Blogger Widgets

Rabu, 21 Januari 2015

Cerpen: Aku Sayang Ibuku. Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)

Aku Sayang Ibuku
Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)
Aku ngambek. Karena ibuku membelikan adikku mainan. Tapi aku tidak. “Huh!” aku mendengus kesal. “Ini semua gara-gara ibu.” Aku lalu mengunci diri di dalam kamar. Lalu terdengar suara robot-robotan baru Dani, adikku. Aku pun terpaksa keluar kamar dan bertanya pada ibu.
“Bu, kok aku tidak dibelikan mainan juga sih? Ibu sudah tidak sayang Aira!” teriakku begitu melihat ibu di depan mataku.
“Aira. Bukannya Ibu tidak sayang Aira, tapi Aira tahu kan ini hari apa?”
Mendengar itu, aku langsung membalikkan badan kembali menuju kamar. GUBRAK!!! Pintu kamarku terdengar kencang.
Aku merebahkan diri di ranjangku. Tiba-tiba, aku mulai memasuki mimpi indahku. Cukup lama juga aku menikmatinya hingga aku merasa disenggol-senggol dengan lembut. Dan terdengar suara seseorang yang sedang aku musuhi.
“Kak Aira. Kak Aira, ayo bangun!” ucap Dani.
“Hah, ngapain kamu masuk ke kamar Kak Aira?” tanyaku marah.
“Dani cuma mau bangunin Kak Aira,”  jawab Dani agak takut.
“Keluar! Cepat keluar!” bentakku.
Dani pun langsung meninggalkanku. “Huaaaa..... huaaaaaaa....”
“Huh, itu pasti suara tangis Dani,” kataku makin marah.
Namun tiba-tiba terdengar ucapan, “Kenapa di hari ulang tahunku ini aku menjadi sial?”
“Hah? Itu tadi suara siapa? Seperti suara Dani?”
Mendadak mataku melihat ke arah sebuah hadiah yang sudah aku siapkan untuk Dani di atas lemari.
“Ha? Bukankah hari ini Dani ulang tahun? Oooh... sekarang aku tahu kenapa ibu memberi Dani hadiah. Pasti karena Dani ulang tahun.”
Aku keluar kamar sambil membawa hadiah untuk Dani. Lalu aku pergi mencarinya. Ternyata Dani ada di teras rumah.
“Happy birthday Dani!” teriakku.
Wajah Dani yang tadinya marah berubah menjadi senang.
“Terima kasih Kak Aira,” ucap Dani.
Setelah memberi Dani hadiah, aku menuju ibuku.
“Bu, Aira minta maaf ya.”
“Iya, tak apa-apa kok,” jawab ibu.
Aku dan ibu berpelukan. Yang paling lucu, saat aku dan ibu berpelukan, Dani memotret aku dan ibu.
“Daniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii !!!”


Feature: Secangkir Cinta Untuk Ibu (Hanum Hiyanumz)

Feature:
Secangkir Cinta Untuk Ibu
Hanum Hiyanumz
                Titik-titik hujan jatuh bergantian, terpelanting ketanah menimbulkan cipratan kecil. Langkah itu tetap tegap menjejak, membawa raga tanpa kenal lelah. Senyum tetap menyungging membentuk lesung pipit walau tubuh terasa payah. Membagi ilmu dengan tulus. Menuangkan air kesejukan pada yang haus akan ilmu. Gersangnya jiwa bisa terbasahi oleh tutur lembut darinya. Beliau adalah ibuku.

            Guru, adalah profesi ibu selama kurang lebih sebelas tahun lamanya. Di sebuah sekolah sederhana ala ‘laskar pelangi’. Sekolah islam yang mau menampung murid-murid yang berlatar belakang kekurangan dalam hal ekonomi. Sekolah yang mau menampung murid-murid yang hampir putus sekolah, yang semangat sekolahnya kurang. Mungkin sebagian besar orang memandang sekolah itu adalah perkumpulan sekolah anak-anak nakal yang tak bisa menggambarkan masa depannya. Namun dari cerita ibuku, sekolah itu adalah sekolah yang penuh perjuangan. Mereka yang kekurangan ekonomi namun semangat sekolahnya masih ada bisa membayar spp semampunya dan juga bisa bekerja sambil bersekolah.

                Jarak antara rumah ke sekolah cukup jauh, berkisar 11 Km. Namun ibu tetap menekuni profesi itu dengan semangat, meski gajinya terkadang tidak pasti. Meski juga harus pintar membagi waktu antara menjadi guru dan menjadi ibu rumah tangga, mengurus tiga adikku. Seringkali kusarankan untuk mendaftar guru di sekolah negeri atau di sekolah lain yang gajinya pasti. Namun ibu menolak. Kata Ibu jika kita melakukan pekerjaan dengan mengharap pahala, hidupnya lebih berkah. “Kita bukan orang yang berlimpah secara financial, jika kita tidak bisa membantu orang dengan harta kita, kita masih bisa membantu dengan yang lain, seperti ilmu yang kita bagi,” begitu kata Ibu.
                Aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu berjuang mengajar di sekolah itu. Sekolah yang bangunannya pernah tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo itu kini berpindah di suatu daerah yang berkelok-kelok jalannya, masuk ke dalam suatu desa dan bangunannya kini kecil seperti sebuah lembaga bimbingan belajar. Terkadang, jika ibu sedang berhemat, ibu pun berjalan kaki  hingga keluar jalan raya yang jaraknya lumayan jauh. Hujan, kemarau, apapun musimnya tak menyurutkan beliau untuk berangkat mengajar.
                Ibuku adalah sosok tangguh yang pernah kukenal. Selain mengajar, beliau juga ibu rumah tangga yang tangguh. Dahulu sebelum berprofesi sebagai seorang guru, ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Dan ketika kondisi rumah tangga kami sedang turun, ketika ayah sempat susah mencari pekerjaan, ibu berjualan gorengan keliling. Aku saat itu malu untuk ikut membantu. Lalu selain berjualan gorengan,ibu juga memberi les privat untuk anak sekolah. Banyak yang senang jika diajar oleh ibuku. Selain pejuang yang tangguh, ibu juga sosok yang cerdas dan lembut. Sampai ibu pernah juga memberikan les privat pada seorang anak SLB. Murid-muridnya senang bercurhat ria pada ibu.

                Entah, apa aku bisa menjadi sosok yang sekuat beliau. Aku yang cenderung mudah putus asa dan mengambil sikap yang simple di setiap permasalahan. Aku memang bukan sosok yang tangguh dan cenderung pengeluh. Namun, dari ibu aku belajar untuk selalu menikmati hidup dan memberikan manfaat, apapun dan bagaimana pun keadaannya. Thanks ibu, secangkir cinta untukmu kupersembahkan di setiap doaku.