KENTANG GORENG SPIRAL
(Rizuka
Anda Roshita)
“Sesibuk-sibuknya kamu, jangan pernah merasa tidak
punya banyak waktu untuk orang yang memang tidak punya banyak waktu lagi, atau
nanti kamu akan menyesal...”
Sore menjelang petang,
kuselonjorkan kakiku di bangku taman yang bersebelahan dengan masjid yang
lumayan megah di kota ini. Sejuknya udara kota ini sesekali membuat tubuhku tak
mau beranjak dari tempat duduk. Kunikmati kentang goreng spiral aroma pizza. Warna
kentang yang kuning kecoklatan bertabur bumbu kemerahan, begitu renyah, saat
gigi taringku mencabik-cabiknya. Ah, makanan ini mengingatkanku pada sosok ibu
yang meninggal 5 tahun silam, saat aku masih duduk di bangku kuliah semester 4.
Ibu adalah penjual kentang spiral pula, dan dagangannya selalu laris diserbu
pembeli dari berbagai kalangan usia.
Ibu berjualan kentang goreng
spiral seorang diri dari umurku 5 tahun, lebih tepatnya 5 tahun setelah
kepergian ayah. Dari kecil, aku jarang membantu ibu. Aku lebih memilih
menghabiskan waktuku di rumah untuk belajar. Aku bercita-cita menjadi seorang
dokter spesialis kandungan. Mau tak mau, karena aku bukanlah anak orang kaya,
aku terus memeras otakku sepanjang hari untuk mengerjakan sederetan soal yang
rumit.
Beruntung kepandaian
ayah menurun padaku. Dari kelas 1 SD hingga 3 SMA, aku selalu mendapat
peringkat 1. Aku dikenal sebagai siswi yang rajin, tekun, dan berprestasi di
sekolah. Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, aku bahkan mendapat
beasiswa penuh dari pemerintah daerahku untuk bersekolah di salah satu SMA
favorit di kabupaten Kediri. Aku masih ingat betapa saat itu air mata
kebahagiaan tak pernah surut dari kelopak mata ibu yang mulai menua. Jahatnya,
aku malah menyuruh ibu mengusap air matanya. “Wes talah, Mak e, ra usah nangis!
Isin aku mengko nek kepala sekolahe mrene. Ndang salin trus macak seng ayu, ben
sampean ra ngisin-ngisini aku!1)”
Sore itu tak
henti-hentinya ibuku menyalami bapak bupati dan calon kepala sekolahku. Jujur
waktu itu terbesit rasa malu dalam hatiku. Aku tak percaya, ibu sebegitu
melankolisnya. Kontan aku menyikut siku ibu keras dan memelototinya tajam.
Mengisyaratkan agar ia segera menghentikan aksinya dan tampil layaknya wanita
elegan.
***
Aku
berhasil meraih cita-citaku berkat ketekunanku dan keberuntungan yang
menyelimuti hidupku. Aku adalah mahasiswa bidikmisi jurusan Pendidikan Dokter
Umum di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta. Masih sama seperti saat
bersekolah dulu, di kampus aku juga dikenal dengan mahasiswa berprestasi dan menjadi juara 1 mawapres di kampusku. Aku tak
mengenal cinta dan hanya terfokus mengenal cita-cita. Meski tak dapat
dipungkiri aku menaruh hati pada kakak seniorku sendiri.
Yogyakarta
tidaklah sama seperti tempat tinggalku. Untuk menyokong biaya hidup yang
tinggi, aku menambah uang jajan dan keperluan wanita lainnya, aku bekerja paruh
waktu sebagai guru les privat. Aku memang anak kampung, tapi aku tak ingin
penampilanku kampungan. Agar bisa sejajar dengan teman-temanku dalam hal
fahionita, gadget, kamar kos, aku harus mati-matian mengumpulkan pundi-pundi
rupiah tiap harinya. Apalagi dengan predikatku sebagai mawapres Universitas
terkenal di Indonesia tersebut.
Selain
mahasiswa dan guru privat, aku juga seorang aktivis kampus. Aku sangat jarang
pulang, mungkin hanya setahun sekali, saat hari Raya dan puasa. Aku tak pernah
mau tahu kondisi ibu yang semakin tua dan melemah. Ibu masih setia dengan gerobak
reyot dan kentang goreng spiralnya yang melegenda di tempat tinggalku. Kata
orang-orang, demi bisa mengirimiku uang makan, disamping beasiswa bidikmisiku
dan gaji les privat, ibu harus berjualan dari pagi hingga pukul 9 malam.
Rumahku berada di area kampus Inggris Pare yang terkenal di seluruh Indonesia.
Ibu berjualan di sekitar masjid megah, yang disampingnya juga terdapat taman
bermain.
“Mak
e kangen sampean, Nduk! Ndang muleh, riyoyoan kurang sediluk.2)”
ujar ibuku lewat telepon suatu hari, yang tak begitu aku gubris. Aku malah
sibuk belajar biola pada temanku yang mengikuti UKM Musik.
“Mak,
ongkos Jogja Kediri kuwi larang, sampean ra mesakne aku bondo ongkos akeh?!3)”
ujarku sedikit membentak dan segera menutup telepon.
***
Ibuku
ternyata mengidap jantung lemah dan aku sebagai calon dokter tak pernah
menyadarinya sama sekali. Pagi itu, aku dan ibuku baru saja menunaikan salat
Idul Fitri di masjid tempat ibu berjualan sehari-hari. Seusai salat, ibu
tiba-tiba saja membaringkan tubuhnya di kasur. Aku terheran. Padahal biasanya
ibu paling bersemangat membersihkan rumah dan mengeluarkan kue-kue buatannya.
“Mak
e, Shinta lan adik e mrene! Sampean kapanan kae ndoleki wong loro kuwi.4)”
Tak
ada sahutan dari ibu. Aku yakin volume suaraku cukup keras untuk didengar dalam
ruangan rumahku yang hening itu. Aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar ibu.
Saat itulah tangisku meledak seketika ketika menyadari bahwa satu-satunya
keluarga kandungku yang kupunya, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
***
Adzan
maghrib segera berkumandang. Segera kuhapus air mataku. Kulangkahkan kakiku
menuju masjid dekat taman tersebut. Sehari sebelum kelulusan, aku memang ingin
pulang, berziarah ke makam ayah dan ibu, dan memberitahu bahwa putri kebanggaan
mereka telah berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter, dan
mendapatkan beasiswa kembali untuk melanjutkan kuliah kedokteran jenjang
spesialis kandungan.
Namun
tetap saja itu tak ada artinya setelah kematian kedua orang tuaku. Padahal aku
ingin fotoku yang memakai toga kelulusan berada diapit oleh ibuku. Ya, ini
memang pelajaran berharga untukku. Andai saja aku tak sibuk belajar. Andai saja
aku membantu ibu berjualan. Andai saja aku tak terbawa arus pergaulan kota
besar. Mungkin ibu akan mendampingiku lusa besok di acara wisudaku. Dan dengan
bangga, sebagai lulusan terbaik tahun ini, aku akan berkata di hadapan
wisudawan yang lain, “Saya bangga, meski saya anak seorang penjual kentang
goreng spiral, namun wanita hebat ini berhasil menyekolahkan saya hingga
jenjang perguruan tinggi seperti sekarang ini!”
Ya,
andai ibu masih ada, aku berjanji akan mengatakan hal tersebut tanpa rasa malu
sedikitpun. Namun, waktu yang hilang, tak dapat dibeli kembali.
***