Blogger Widgets

Jumat, 05 Juni 2015

Penerbitan Antologi Inspiratif, tema: MY PASSION

Program Penerbitan Antologi Kisah Inspiratif
(Antologi Surabaya Tiga)
Tema: My Passion
Bukan hanya penulis yang bisa menulis. Bukan hanya mereka yang beralmamater sastra yang bisa menulis. Apa buktinya?
Indra Sjafri (mantan pelatih timnas sepakbola U-19) menulis buku. Mario Teguh (motivator) juga menulis buku. Almarhum Profesor Hembing Wijayakusuma (ahli pengobatan tradisional) juga menulis buku.
Jadi apapun aktivitas/profesi yang dijalani manusia, baik itu yang menghasilkan materi maupun tidak, dia bisa menulis. Apalagi jika aktivitas yang ditekuni itu dianggap merupakan panggilan jiwanya, sesuai dengan karakter atau jati dirinya (passion), tentu akan sangat banyak pengalaman, ilmu, juga harapan yang bisa menjadi inspirasi untuk banyak orang jika dituangkan dalam bentuk tulisan.
Nah, apakah anda tertarik untuk menjadi seorang inspirator dengan berbagi pengalaman, ilmu dan juga harapan tentang aktivitas yang menjadi passion anda saat ini?
Dalam rangka memperingati miladnya yang ketiga, Forum Aktif Menulis Indonesia Cabang Surabaya mengajak anda untuk berbagi pengalaman inspiratif anda selama menekuni sesuatu yang menjadi panggilan jiwa anda dalam Program Penerbitan Buku Antologi Kisah Inspiratif dengan tema “My Passion”. Diharapkan buku ini dapat membuka kesadaran bahwa menulis bisa dilakukan siapapun, dari latar belakang pendidikan apapun dan dengan profesi apapun, selama diniatkan untuk berbagi kemaslahatan untuk umat manusia.
Adapun ketentuan mengenai naskah yang diterima dan diterbitkan dalam Program Penerbitan Buku Antologi Kisah Inspiratif bertema “My Passion” ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis adalah anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang mengantongi Nomor Id keanggotan FAM Indonesia, maupun non-anggota.
2. Isi naskah adalah berupa kisah/pengalaman nyata penulis yang sesuai tema, bukan cerita fiktif.
3. Naskah harus asli karya sendiri, bukan jiplakan atau terjemahan, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang diikutsertakan pada event lomba menulis dimanapun (dinyatakan dalam surat pernyataan yang tertulis di badan-email).
4. Isi naskah 3 - 4 halaman.
5. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
6. Tulisan diketik rapi di kertas A4, spasi 1,5, font Times New Roman 12.
7. Menuliskan Biodata (ditulis dalam bentuk narasi) disertai foto diri di lembar terakhir naskah.
8. Naskah dikirim via email ke: fam.surabaya@gmail.com, selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 2015.
9. Naskah yang diikutsertakan dalam antologi ini menjadi milik panitia (hak cipta tetap pada penulis).
10. Buku antologi kisah inspiratif bertema “My Passion” ini maksimal akan memuat 25 kisah karya 25 penulis.
Keterangan tambahan:
1. Biaya penerbitan buku antologi ini ditanggung bersama-sama, masing-masing penulis menginfakkan biaya Rp. 85 ribu (berlaku untuk anggota FAM Indonesia maupun non anggota). Infak ditransfer setelah karya dinyatakan lolos seleksi untuk diterbitkan ke: ALIYAH NURLAELLA, BNI Cabang Kediri, Nomor Rekening: 0257598722, atau BRI CABANG MALANG UNIT KESAMBON, NO. REK: 6370-01-003143-53-3. Jika telah mengirim biaya registrasi, konfirmasi ke nomor Hp. 081 259 821 511. Batas waktu pengiriman biaya adalah 9 Agustus 2015.
2. Biaya tersebut akan digunakan untuk proses cetak buku, meliputi pembuatan kover, layout halaman isi, pengurusan ISBN, dan biaya kirim buku ke alamat masing-masing penulis.
3. Masing-masing penulis akan mendapat 1 (satu) buku antologi sebagai tanda penerbitan. Bila penulis ingin memiliki buku dalam jumlah lebih, maka dapat membelinya kepada FAM Indonesia.
4. Buku dicetak dalam jumlah terbatas yang diniatkan untuk memotivasi anggota FAM Indonesia aktif menulis dan berkarya.
5. Demikian informasi ini kami sampaikan, hal-hal yang kurang jelas dapat ditanyakan kepada panitia penerbitan lewat email: fam.surabaya@gmail.com atau lewat sms/call ke nomor 085732221923.
AYO JADIKAN PASSION ANDA SEBAGAI INSPIRASI UNTUK UMAT MANUSIA!

Selasa, 24 Februari 2015

Cerpen 'Falday' (Juara 3 lomba menulis dalam launching buku antologi ‘Kelingking Persahabatan’)

Falday


Oleh: Kamila Wahyuna Hardina

SD Muhammadiyah 4 Surabaya

            Kulirik kalender yang terpasang di dinding rumahku. Seketika, aku teringat sesuatu. Aku kembali melihat kalender itu, dan memfokuskan mataku pada tanggal 14 Februari 2015. Aha! Aku teringat sesuatu! Ini kan hari valentine yaitu hari kasih sayang dimana orang-orang akan memberikan hadiah special untuk pasangannya. Tapi aku tahu dalam islam merayakan dan mengucapkan valentine pada seseorang haram hukumnya karena itu sama saja seperti syirik. Padahal  seharusnya hari kasih sayang diberikan setiap hari kepada semua orang agar menjalin tali silaturahim yang erat.
            Aku kembali melihat kalender. Tahun ini tanggal 14 Februari 2015 jatuh pada hari Sabtu. Seperti tahun lalu, saat hari valentine day atau Valday biasanya aku ganti nama itu dengan nama family day atau falday. Jadi di hari itu aku dan keluargaku akan selalu menikmati kegiatan bersama-sama. Apalagi kalau memiliki keluarga sibuk seperti aku pasti menikmati kegiatan bersama keluarga sangat menyenangkan.
            Untuk tahun ini di hari Falday aku ingin memberikan sesuatu yang special untuk Ayah dan Mamaku. Kulihat dari ruang tamu sepertinya mama sedang berbincang-bincang dengan ayah yang akan mengantarkan aku dan adikku ke sekolah. Tiba-tiba panggilan Ayah yang memanggilku dan adik membuyarkan apa yang kupikirkan dan mengingatkanku bahwa aku harus segera berangkat ke sekolah karena hari ini sedang di adakan Ujian praktek musik. “Lita.. Nasywaa, ayo segera berangkat jangan sampai telat..” Begitulah ayah memanggilku dan adik dari teras.
            “Iya ayah.. Ini Lita juga udah selesai kok,” sahutku sambil menuju ke teras, disusul oleh adik. Sesampai di teras,  ternyata ayah sudah berada di dalam mobil untuk memanaskan mesin mobil. Tanpa membuang waktu, aku dan Nasywaa langsung masuk ke dalam mobil. Tapi sebelum itu aku salim dulu kepada mamaku, dan mama membalasnya dengan ucapan. “Hati-hati di jalan ya nak, semoga berkah. Untuk Lita,  semoga Ujian musiknya lancar dan kelompokmu menjadi pemenang,” kata mama dengan suara lembutnya.
             “Iya Mama, terimakasih. Mama juga hati-hati ya nanti saat kerja,”ucapku. Kebetulan mamaku ini bukan Ibu rumah tangga.  Tetapi ia adalah seorang perawat anak atau suster yang merawat anak-anak. “Assalamualaikum mama,” kataku, Nasywaa dan Ayah. “Waalaikumsalam,” jawab mamaku.
            Di perjalanan menuju sekolah aku memilih untuk diam seribu bahasa. Sebenarnya ada tiga sebab yang membuatku seperti ini.  Pertama, aku masih bingung harus memberi hadiah apa untuk ayah dan mama di hari falday ini. Yang kedua aku masih gugup untuk ujian musik yang berupa festival. Apalagi aku yang menjadi vocal. Akulah yang menyanyi diiringi alat musik recorder, piano, tamborin dan pianika. Teman-teman sekelompokku sendiri. Apalagi nanti kelompokku belum siap dan yang ketiga akulah ketua yang bertanggung jawab untuk kelompokku.
            Sesampainya di sekolah..
Aku sampai di sekolah dan segera menuju ke tempat ujian musik bersama teman-teman yang sekelompok denganku. Ada Elmira, Dylan, Haqi, Teddy, Naya, Najima, Triska, Fathan dan Ikhwan. Kelompok kami memakai aksesoris topi ambon yang kami buat sendiri. Karena nanti kelompok kami akan membawakan lagu Merindukan Amboina.
            Setelah satu jam terlewat, dan dimana masa-masa penampilan kelompokku terlewati. Sekarang waktunya pengumuman. Dan ternyata kelompokkulah yang menjadi pemenang juara 1. Aku sangat bangga sekarang aku sudah menemukan hadiah untuk papa, mamaku. Akan kuceritakan di rumah sepulang dari sekolah. Tahun ini adalah falday yang berkesan aku senang sekali dengan hadiah yang kuberikan untuk papa, mamaku tidak berupa benda memang. Tapi sebuah penghargaan yang di dapatkan anaknya.

Tamat

Rabu, 21 Januari 2015

Cerpen: Aku Sayang Ibuku. Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)

Aku Sayang Ibuku
Karya: Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi Sidoarjo)
Aku ngambek. Karena ibuku membelikan adikku mainan. Tapi aku tidak. “Huh!” aku mendengus kesal. “Ini semua gara-gara ibu.” Aku lalu mengunci diri di dalam kamar. Lalu terdengar suara robot-robotan baru Dani, adikku. Aku pun terpaksa keluar kamar dan bertanya pada ibu.
“Bu, kok aku tidak dibelikan mainan juga sih? Ibu sudah tidak sayang Aira!” teriakku begitu melihat ibu di depan mataku.
“Aira. Bukannya Ibu tidak sayang Aira, tapi Aira tahu kan ini hari apa?”
Mendengar itu, aku langsung membalikkan badan kembali menuju kamar. GUBRAK!!! Pintu kamarku terdengar kencang.
Aku merebahkan diri di ranjangku. Tiba-tiba, aku mulai memasuki mimpi indahku. Cukup lama juga aku menikmatinya hingga aku merasa disenggol-senggol dengan lembut. Dan terdengar suara seseorang yang sedang aku musuhi.
“Kak Aira. Kak Aira, ayo bangun!” ucap Dani.
“Hah, ngapain kamu masuk ke kamar Kak Aira?” tanyaku marah.
“Dani cuma mau bangunin Kak Aira,”  jawab Dani agak takut.
“Keluar! Cepat keluar!” bentakku.
Dani pun langsung meninggalkanku. “Huaaaa..... huaaaaaaa....”
“Huh, itu pasti suara tangis Dani,” kataku makin marah.
Namun tiba-tiba terdengar ucapan, “Kenapa di hari ulang tahunku ini aku menjadi sial?”
“Hah? Itu tadi suara siapa? Seperti suara Dani?”
Mendadak mataku melihat ke arah sebuah hadiah yang sudah aku siapkan untuk Dani di atas lemari.
“Ha? Bukankah hari ini Dani ulang tahun? Oooh... sekarang aku tahu kenapa ibu memberi Dani hadiah. Pasti karena Dani ulang tahun.”
Aku keluar kamar sambil membawa hadiah untuk Dani. Lalu aku pergi mencarinya. Ternyata Dani ada di teras rumah.
“Happy birthday Dani!” teriakku.
Wajah Dani yang tadinya marah berubah menjadi senang.
“Terima kasih Kak Aira,” ucap Dani.
Setelah memberi Dani hadiah, aku menuju ibuku.
“Bu, Aira minta maaf ya.”
“Iya, tak apa-apa kok,” jawab ibu.
Aku dan ibu berpelukan. Yang paling lucu, saat aku dan ibu berpelukan, Dani memotret aku dan ibu.
“Daniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii !!!”


Feature: Secangkir Cinta Untuk Ibu (Hanum Hiyanumz)

Feature:
Secangkir Cinta Untuk Ibu
Hanum Hiyanumz
                Titik-titik hujan jatuh bergantian, terpelanting ketanah menimbulkan cipratan kecil. Langkah itu tetap tegap menjejak, membawa raga tanpa kenal lelah. Senyum tetap menyungging membentuk lesung pipit walau tubuh terasa payah. Membagi ilmu dengan tulus. Menuangkan air kesejukan pada yang haus akan ilmu. Gersangnya jiwa bisa terbasahi oleh tutur lembut darinya. Beliau adalah ibuku.

            Guru, adalah profesi ibu selama kurang lebih sebelas tahun lamanya. Di sebuah sekolah sederhana ala ‘laskar pelangi’. Sekolah islam yang mau menampung murid-murid yang berlatar belakang kekurangan dalam hal ekonomi. Sekolah yang mau menampung murid-murid yang hampir putus sekolah, yang semangat sekolahnya kurang. Mungkin sebagian besar orang memandang sekolah itu adalah perkumpulan sekolah anak-anak nakal yang tak bisa menggambarkan masa depannya. Namun dari cerita ibuku, sekolah itu adalah sekolah yang penuh perjuangan. Mereka yang kekurangan ekonomi namun semangat sekolahnya masih ada bisa membayar spp semampunya dan juga bisa bekerja sambil bersekolah.

                Jarak antara rumah ke sekolah cukup jauh, berkisar 11 Km. Namun ibu tetap menekuni profesi itu dengan semangat, meski gajinya terkadang tidak pasti. Meski juga harus pintar membagi waktu antara menjadi guru dan menjadi ibu rumah tangga, mengurus tiga adikku. Seringkali kusarankan untuk mendaftar guru di sekolah negeri atau di sekolah lain yang gajinya pasti. Namun ibu menolak. Kata Ibu jika kita melakukan pekerjaan dengan mengharap pahala, hidupnya lebih berkah. “Kita bukan orang yang berlimpah secara financial, jika kita tidak bisa membantu orang dengan harta kita, kita masih bisa membantu dengan yang lain, seperti ilmu yang kita bagi,” begitu kata Ibu.
                Aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu berjuang mengajar di sekolah itu. Sekolah yang bangunannya pernah tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo itu kini berpindah di suatu daerah yang berkelok-kelok jalannya, masuk ke dalam suatu desa dan bangunannya kini kecil seperti sebuah lembaga bimbingan belajar. Terkadang, jika ibu sedang berhemat, ibu pun berjalan kaki  hingga keluar jalan raya yang jaraknya lumayan jauh. Hujan, kemarau, apapun musimnya tak menyurutkan beliau untuk berangkat mengajar.
                Ibuku adalah sosok tangguh yang pernah kukenal. Selain mengajar, beliau juga ibu rumah tangga yang tangguh. Dahulu sebelum berprofesi sebagai seorang guru, ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Dan ketika kondisi rumah tangga kami sedang turun, ketika ayah sempat susah mencari pekerjaan, ibu berjualan gorengan keliling. Aku saat itu malu untuk ikut membantu. Lalu selain berjualan gorengan,ibu juga memberi les privat untuk anak sekolah. Banyak yang senang jika diajar oleh ibuku. Selain pejuang yang tangguh, ibu juga sosok yang cerdas dan lembut. Sampai ibu pernah juga memberikan les privat pada seorang anak SLB. Murid-muridnya senang bercurhat ria pada ibu.

                Entah, apa aku bisa menjadi sosok yang sekuat beliau. Aku yang cenderung mudah putus asa dan mengambil sikap yang simple di setiap permasalahan. Aku memang bukan sosok yang tangguh dan cenderung pengeluh. Namun, dari ibu aku belajar untuk selalu menikmati hidup dan memberikan manfaat, apapun dan bagaimana pun keadaannya. Thanks ibu, secangkir cinta untukmu kupersembahkan di setiap doaku.

Senin, 22 Desember 2014

feature Ibu: Demi Perhiasan Hidupnya (Yudha Prima)

Demi Perhiasan Hidupnya
Posturnya memang kecil. Tidak tinggi, tidak gemuk. Namun selama puluhan tahun dia telah banyak menanam di hamparan lahan amalnya yang terus meluas. Dia juga telah memperpanjang goresan tinta emas malaikat Raqib di dalam buku catatannya. Empat tahun silam, sekitar dua bulan jelang Ramadhan, dia kembali membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu perempuan terhebat yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Di saat kebingungan melanda karena harus segera mengumpulkan dana kurang lebih 30 juta, dengan sepenuh kerelaan dan tanpa menyisakan senoktah keraguan, dia “titipkan” semua perhiasan emas dan peraknya ke Perum Pegadaian demi membiayai operasi dan 20 hari rawat inap  salah satu anaknya di RSUD Dr Soetomo Surabaya akibat musibah kecelakaan. Dia lebih rela kehilangan semua perhiasannya daripada kehilangan salah satu “perhiasan hidupnya” yang jauh lebih berharga.
Keikhlasan berkorban memang menjadi karakter utamanya sebagai sosok ibu. Tak pernah dia menuntut balik modal atas semua dana yang dibelanjakan untuk kepentingan keluarga. Baginya, suami dan ketiga buah hatinya adalah segala-galanya. Tak jarang, dia rela menyantap makanan yang tidak lebih lezat dibandingkan dengan masakan untuk orang-orang tercintanya. Dia selalu menjadi orang paling cemas saat terjadi sesuatu yang menimpa anak-anaknya. Di balik jasad kecilnya juga terpancar ketegasan, terutama mengenai hal-hal prinsip. Dia tidak pernah ingin mereka yang terlahir dari kandungannya kelak tersesat atau bahkan jatuh dalam jurang kehinaan. Walaupun kadang terkesan cerewet, namun dia juga tak ragu mengorbankan waktunya untuk menjadi figur yang membuat ketiga anaknya merasa nyaman berkeluh kesah, mencurahkan isi hati mereka. 
Bentuk pengorbanannya yang lain adalah dengan tidak menjadi seorang wanita karir. Beliau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga biasa. Dengan begitu, dia bisa punya banyak waktu untuk dijadikan sandaran suami dan anak-anaknya. Dia merasa bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah jihad terbaik yang bisa ia lakukan. Dia tidak pernah rendah diri di hadapan ibu-ibu lain yang berkarir di kantor.  
“Jangan lupa baca doa,” itu satu-satunya pesan yang tak pernah bosan ia sampaikan pada putera puterinya meski ia sendiri pun tak pernah lupa memasukkan nama-nama penghuni ruang cinta dan sayangnya dalam daftar doa setiap usai shalat. Dia meyakini bahwa doa bisa menjadi senjata penngiring ikhtiar untuk mencapai ridho Allah.
Itulah ibuku. Andai saja ada jutaan ibu yang seikhlas, setabah, dan sebesar pengorbanannya, alangkah indahnya dunia ini.

Yudha Prima

Surabaya, 22 Desember 2014

feature Ibu: Ibu (Diana Septiani Sari)

Oleh: Diana Septiani Sari
21/12/2014
IBU
            Langit senja terlihat dari balik jendela rumahku. Terdengar suara burung berkicau di atap rumah. Sosok perempuan parubaya terlihat masih sibuk memasak di dapur. Beliau adalah ibuku. Aku, adik, serta ayah menunggu di ruang makan untuk makan malam bersama. Suasana kebersamaan ini yang aku rindukan saat aku jauh dari orangtua. Masakan ibuku yang selalu aku rindukan ketika aku berada di Surabaya. Setelah makan malam selesai, tugas ibu belum selesai, ibu harus mendampingi adik belajar. Ibu yang selalu mengajari dan mendampingi adik saat belajar. Saat ibu mengalami kesulitan mengenai tugas adikku, ibu meneleponku bila aku tidak ada di rumah. Ibu meminta bantuanku untuk menjelaskan suatu materi yang ibu belum mengerti yang berada di buku mata pelajaran adikku. Aku mecoba untuk  menjelaskan kepada ibu sampai ibu mengerti. Ibu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya.
            Saat ibu tidur, terlihat kerutan halus di wajahnya. Aktivitas yang di kerjakan seharian penuh membuat ia lelah. Ibu tak pernah mengeluh, tak sepatah katapun yang terlontar dari lisannya. Senyumnya yang manis yang selalu aku rindukan bila aku tidak ada di dekatnya. Tutur katanya yang halus membuatku tenang ketika aku sedang galau. Ibu yang selalu memberiku nasihat saat aku banyak masalah. Juga menjadi teman setiaku meskipun aku tidak selalu berada di sampingnya.
            Saat rasa malas menyerangku, aku teringat ibu. Ibu yang tak pernah lelah untuk melakukan aktivitas apapun. Saat ibu sakitpun, ibu tetap melakukan aktivitas sehari-harinya. Tidak pernah absen untuk memberikan yang terbaik untuk suami dan anaknya. Yang menjadi panutan untuk anak-anaknya.

            Aku belum bisa membuat ibu bahagia. Kebaikan yang aku berikan kepada ibu hanya secuil dari semua pengorbanan yang di berikan ibu untukku. Suatu saat nanti aku akan membuat ibu menangis bukan karena kenakalanku, tapi karena prestasiku. Hanya untaian do’a yang selalu mengalir dari lisanku untuk ibu. Semoga Yang Maha Kuasa yang selalu mencurahkan kasih sayang-Nya kepada ibu.

feature ibu: Tak Perlu Menjadi Chef Internasional (Viva Latiefatus Yuroch)

Tak Perlu Menjadi Chef Internasional
Ditulis oleh: Viva Latiefatus Yuroch

Pagi hari pukul tiga setelah selesai dalam sujud tahajudnya, Ibu berganti seragam. Berangkat menembus dinginnya pagi, rela menanggalkan selimut dan hangatnya rumah untuk menuju  ke tempat kerjanya. Saat matanya yang masih sepet harus pula ditambahi oleh pedih karena mengupas bawang. Pekerja catering tidak boleh mengeluh tangannya panas karena mencuci cabai atau mual karena anyir darah ayam. Ibu seorang pekerja catering di daerah yang tak jauh dari rumah kami. Sebuah catering yang setiap harinya selalu menerima pesanan untuk makan siang sebuah pabrik. Jadi bisa dipastikan kalau tidak pernah ada hari libur untuk beliau.
Wanita Jawa tulen akan selalu berkata pada anak perempuannya “Sepandai-pandainya seorang wanita ia akan kembali ke dapur juga. Jadi tak ada salahnya kalau kamu belajar masak.” Kutipan itu seringkali digaungkan di telingaku bahkan sampai usiaku yang ke Sembilan belas tahun ini. Ibu adalah orang tak pernah bosan mengajariku. Mengenal mana ketumbar mana merica. Membedakan mana lengkuas, jahe, kunyit dan rempah lainnya. Ibu tidak pernah lelah.
Wanita kelahiran Surabaya 5 Mei 1955 itu telah dengan sangat baik mempengaruhi pola pikiranku. Aku sangat tahu betul apa yang menjadi kegemaran Ibu. Beliau sangat menyukai memasak. Tangannya begitu lincah meracik berbagai macam bahan untuk menjadi makanan yang luar biasa enak. Atau bahkan hanya sekadar menyajikan kudapan untuk menemani kumpul kita di sore hari. Bahkan ketika saat tersulit itu datang…
Tahun 2004 silam, Bapak yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga kami mendadak harus mengalami sakit yang parah. Stroke telah merenggut sebagian aktifitas beliau. Dan silahkan kalian tebak, siapakah yang harus banting setir menambah pekerjaannya? IBU. Kenapa aku sebut ‘menambah’. Ya, karena Ibu harus berperan ganda bahkan lebih. Beliau harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi istri dan menjadi seorang ibu untuk aku.
Ketika aku bertanya “Hendak bekerja apa nantinya Ibu?.” Dengan senyum yang tergurat di wajahnya beliau tenang menjawab “Memasak.” Ibu mendadak melejit menjadi tukang masak andalan catering itu. Banyak pelanggan merasa puas karena masakannya. Tak sia-sia berarti kerjanya dari shubuh sampai ba’da ashar itu. Pulang ke rumah pun Ibu masih harus disibukkan merawat Bapak yang lumpuh. Meladeni makan, mengganti popok atau sekadar menemani Bapak mengobrol. Aku tahu itu sangat melelahkan, tapi sekalipun aku tak pernah mendengar Ibu mengeluh.
Tak ada pekerjaan yang tanpa resiko. Tak jarang ketika pulang aku menyalami tangannya dan mendapati tangannya melepuh karena minyak, terkoyak parutan kelapa. Tapi itu beliau lakukan untuk memenuhi kebutuhan kami, menyekolahkan aku yang saat itu masih kelas tiga sekolah dasar. Satir memang, ia bekerja memasak kepada orang lain mengupas makanan yang enak-enak hanya untuk membuat keluarganya makan nasi plus telur ceplok atau berganti menu ala kadarnya. Upahnya kala itu hanya Rp 500.000,- , rasanya tak cukup untuk biaya makan, bayar listrik, membeli sabun sampai membayar sekolah dan uang sakuku. Lantas darimana Ibu menambal kekurangannya? Rupanya beliau ada bisnis terselubung. Seusai shalat maghrib, sembari menemani aku mengerjakan pe-er, Ibu membuat jajanan seperti ; pastel, lumpia , tahu isi, dll. Paginya akan beliau titipkan untuk di iderkan oleh Mbok Jamu.
Hasilnya bekerja keras itu rupanya mampu menyekolahkan aku sampai lepas SMA. Tenangnya seperti tak pernah ada habisnya, masih kuat untuk merawat seorang laki-laki tercinta di hidupnya. Menyuapinya dengan sungguh, padahal aku sendiri tahu beliau kadang juga menahan lapar. Saat itu aku pernah ikut Ibu kerja di satu hari libur, Ibu jarang sekali makan siang. Paling hanya nyemil satu dua tempe goreng. Tapi saat kakinya menginjak rumah yang pertama kali beliau tanyakan adalah “Bapak sudah lapar? Ayo makan”
Passion Ibu dalam memasak sungguh luar biasa. Semangatnya yang subhanallah selalu bisa menginspirasiku dari segala sudut kehidupan. Hal sesederhana seperti memasak ternyata mampu menjadi kebanggaan untuk dia. Beliau tak perlu menjadi chef internasional untuk membuatnya merasa hebat. Kala kutanya padanya Ibu hanya menjawab “Ibu sudah senang bisa bekerja pada sesuatu yang Ibu suka.” 19 Juni 2014 kemarin bisa jadi pukulan terdahsyat yang menghantamnya. Laki-laki tercinta dalam hidup Ibu dan aku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Bapak meninggalkan kami berdua. Aku tahu ada sembilu yang coba beliau sembunyikan. Dalam keadaan demikian pun kalimat yang sungguh luar biasa seakan mudah sekali keluar dari mulutnya “Inilah hebatnya menjadi seorang Ibu dan seorang istri. Mereka bisa memasak dan membahagiakan keluarga dengan masakan-masakannya. Ibu senang sudah menemani dua puluh lima tahun dalam hidup Bapak kamu dan menjadi kebanggaanya. Itu sudah pernghargaan tertinggi dalam hidup Ibu.” Subhanallah, Engkau menciptakan hati Ibu dari apa sih ya Allah ?