Blogger Widgets

Minggu, 30 Maret 2014

[Cerpen]: "Dari Sebuah Kenyataan" Karya Heni Miranda




Pagi ini masih berkabut, mungkin karena semalam turun hujan. Fajar pun masih malu-malu menampakkan cahayanya di tengah-tengah awan kelabu. Dengan berhiaskan remang-remang cahaya fajar, Nia berangkat sekolah untuk mengikuti jam tambahan pagi. Dia mengendarai sepeda menelusuri tepian jalan yang masih lengah akan kendaraan.

Jumat, 21 Maret 2014

[Cerpen]: "Di Pinggir Danau Ketika Itu" karya Fidyah Desy Ardilah



Kunang-kunang itu ...
Aku tak pernah bisa sekuat dia, yang rela menyalakan tubuhnya di kala malam menerobos waktunya. Aku tak pernah bisa setegar dia, yang tak pernah berhenti menerangi danau ini, ketika kegelapan membelenggunya. Yah. Danau ini kini menjadi tempat favoritku, sejak aku tahu mereka ada di sana. Entah sudah berapa lama aku selalu datang ke danau ini. Ketika senja terakhir mulai menyapa sang bintang, ketika itu pula aku berlari menuju kawasan ini, dan mulai menikmati keindahan warna mereka. Kunang-kunang yang selalu membuat hatiku sedamai di rumah.
            Aku ingin kembali ke rumah, kembali merasakan hangatnya pelukan Ibu dan mendengarkan segala ungkapan kata bijak dari Ayah. Aku merindukannya. Aku tahu ini semua memang salahku. Jika dulu aku tak pernah memaksa Ayah untuk membelikannu sebuah mobil mewah, mungkin Ayah tidak akan pernah terperosok ke dalam lubang tikus yang menghantarkannya untuk mengambil jalan pintas agar aku bahagia. Ayahku korupsi, beliau mengambil beberapa jatah gaji bawahannya. Dulu ayahku bekerja sebagai kepala staf HRD di sebuah perusahaan besar di kota Surabaya. Tapi setelah kejadian itu Ayah dipecat dan dijebloskan ke dalam penjara. Aku tak pernah tahu pasti berapa tahun hukumannya, mungkin sekitar lima tahun penjara. Sedangkan Ibu, meninggal akibat serangan jantung mendadak ketika ketok palu dari sang hakim berbicara.
            Ini adalah tahun ke-4 setelah masa itu berlalu. Dan masa ini adalah masa di mana aku harus bertahan hidup sejak semua kesalahan itu terjadi. Masa yang mengharuskan aku pindah keluar kota dan mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku sendiri, dan tinggal di kontrakan rumah susun kumuh, yang dulu aku sendiri tak pernah menyukai tempat-tempat seperti ini. Bekerja sebagai buruh cuci piring di salah satu restoran mahal di kota ini, Bandung. Yah, karena hanya pekerjaan itulah yang bisa aku kerjakan. Tapi mungkinkah aku harus melalui semua ini sampai mati? Sungguh aku ingin pulang, dan memperbaiki kesalahan yang dulu pernah aku lakukan.
            Kini yang ada di pikiranku hanyalah tentang rumah, tentang Ayah, dan tentang almarhumah ibuku yang sedang melihatku dari surga.
            “Maafkan aku, Ayah, Ibu maafkan anakmu yang bodoh ini ....”
Mataku mulai nanar. Pandanganku mulai kabur karena timbunan air mata yang hampir tak mau menetes lagi di pipi. Mungkin sudah terlalu banyak air mata penyesalan yang sudah aku teteskan karena ini semua, hingga air mataku enggan meneteskannya lagi untukku.
Kuambil handphone dari tas kecil yang ada sebelahku dan mulai memandangi foto-foto kenangan paling manis yang pernah aku alami dalam hidupku. Kenangan apa lagi kalau bukan kenangan ketika masa Ayah dan Ibu masih memeluk hangat tubuhku? Kenangan ketika kami bertiga meninggalkan segala aktivitas kesibukan dan meluangkannya hanya untuk berkemah di tepi waduk di daerah Malang. Sederhana, namun berhasil membuat aku ingin kembali ke masa itu lagi.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Terdengar suara lelaki dari arah belakangku.
Perlahan lelaki itu mendekat ke arahku, mengusik kesepian yang sedang aku buat sendiri. Dari kegelapan aku menerka-nerka siapakah lelaki yang sudah lancang mengganggu kesendirianku ini? Beraninya mencuri perhatianku, ketika segala pusat perhatianku telah kuberikan untuk kenangan-kenangan indah masa laluku.
“Ini saya, Deris,ucapnya sambil menyentrong wajahnya dengan lampu senter yang terdapat dari handphone-nya.
Aku langsung kaget dan segera berdiri memberi salam penghormatanku kepadanya. Dia adalah kepala bagian dapur di restoran tempat aku bekerja. Umurnya baru 25 tahun, setahun lebih tua dariku. Namun di umur yang masih muda itu Pak Deris sudah dipercaya oleh pemilik restoran untuk menjabat sebagai kepala bagian dapur di sana.
“Maaf kalau saya lancang mengikuti kamu dari belakang, Riana. Saya hanya penasaran dengan apa yang selalu kamu lakukan di danau yang sepi ini.”
“Apa yang bapak ingin tahu dari saya? Toh saya hanyalah buruh tukang cuci di restoran itu,balas ucapanku yang selalu dingin terhadap orang lain yang tidak begitu aku kenal.
“Oh, ternyata kunang-kunang ini yang menarikmu ke sini. Ternyata indah juga, yah, ketika kunang-kunang rela menerangi gelapnya danau dengan sinar yang ada di dalam tubuhnya. Apa kedamaian seperti ini yang kamu cari?”
Aku melirik sesekali ke arah Pak Deris, dan sepertinya Pak Deris juga melakukan hal yang sama denganku ketika dia mulai memalingkan pembicaraannya.
“Apa yang sedang bapak lakukan?” sambil menoleh ke arah Pak Deris
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” langsung duduk di pinggir danau tanpa menoleh pun kearahku.
“Saya hanya ingin sendiri, Pak,membuntuti Pak Deris untuk duduk di sebelahnya.
“Dan saya hanya ingin menemani kamu yang lagi sendirian.”
Kali ini dia yang menoleh ke arahku.
Bahkan ketika kami berdua duduk berdampingan, kesepian masih saja berhasil menguasai batinku. Aku membiarkan Pak Deris menemaniku, namun tetap saja kekosongan itu masih terasa membelengguku.
“Jadi apa yang kamu lakukan di sini?”
Pak Deris mulai membuka percakapan itu lagi.
“Hanya mengingat rumah.”
Padanganku masih lurus ke arah danau di depanku.
“Rumah?”
Entah karena sebab apa aku mulai menceritakan semua kehidupanku kepadanya, tentang indahnya kebersamaan keluarga yang dulu pernah aku sia-siakan. Tentang cinta kedua orangtuaku dan tentang keegoisanku yang selalu meminta kesempurnaan. Dan tanpa pernah aku sadar, bahwa merekalah kesempurnaan kehidupanku waktu itu. Hingga sebuah kehancuran yang menjadi balasan atas apa yang pernah aku paksakan kepada kedua orangtuaku. Hanya penyesalan yang kini datang dan merajai di setiap hari pada hatiku.
Lalu hanya embusan napas besar yang aku dengar dari arah sebelah kananku.
“Tidak ada yang perlu kamu sesalkan atas apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Semua orang pernah melakukan kesalahan, semua orang pernah merasakan kehancuran atas apa yang dulu pernah ia lakukan. Tapi penyesalan hanya akan membuatmu semakin hancur,ucap Pak Deris mengagetkanku.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Memperbaiki apa yang kamu pikir harus kamu perbaiki.  Dan melanjutkan apa yang kamu pikir harus kamu lanjutkan, Riana,lanjutnya.
“Bagaimana bisa?”
“Tentang ibumu, doakan saja dia agar beliau bisa tenang di sana. Tentang ayahmu, tunggu saja beliau sampai keluar dari penjara. Kamu harus kembali dan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanmu dulu. Lalu jadilah seperti kunang-kunang itu.”
Pak Deris menunjuk satu kunang-kunang yang terlihat paling terang di antara kunang-kunang yang lainnya.
Yah, tepat sekali. Kunang-kunang itu memang terlihat paling terang karena dia tidak berkumpul bersama kunang-kunang yang lainnya. Dia menyendiri, dan mencoba menyinari satu titik tergelap di danau ini. Mungkin seperti aku, yang sedang mencoba bangkit atas keterpurukan yang pernah aku buat sendiri. Kunang-kunang itu memang paling bersinar, tapi aku harus lebih bersinar untuk Ayah yang sedang menunggu kebebasan, dan untuk Ibu yang sudah terlanjur bahagia di surga Tuhan.

Sabtu, 08 Maret 2014

Puisi Setapak kecil akan Harmoni Bangsa Karya: Adinda N Yunita (siswi SMA Al Irsyad Surabaya)

Setapak kecil akan Harmoni Bangsa
 Karya: Adinda N Yunita (siswi SMA Al Irsyad Surabaya)

Dunia redup tanpa  lilin kecil
Kehidupan butuh air jernih untuk mencerahkan Negeri ini
Meskipun kita beda Darah dan Nafas
Namun hidup telah terangkai cerita di tanah ini

Suku, Budaya, Agama bagai gumpalan darah yang melekat di Kalbu Tubuh
Tak banyak yang patut dibanggakan di Negeri Kita
Hanya secercah kejaiban yang kita harapkan
Damai dalam Kehidupan
Damai dalam Kesunyian
Damai dalam Kegelapan

Setitik angan yang kita impikan akan KEDAMAIAN
Dalam Tanah, Tanah Air Indonesia


Puisi: Kolotnya Pribadiku Karya: Rabiatul Hasanah (siswi SMA Al Irsyad Surabaya)

Kolotnya Pribadiku
Karya: Rabiatul Hasanah (siswi SMA Al Irsyad Surabaya)

Siapa yang peduli.?
Tempatku kumuh
Hidupku hitam
Aku tak mengenal apa yang kau kenal
Apa itu sekolah?
Siapa ilmu itu?
Dimana dia?
Apa itu masa depan?
Semua itu terlalu mewah untuk kurasakan
Terlalu tinggi untuk kubayangkan
Bukankah mengais sampah lebih berguna
Daripada berkhayal terlalu tinggi
Mengumpulkan botol plastik lebih berarti bagiku
Daripada sibuk mencari tahu semua itu
Kenapa harus bersekolah?
Bukankah bersekolah tidak menghasilkan uang?
Sedangkan berkeliling dilampu merah mampu mengisi perut laparku
Jangan kau tanya tentang masa depan
Melihatnya pun aku tak pernah
Kenapa harus mencari ilmu?
Mencari uangpun susah
Terlalu rendah diriku untuk mendapatkan ilmu
Bukankah ilmu itu hanya untuk para pejabat
Sedangkan aku?
Aku hanya manusia kecil yang kolot
Hariku kelabu
Tak ada yang mewarnai
Bagaimana mungkin aku berilmu
Tak ada yang mengenalkanku pada duniamu
Aku bagaikan pungguk yang merindukan bulan
Dunia begitu kejam padaku


Surabaya, 20 Jan 2014

Profil Muhammad Yusuf Dzaky Maulana

Muhammad Yusuf Dzaky Maulana atau yang akrab dipanggil Yusuf adalah anggota Forum Aktif Menulis Indonesia kelahiran Gresik, 15 Juli 1997. Berdomisili di Jl. Kahayan No.64 Bp. Randuagung Gresik, putra bungsu dari 4 bersaudara ini sangat suka menulis, terutama menulis cerita. Penikmat bakso dan jus alupkat ini mempunyai harapan: Semoga FAM Indonesia bisa mengembangkan potensi generasi muda di bidang tulis menulis, semoga Forum Aktif Menulis Indonesia semakin di kenal seluruh Asia Tenggara . Yusuf berpesan kepada generasi muda, "Mari kita mencinta dunia tulis menulis untuk Indonesia.

Selasa, 04 Maret 2014

Agar Minus Tak Lagi Menangis: Proses Kreatif Buku Kumpulan Cerpen "Minus Menangis"

oleh Ken Hanggara

Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan bagi saya. Meski begitu, tak dipungkiri, seringkali beberapa kendala datang menghambat. Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah kebuntuan saat mengembangkan ide. Coba bayangkan, saat tengah asyik melamun, tiba-tiba ada ide berkelebat dalam kepala. Tak ayal, kita pun segera bangkit, mengambil pena, lalu mulai menulis. Akan sangat nikmat bila ide tadi berkembang seiring dengan bekerjanya jemari mengolah kata. Namun, apa jadinya bila berhenti di tengah jalan?