Illahi
(Karya: Nazhifah Firyal Jasmine, siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)
Kubuka dan kulihat dompetku berulang kali. Perutku terasa kian keroncongan. Entahlah, pikiran apa yang melintas di otakku. Ah, aku membayangkan jika kupunya uang banyak, tentu tak mungkin perut ini berbunyi.
Tiba-tiba dan tanpa berpikir panjang, kuambil linggis dan kukenakan penutup mukaku. Aku melompat keluar sambil menggenggam linggis, Aku berlari tapi perlahan. Celingak celinguk melihat keadaan sekitar. Memastikan tak ada orang melintas. Kulihat rumah besar yang sangat sunyi. Sepertinya, pemilik rumah itu sedang keluar dan tak ada satpam yang menjaganya. Kuayunkan linggis sepelan mungkin agar tak terdengar orang-orang. Jendela pun terbuka. Aku melompat masuk ke dalam rumah. Aku bersembunyi di belakang TV besar. Kupastikan tak ada orang. Langsung kutarik kabel TV itu dan kuangkat keluar. Kesuksesan aksiku terbayang di pelupuk mataku.
Namun bayangan itu sirna. Mendadak terdengar bunyi sirine mobil polisi berpatroli. Aku berusaha berlari sambil membawaTV curianku. Tapi apa daya polisi patrol menmbak kaki kiriku. Aku akhirnya jatuh terhuyung namun tetap kupaksakan berlari meski terpincang-pincang dan kakiku mulai mengeluarkan darah. Tiba-tiba ada polisi menghadang lariku. Hingga akupun akhirnya bisa ditangkap. Aksiku berakhir juga.

Beberapa bulan kemudian…
Di salah satu ruang penjara, aku mulai memikirkan peristiwa demi peristiwa yang kujalani. Hampir semua media mulai dari televisi hingga korang memuat berita tentang aksiku/ Kurenungkan lagi apa yang kuperbuat. Kemudian muncul niatku untuk melakukan pertaubatan. Mungkin saja Allah masih mau mengampuni semua kesalahanku.
***
Hari kebebasan tiba. Aku bahagia sekali saat melangkah keluar dari penjara. Aku bergegas menuju sebuah masjid.  Aku sudah membulatkan tekad untuk bertaubat. Disana aku berkenalan dengan seorang ustadz yang kujumpai pada saat sedang mengaji. Aku menghampirinya, bermaksud untuk mencuragkan semua isi hatiku.
”Assalamu’alaikum Pak Ustadz. Bolehkah saya menceritakan sesuatu?” kataku pada ustadz itu.
“Wa’alaikumsalam. Silakan!” sabut Pak Ustadz ramah.
 Kutarik nafasku lalu kehumbuskan perlahan/ Kubuka suara untuk bercerita.
”Begini, dulu saya pernah mencuri namun kemudian tertangkap polisi. Beberapa bulan saya merenung hingga akhirnya terpikir untuk bertaubat. Setelah bebas, saya pun lantas ke masjid ini, ingin bertaubat dengan sungguh-sungguh.”
“Alhamdulillah. Bagus kalau ada keinginan begitu. Nah sekarang, segeralah berwudhu, lalu shalat dan mengaji ,” perintah Pak Ustadz.
Aku bergegas melaksanakan semua yang disuruh Pak Ustadz. Terasa di hatiku sebuah  petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Kulakukan semuanya dengan ikhlas. Kini aku bukan lagi seorang pencuri. Aku sekarang menjad orang yang gemar beribadah dan bersedekah. Perbuatanku yang telah lalu kujadikan lembaran hitam yang sekarang menjadi lembaran putih

Kamis, 02 Oktober 2014

Cerpen: Friendship karya Farica Yasmin Carmela (Siswi kelas 5A SD Roudhotul Jannah, Pepelegi, Sidoarjo)

Friendship
Karya: Farica Yasmin Carmela (Siswi kelas 5A SD Roudhotul Jannah, Pepelegi, Sidoarjo)
Kulalui hidup ini dengan penuh kasih. Tanpa ada penyesalan hati. Tanpa rasa ragu yang menundaku. Hari ini hari Sabtu, hari yang paling tidak aku sukai. Di luar sana mungkin banyak orang yang mengisi harinya dengan refreshing dan semacamnya yang membuat hidupnya lebih bahagia. Tetapi aku? Tidak satupun ada kebahagiaan yang melewatiku. Tak ada sahabat. Sepi.
Oya, perkenalkan, namaku Aurellya. Semua sahabatku hilang, lenyap. Aku tidak tahu siapa yang tega melenyapkannya. Sekarang aku mengikuti hari pelatihan di sekolahku. Aku masuk kelas akselerasi. Entah kenapa nafsuku mengalir begitu saja. Tidak ada yang pernah aku sesali. Aku sangatlah “bahagia” walaupun semua sangat sepi. Sekarang aku duduk di bangku depan. Kuberanikan diri untuk berkenalan dengan demua teman di setiap sudut. Ya, apalagi yang ada di dekatku adalah anak yang paling pintar, cantik, tinggi, dan yang pasti baik.
Kumulai hari ini dengan hari yang baru. Kubuka lembaran baru. Kubuang semua lembaran rapuh yang tak perlu aku sesali. Ya, aku meminta supaya temanku itu bermain padaku. Namanya Rachel. Kuajak dia ke taman, kolam renang, sampai ke rumahku. Aku sangat bangga padanya.
“Rachel, besok kan ada acara OSIS. Kamu bareng sama aku ya?” ajakku penuh harap.
“Ya, oke,” jawabnya dengan senyum manis dan matanya yang sipit.
Pulang sekolah kusempatkan untuk membeli kado sepulang sekolah. Akan tetapi apa yang terjadi? Ah, uangku habis. Kukayuh sepedaku dengan penuh harap supaya cepat sampai ke rumah. “Ayoooo…. Sampai…,”seruku dalam hati. Setelah sampai di rumah aku melihat rumahku yang sangat kosong. Tampak gelap gulita. Kuberanikan diriku untuk masuk ke dalam. Kubuka pintu kamarku dengan sangat pelan. KRIEEEEK… Pintu terbuka. Akupun cepat-cepat mengambil uang yang ada di celenganku. Aku menelpon Rachel terlebih dahulu. Tetapi dia malah tidak mengangkatnya. Tiba-tiba daia menelpon balik.
“Selamat datang my best friend forever,” katanya di telepon.
  “Selamat juga my best friend forever,” kataku geli. Kuakhiri obrolanku. Kemudian aku berlari menuju took untuk membeli kado. Sekembalinya aku di rumah, aku merasa semakin bahagia.
Esok pagi aku bersiap-siap datang ke acara OSIS. Dengan penih harap supaya Rachel menerima kadoku. Dengan rasa bahagia alu memberikan kado itu ke Rachel. Tetapi apa yang terjadi? Dia malah mentertawanku dan mempermalukanku di depan semua orang yang datang.
“Oh, This is friendship!” Aku harus tabah menerima semua ini. Aku pun berlari dan menyendiri. Biar Tuhan yang membalasnya. Kujadikan semua ini menjadi lembaran yang rapuh. Aku bahagia. Sangat bahagia. Jangan ada penyesalan. Inilah hidupku. Aku bahagia menghadapi semua itu karena kau telah mengisi sela-sela hidupku ini. Seperti air, kau telah menghilangkan dahagaku..

*Cerpen ini terpilih menjadi cerpen terfavorit bulan September program ekskul menulis cerpen kelas 5 SD Roudhotul Jannah, Pepelegi, Sidoarjo

Sabtu, 12 Juli 2014

Cerpen Kentang Goreng Spiral Karya Rizuka Anda Roshita

KENTANG GORENG SPIRAL
(Rizuka Anda Roshita)

“Sesibuk-sibuknya kamu, jangan pernah merasa tidak punya banyak waktu untuk orang yang memang tidak punya banyak waktu lagi, atau nanti kamu akan menyesal...”
Sore menjelang petang, kuselonjorkan kakiku di bangku taman yang bersebelahan dengan masjid yang lumayan megah di kota ini. Sejuknya udara kota ini sesekali membuat tubuhku tak mau beranjak dari tempat duduk. Kunikmati kentang goreng spiral aroma pizza. Warna kentang yang kuning kecoklatan bertabur bumbu kemerahan, begitu renyah, saat gigi taringku mencabik-cabiknya. Ah, makanan ini mengingatkanku pada sosok ibu yang meninggal 5 tahun silam, saat aku masih duduk di bangku kuliah semester 4. Ibu adalah penjual kentang spiral pula, dan dagangannya selalu laris diserbu pembeli dari berbagai kalangan usia.
Ibu berjualan kentang goreng spiral seorang diri dari umurku 5 tahun, lebih tepatnya 5 tahun setelah kepergian ayah. Dari kecil, aku jarang membantu ibu. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku di rumah untuk belajar. Aku bercita-cita menjadi seorang dokter spesialis kandungan. Mau tak mau, karena aku bukanlah anak orang kaya, aku terus memeras otakku sepanjang hari untuk mengerjakan sederetan soal yang rumit.
Beruntung kepandaian ayah menurun padaku. Dari kelas 1 SD hingga 3 SMA, aku selalu mendapat peringkat 1. Aku dikenal sebagai siswi yang rajin, tekun, dan berprestasi di sekolah. Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, aku bahkan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah daerahku untuk bersekolah di salah satu SMA favorit di kabupaten Kediri. Aku masih ingat betapa saat itu air mata kebahagiaan tak pernah surut dari kelopak mata ibu yang mulai menua. Jahatnya, aku malah menyuruh ibu mengusap air matanya. “Wes talah, Mak e, ra usah nangis! Isin aku mengko nek kepala sekolahe mrene. Ndang salin trus macak seng ayu, ben sampean ra ngisin-ngisini aku!1)
Sore itu tak henti-hentinya ibuku menyalami bapak bupati dan calon kepala sekolahku. Jujur waktu itu terbesit rasa malu dalam hatiku. Aku tak percaya, ibu sebegitu melankolisnya. Kontan aku menyikut siku ibu keras dan memelototinya tajam. Mengisyaratkan agar ia segera menghentikan aksinya dan tampil layaknya wanita elegan.
***
            Aku berhasil meraih cita-citaku berkat ketekunanku dan keberuntungan yang menyelimuti hidupku. Aku adalah mahasiswa bidikmisi jurusan Pendidikan Dokter Umum di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta. Masih sama seperti saat bersekolah dulu, di kampus aku juga dikenal dengan mahasiswa berprestasi dan  menjadi juara 1 mawapres di kampusku. Aku tak mengenal cinta dan hanya terfokus mengenal cita-cita. Meski tak dapat dipungkiri aku menaruh hati pada kakak seniorku sendiri.
            Yogyakarta tidaklah sama seperti tempat tinggalku. Untuk menyokong biaya hidup yang tinggi, aku menambah uang jajan dan keperluan wanita lainnya, aku bekerja paruh waktu sebagai guru les privat. Aku memang anak kampung, tapi aku tak ingin penampilanku kampungan. Agar bisa sejajar dengan teman-temanku dalam hal fahionita, gadget, kamar kos, aku harus mati-matian mengumpulkan pundi-pundi rupiah tiap harinya. Apalagi dengan predikatku sebagai mawapres Universitas terkenal di Indonesia tersebut.
            Selain mahasiswa dan guru privat, aku juga seorang aktivis kampus. Aku sangat jarang pulang, mungkin hanya setahun sekali, saat hari Raya dan puasa. Aku tak pernah mau tahu kondisi ibu yang semakin tua dan melemah. Ibu masih setia dengan gerobak reyot dan kentang goreng spiralnya yang melegenda di tempat tinggalku. Kata orang-orang, demi bisa mengirimiku uang makan, disamping beasiswa bidikmisiku dan gaji les privat, ibu harus berjualan dari pagi hingga pukul 9 malam. Rumahku berada di area kampus Inggris Pare yang terkenal di seluruh Indonesia. Ibu berjualan di sekitar masjid megah, yang disampingnya juga terdapat taman bermain.
            “Mak e kangen sampean, Nduk! Ndang muleh, riyoyoan kurang sediluk.2)” ujar ibuku lewat telepon suatu hari, yang tak begitu aku gubris. Aku malah sibuk belajar biola pada temanku yang mengikuti UKM Musik.
            “Mak, ongkos Jogja Kediri kuwi larang, sampean ra mesakne aku bondo ongkos akeh?!3)” ujarku sedikit membentak dan segera menutup telepon.
***
            Ibuku ternyata mengidap jantung lemah dan aku sebagai calon dokter tak pernah menyadarinya sama sekali. Pagi itu, aku dan ibuku baru saja menunaikan salat Idul Fitri di masjid tempat ibu berjualan sehari-hari. Seusai salat, ibu tiba-tiba saja membaringkan tubuhnya di kasur. Aku terheran. Padahal biasanya ibu paling bersemangat membersihkan rumah dan mengeluarkan kue-kue buatannya.
            “Mak e, Shinta lan adik e mrene! Sampean kapanan kae ndoleki wong loro kuwi.4)
            Tak ada sahutan dari ibu. Aku yakin volume suaraku cukup keras untuk didengar dalam ruangan rumahku yang hening itu. Aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar ibu. Saat itulah tangisku meledak seketika ketika menyadari bahwa satu-satunya keluarga kandungku yang kupunya, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
***
            Adzan maghrib segera berkumandang. Segera kuhapus air mataku. Kulangkahkan kakiku menuju masjid dekat taman tersebut. Sehari sebelum kelulusan, aku memang ingin pulang, berziarah ke makam ayah dan ibu, dan memberitahu bahwa putri kebanggaan mereka telah berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter, dan mendapatkan beasiswa kembali untuk melanjutkan kuliah kedokteran jenjang spesialis kandungan.
            Namun tetap saja itu tak ada artinya setelah kematian kedua orang tuaku. Padahal aku ingin fotoku yang memakai toga kelulusan berada diapit oleh ibuku. Ya, ini memang pelajaran berharga untukku. Andai saja aku tak sibuk belajar. Andai saja aku membantu ibu berjualan. Andai saja aku tak terbawa arus pergaulan kota besar. Mungkin ibu akan mendampingiku lusa besok di acara wisudaku. Dan dengan bangga, sebagai lulusan terbaik tahun ini, aku akan berkata di hadapan wisudawan yang lain, “Saya bangga, meski saya anak seorang penjual kentang goreng spiral, namun wanita hebat ini berhasil menyekolahkan saya hingga jenjang perguruan tinggi seperti sekarang ini!”
            Ya, andai ibu masih ada, aku berjanji akan mengatakan hal tersebut tanpa rasa malu sedikitpun. Namun, waktu yang hilang, tak dapat dibeli kembali.
***





Selasa, 03 Juni 2014

Puisi: "Sajak Kerinduan" karya Surya Prima Abadi

Sebuah sajak yang ku tulis kala hati mulai buram,
buram akan cahaya terang dari arti sebuah cinta.
Cinta yang dulu mengguyur begitu segar dan deras,
kini mulai menetes demi tetes, sedikit demi sedikit menyisakan kerinduan.
Kerinduan yang seolah menyiksa batin dan nurani
kerinduan yang mencoba meruntuhkan benteng ketabahan
entah sampai kapan benteng ini dapat bertahan,
bertahan dalam serbuan besar kerinduan.
Mungkinkah setetes cinta yang masih ada
mampu menjadi samudera cinta yang luas dan dapat menghilangkan
beban berat kerinduan yang kini mulai menumpuk dan membebani hati yang mulai rapuh.
Sebuah sajak ini yang ku tulis hanya sebuah harapan,
agar kerinduan yang kini ku rasa dapat ku bagi dalam tulisan ini.
Lewat sebuah sajak ini pula, ku harap menjadi obat
dalam derita kerinduan yang ku rasa.
Inilah sajak kerinduanku..
By: Surya Prima Abadi
     
Alasan ku suka menulis puisi, karena puisi itu seakan mengajak ku untuk bermain dalam angan-angan indah.
hehehe :)

Sabtu, 19 April 2014

Puisi Pada Sebuah Kursi Karya Rabiatul Hasanah

Pada Sebuah Kursi
Karya: Rabiatul Hasanah (siswi SMA Al-Irsyad Surabaya)

Pada sebuah kursi
mereka bercengkrama
entah apa yang mereka bicarakan
berbicara tapi tak nyata

Mungkin mereka sedang sibuk
atau hanya menyibukkan diri
ada yg fokus pada topik
adapula yang hanya menatap kosong

Ah, dasar sombong sekali mereka
jas hitam memperindah tubuhnya
datang dan membuang waktu
aku tak habis pikir untuk apa mereka begitu

Pada sebuah kursi
duduk dan terdiam
sesekali bola matanya berkeliling
mungkin mereka sedang berpikir keras
atau merancang garis permainan

Aku terkagum kagum dibuatnya
hebat sekali mereka
hanya berprofesi duduk
materi mengaliri kehidupannya




 Surabaya, 17 April 2014

Jumat, 11 April 2014

[Cerpen]: "Pohon Asem Keramat" karya M. Sholiha



Sudut-sudut kecil, lorong-lorong kecil, tempat-tempat kecil, pojokan-pojokan, dan tempat apa pun yang sunyi dan terpencil. Apakah sesuatu yang kecil itu bermasalah? Mungkinkah? Mungkin iya di desaku. Desa Sukamakmur yang agak jauh dari jalan aspal. Jalan paving pun hanya sebagian yang nampak dan ada pula yang tidak lagi mematuhi barisan garis paving-nya, hingga sepeda yang kunaiki berbunyi gronjal-gronjal mengguncang perutku. Kukayuh sepeda ontel yang berwarna biru tua itu dengan cepat. Menembus hitam pekatnya malam. Napasku tersengal-sengal dibuatnya, hanya untuk cepat-cepat menuju rumah dan melarikan diri dari depan tempat itu.
“Mbak Nilam..., terdengar dari jauh suara parau memanggilku.
 “Iya....”
“Tungguin aku, Mbak!” teriak suara itu lagi.
Aku mengerem sepedaku tapi tidak serta merta berhenti. Menunggunya menghampiriku.
“Mbak.... tungguin aku ya, setiap pulang diba’an. Aku takut banget kalo sampai di depan pohon itu, pintanya setelah ia berhasil mengejarku.
“Memangnya pohon itu kenapa sih? Biasa aja deh kayaknya, lagian kan lokasinya di depan masjid.
“Katanya sih ada putih-putih gitu loh!”
“Putih-putih apaan? Gak ada apa-apa kok. Kamu kan bisa ngaji, bacain aja An Naas atau Al Fatihah,” bantahku sekenanya.
“Yah, Mbak, pokoknya nanti kalo pulangnya lewat sini, Aku bareng sama Mbak”.
“Oke-oke, nanti Aku tungguin pulangnya biar bisa bareng”.
***
Pagi itu tidak seperti biasanya. Padahal suasana masih pagi sekali dan dingin pun masih menyembunyikan dirinya pada selimut-selimut tebal bergaris. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Biasanya pukul tersebut adalah waktu untuk mengais rejeki bagi para pedagang. Di desaku, banyak orang yang bekerja menjadi pedagang, terutama pedagang sayur. Mereka sudah mempunyai pelanggan-pelanggan yang kebanyakan orang-orang Surabaya. Lumrah, karena para pedagang tersebut menjajakan dagangannya di Surabaya. Tapi, tidak untuk kali ini. Pagi ini mereka tidak pergi kerja. Mereka ikut bersuara di pilkades. Sehingga hari itu sangat ramai dan ada pula rasa takut yang tiba-tiba muncul bila calon lurah idolanya kalah bersaing dengan lawannya. Maklum saat itu adalah hari H pemilihan lurah di desaku yang diikuti oleh tiga dusun. Ada tiga calon dalam pilkades kali ini. Dua calon berasal dari desaku.
Banyak sekali trik-trik atau semacam ritual-ritual yang dilakoni warga untuk keberhasilan calonnya meraih kursi kepala desa. Salah satunya adalah dengan selametan di bawah pohon asem besar yang terletak di depan masjid. Menurut warga desaku, di pohon tersebut ada penghuninya atau sesosok makhluk halus yang menjaga wilayah sekitar pohon itu tumbuh. Mereka memanggilnya “buyuk”. Setiap ada hajatan, mereka selalu memberi sesajen di bawah pohon asem tersebut, katanya buat tolak balak.
“Allahu akbar....Allahu akbar...,” terdengar salah satu pengikut atau pemilih salah satu calon lurah yang menggemakan takbir dan diikuti oleh seluruh pemilih yang lain. Mereka mengantarkan calon kesayangannya ke balai desa, persis seperti berangkat perang. Sebelumnya mereka mampir sebentar ke tempat “buyuk”, yaitu di bawah pohon asem tersebut. Sedangkan calon lain dari desaku juga, ia dan rombongannya tidak terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Ia berangkat lebih awal, tapi entah kapannya tak jelas.
            Singkat kata singkat cerita, pilkades dilaksanakan seperti biasa hingga selesai pukul 12.00 WIB. Tepat pukul 13.00 WIB, perhitungan suara dimulai dan akhirnya diketahui siapa pemenangnya. Ternyata calon yang berhasil merebut kursi kepela desa adalah calon yang terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Warga menganggap itu semua karena berkah dari “buyuk” yang menghuni pohon asem itu.
“Bu, memangnya pohon itu benar-benar membawa keberkahan ya?”  tanyaku pada Ibuku.
“Gak usah percaya sama orang-orang,” kata Ibuku ketus.
Menurutku, pohon itu biasa-biasa saja, hanya tubuhnya yang semlohai dan tinggi menjulang serta membopong ranting-ranting berdaun dan berbunga yang mengeluarkan asem. Kalo lagi panen, uuuhhh... buahnya besar-besar dan bila dijual, hasilnya menjanjikan. Apalagi kalo ranting yang membopongnya sudah tak kuat lagi, sebab buah asemnya telah matang, bisa-bisa jadi hujan asem. Sementara anak-anak, tua muda laki-laki atau perempuan berjejal-jejal menunggu rontokan asem dari atas pohon yang dikoyak oleh salah satu orang yang naik di ranting yang agak besar. Kantong-kantong mereka penuh dengan asem. Kantong plastik, kantong saku bahkan kantong perut, semuanya penuh.
“Bu..bu... katanya Mbak Eka loh, kalo mau cari asem tu harus ngomong dulu sama buyuk”, kata adikku suatu saat setelah pulang dari berburu asem dengan temannya.
“Buyuk apa se, In? Emang Indra tau buyuk itu apa?” tanya Ibu menggoda.
“Gak tau. Neneknya Mbak Eka mungkin.
Sontak Aku dan ibuku tertawa geli mendengarnya. Adikku terlihat bingung melihatku dan Ibu tertawa, maklum dia masih kecil. Baru menginjak taman kanak-kanak.
“Iya ta? Memangnya Mbak Eka bilang apa?” tanyaku memancingnya.
“Begini, Mbak… Buyuk, kulo nyuwun aseme, gitu.
Ia menirukan si Eka.
“Ha ha ha...”
Aku dan Ibuku tak bisa menahan tawa.
Yah begitulah kalau mau ambil buah asem di pohon asem besar itu. Dulu aku juga pernah disuruh seperti itu oleh temanku. Tapi aku sih tidak pernah percaya dengan hal semacam itu, jadi aku cuek saja dan tak pernah mempedulikan itu semua. Mungkin peradaban sudah sedemikian maju, teknologi pun semakin canggih, listrik sudah masuk desa sejak dulu, meski sebagian kecil desa yang belum pernah sama sekali tersentuh aliran listrik. Tentu mereka hanya memakai lampu minyak atau oblek. Biasanya daerah yang sulit dijangkau dan terisolasi, entah itu karena lingkungan geografi maupun karena budayanya yang apriori.
Suatu ketika di desaku ada sebuah perhelatan ijab kabul sang pengantin. Seorang tua dengan memakai sembong dan lilitan rambut di belakang ditunjuk untuk melakukan pembakaran di tempat-tempat tertentu, salah satunya di pohon asem besar. Entah apa yang dibawa. Tapi kalau tidak salah, sempat aku melihat hasil tradisi tersebut dilakukan. Dalam wadah yang terbuat dari bahan dasar daun pisang dan dibentuk seperti perahu yang masing-masing ujungnya dililit kayu kecil yang dibuat untuk sapu lidi. Di dalamnya berisi macam rempah-rempah, selain itu ada segelintir tanaman padi atau apa yang mirip dengan padi dibakar terus ditinggal begitu saja. Nah, setelah selesai, anak-anak biasanya mengerubung tempat tersebut dan mengambil uang rupiah recehan yang ikut nimbrung di wadah tersebut bersama telur ayam. Mereka saling berebut.
“Bu... Aku dapat telur,” kata Adikku suatu hari setelah ikut pembakaran atau yang disebut obong-obong di desaku itu.
“Dari mana, Ndra?”
“Dari Buyuk, Bu, jawabnya sekenanya.
Hmmm... Aku tak habis pikir dengan semuanya. Mungkinkah akan tetap selamanya seperti ini? Oh entahlah, Aku tak tahu. Aku bukan Tuhan, tapi hanya seorang hamba yang berusaha patuh pada setiap perintah-Nya. Desaku yang katanya cukup luas ketimbang desa-desa tetangga itu, sudah menganut kepercayaan semacam itu sejak dulu, mungkinkah seperti nenek moyangnya? Menurutku sih iya. Biasanya kan generasi dulu suka mewariskan ilmunya pada generasi di bawahnya. Dan anehnya lagi kenapa generasi dibawahnya tidak bertanya yang lebih jelas, mengapa disuruh seperti ini? Ataukah mengapa begini dan begini? Mereka hanya terimo dadi, menerima apa adanya tanpa memikirkan manfaat dan mudharatnya.
Olala mungkin ini acuan weber dalam merumuskan salah satu teorinya mengenai tindakan sosial, mungkin. Dulu saat malam maulid Nabi, orang-orang membawa tumpeng, apem, air dan jajanan lain untuk dibawa ke pohon tersebut. Setelah itu airnya dibuat cuci muka dan dibuang ke halaman rumah, katanya sih buat tolak balak. Namun sekarang tidak lagi sejak pengurus desanya ganti orang-orang yang mengerti masalah agama. Kalau masalah tumpeng dan kawan-kawan tetap ada tapi dibawa ke masjid tidak ke pohon asem. Di masjid, mereka berdoa bersama-sama melantunkan shalawat pada sang Nabi dan mohon pertolongan kepada yang kuasa. Setelah itu, makan bersama, tapi kaum adam biasanya yang bawa tumpeng ke masjid.
Terkadang orang-orang masih sering melakukan kenduri di bawah pohon asem tersebut, entah karena apa alasannya, Aku tak tahu. Selama tradisi adat tetap dilestarikan, tradisi pohon asem keramat itu akan tetap ada bahkan sampai zaman yang akan datang, meski teknologi kian maju dan kian canggih serta zaman metafisik telah merambah ke seluruh pelosok negeri. Memang begitu kuat ikatan yang ada pada masyarakat gemeinschaft menurut Tonnies atau yang solidaritas mekanis yang menurut Durkheim.
Sampai sekarang kebudayaan itu masih lestari dan masih dilakoni seperti biasanya, tapi apa mereka tidak penat atau bosan ya? Atau mereka takut kalau penghuni pohon asem ngamuk dan mendatangkan balak? Tak tahulah aku. Hemm.. benar-benar tak masuk akal. Wallahu ‘alam lah.

M. Sholiha