Blogger Widgets

Sabtu, 12 Juli 2014

Cerpen Kentang Goreng Spiral Karya Rizuka Anda Roshita

KENTANG GORENG SPIRAL
(Rizuka Anda Roshita)

“Sesibuk-sibuknya kamu, jangan pernah merasa tidak punya banyak waktu untuk orang yang memang tidak punya banyak waktu lagi, atau nanti kamu akan menyesal...”
Sore menjelang petang, kuselonjorkan kakiku di bangku taman yang bersebelahan dengan masjid yang lumayan megah di kota ini. Sejuknya udara kota ini sesekali membuat tubuhku tak mau beranjak dari tempat duduk. Kunikmati kentang goreng spiral aroma pizza. Warna kentang yang kuning kecoklatan bertabur bumbu kemerahan, begitu renyah, saat gigi taringku mencabik-cabiknya. Ah, makanan ini mengingatkanku pada sosok ibu yang meninggal 5 tahun silam, saat aku masih duduk di bangku kuliah semester 4. Ibu adalah penjual kentang spiral pula, dan dagangannya selalu laris diserbu pembeli dari berbagai kalangan usia.
Ibu berjualan kentang goreng spiral seorang diri dari umurku 5 tahun, lebih tepatnya 5 tahun setelah kepergian ayah. Dari kecil, aku jarang membantu ibu. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku di rumah untuk belajar. Aku bercita-cita menjadi seorang dokter spesialis kandungan. Mau tak mau, karena aku bukanlah anak orang kaya, aku terus memeras otakku sepanjang hari untuk mengerjakan sederetan soal yang rumit.
Beruntung kepandaian ayah menurun padaku. Dari kelas 1 SD hingga 3 SMA, aku selalu mendapat peringkat 1. Aku dikenal sebagai siswi yang rajin, tekun, dan berprestasi di sekolah. Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, aku bahkan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah daerahku untuk bersekolah di salah satu SMA favorit di kabupaten Kediri. Aku masih ingat betapa saat itu air mata kebahagiaan tak pernah surut dari kelopak mata ibu yang mulai menua. Jahatnya, aku malah menyuruh ibu mengusap air matanya. “Wes talah, Mak e, ra usah nangis! Isin aku mengko nek kepala sekolahe mrene. Ndang salin trus macak seng ayu, ben sampean ra ngisin-ngisini aku!1)
Sore itu tak henti-hentinya ibuku menyalami bapak bupati dan calon kepala sekolahku. Jujur waktu itu terbesit rasa malu dalam hatiku. Aku tak percaya, ibu sebegitu melankolisnya. Kontan aku menyikut siku ibu keras dan memelototinya tajam. Mengisyaratkan agar ia segera menghentikan aksinya dan tampil layaknya wanita elegan.
***
            Aku berhasil meraih cita-citaku berkat ketekunanku dan keberuntungan yang menyelimuti hidupku. Aku adalah mahasiswa bidikmisi jurusan Pendidikan Dokter Umum di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta. Masih sama seperti saat bersekolah dulu, di kampus aku juga dikenal dengan mahasiswa berprestasi dan  menjadi juara 1 mawapres di kampusku. Aku tak mengenal cinta dan hanya terfokus mengenal cita-cita. Meski tak dapat dipungkiri aku menaruh hati pada kakak seniorku sendiri.
            Yogyakarta tidaklah sama seperti tempat tinggalku. Untuk menyokong biaya hidup yang tinggi, aku menambah uang jajan dan keperluan wanita lainnya, aku bekerja paruh waktu sebagai guru les privat. Aku memang anak kampung, tapi aku tak ingin penampilanku kampungan. Agar bisa sejajar dengan teman-temanku dalam hal fahionita, gadget, kamar kos, aku harus mati-matian mengumpulkan pundi-pundi rupiah tiap harinya. Apalagi dengan predikatku sebagai mawapres Universitas terkenal di Indonesia tersebut.
            Selain mahasiswa dan guru privat, aku juga seorang aktivis kampus. Aku sangat jarang pulang, mungkin hanya setahun sekali, saat hari Raya dan puasa. Aku tak pernah mau tahu kondisi ibu yang semakin tua dan melemah. Ibu masih setia dengan gerobak reyot dan kentang goreng spiralnya yang melegenda di tempat tinggalku. Kata orang-orang, demi bisa mengirimiku uang makan, disamping beasiswa bidikmisiku dan gaji les privat, ibu harus berjualan dari pagi hingga pukul 9 malam. Rumahku berada di area kampus Inggris Pare yang terkenal di seluruh Indonesia. Ibu berjualan di sekitar masjid megah, yang disampingnya juga terdapat taman bermain.
            “Mak e kangen sampean, Nduk! Ndang muleh, riyoyoan kurang sediluk.2)” ujar ibuku lewat telepon suatu hari, yang tak begitu aku gubris. Aku malah sibuk belajar biola pada temanku yang mengikuti UKM Musik.
            “Mak, ongkos Jogja Kediri kuwi larang, sampean ra mesakne aku bondo ongkos akeh?!3)” ujarku sedikit membentak dan segera menutup telepon.
***
            Ibuku ternyata mengidap jantung lemah dan aku sebagai calon dokter tak pernah menyadarinya sama sekali. Pagi itu, aku dan ibuku baru saja menunaikan salat Idul Fitri di masjid tempat ibu berjualan sehari-hari. Seusai salat, ibu tiba-tiba saja membaringkan tubuhnya di kasur. Aku terheran. Padahal biasanya ibu paling bersemangat membersihkan rumah dan mengeluarkan kue-kue buatannya.
            “Mak e, Shinta lan adik e mrene! Sampean kapanan kae ndoleki wong loro kuwi.4)
            Tak ada sahutan dari ibu. Aku yakin volume suaraku cukup keras untuk didengar dalam ruangan rumahku yang hening itu. Aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar ibu. Saat itulah tangisku meledak seketika ketika menyadari bahwa satu-satunya keluarga kandungku yang kupunya, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
***
            Adzan maghrib segera berkumandang. Segera kuhapus air mataku. Kulangkahkan kakiku menuju masjid dekat taman tersebut. Sehari sebelum kelulusan, aku memang ingin pulang, berziarah ke makam ayah dan ibu, dan memberitahu bahwa putri kebanggaan mereka telah berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter, dan mendapatkan beasiswa kembali untuk melanjutkan kuliah kedokteran jenjang spesialis kandungan.
            Namun tetap saja itu tak ada artinya setelah kematian kedua orang tuaku. Padahal aku ingin fotoku yang memakai toga kelulusan berada diapit oleh ibuku. Ya, ini memang pelajaran berharga untukku. Andai saja aku tak sibuk belajar. Andai saja aku membantu ibu berjualan. Andai saja aku tak terbawa arus pergaulan kota besar. Mungkin ibu akan mendampingiku lusa besok di acara wisudaku. Dan dengan bangga, sebagai lulusan terbaik tahun ini, aku akan berkata di hadapan wisudawan yang lain, “Saya bangga, meski saya anak seorang penjual kentang goreng spiral, namun wanita hebat ini berhasil menyekolahkan saya hingga jenjang perguruan tinggi seperti sekarang ini!”
            Ya, andai ibu masih ada, aku berjanji akan mengatakan hal tersebut tanpa rasa malu sedikitpun. Namun, waktu yang hilang, tak dapat dibeli kembali.
***