Blogger Widgets

Senin, 22 Desember 2014

feature ibu: Tak Perlu Menjadi Chef Internasional (Viva Latiefatus Yuroch)

Tak Perlu Menjadi Chef Internasional
Ditulis oleh: Viva Latiefatus Yuroch

Pagi hari pukul tiga setelah selesai dalam sujud tahajudnya, Ibu berganti seragam. Berangkat menembus dinginnya pagi, rela menanggalkan selimut dan hangatnya rumah untuk menuju  ke tempat kerjanya. Saat matanya yang masih sepet harus pula ditambahi oleh pedih karena mengupas bawang. Pekerja catering tidak boleh mengeluh tangannya panas karena mencuci cabai atau mual karena anyir darah ayam. Ibu seorang pekerja catering di daerah yang tak jauh dari rumah kami. Sebuah catering yang setiap harinya selalu menerima pesanan untuk makan siang sebuah pabrik. Jadi bisa dipastikan kalau tidak pernah ada hari libur untuk beliau.
Wanita Jawa tulen akan selalu berkata pada anak perempuannya “Sepandai-pandainya seorang wanita ia akan kembali ke dapur juga. Jadi tak ada salahnya kalau kamu belajar masak.” Kutipan itu seringkali digaungkan di telingaku bahkan sampai usiaku yang ke Sembilan belas tahun ini. Ibu adalah orang tak pernah bosan mengajariku. Mengenal mana ketumbar mana merica. Membedakan mana lengkuas, jahe, kunyit dan rempah lainnya. Ibu tidak pernah lelah.
Wanita kelahiran Surabaya 5 Mei 1955 itu telah dengan sangat baik mempengaruhi pola pikiranku. Aku sangat tahu betul apa yang menjadi kegemaran Ibu. Beliau sangat menyukai memasak. Tangannya begitu lincah meracik berbagai macam bahan untuk menjadi makanan yang luar biasa enak. Atau bahkan hanya sekadar menyajikan kudapan untuk menemani kumpul kita di sore hari. Bahkan ketika saat tersulit itu datang…
Tahun 2004 silam, Bapak yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga kami mendadak harus mengalami sakit yang parah. Stroke telah merenggut sebagian aktifitas beliau. Dan silahkan kalian tebak, siapakah yang harus banting setir menambah pekerjaannya? IBU. Kenapa aku sebut ‘menambah’. Ya, karena Ibu harus berperan ganda bahkan lebih. Beliau harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi istri dan menjadi seorang ibu untuk aku.
Ketika aku bertanya “Hendak bekerja apa nantinya Ibu?.” Dengan senyum yang tergurat di wajahnya beliau tenang menjawab “Memasak.” Ibu mendadak melejit menjadi tukang masak andalan catering itu. Banyak pelanggan merasa puas karena masakannya. Tak sia-sia berarti kerjanya dari shubuh sampai ba’da ashar itu. Pulang ke rumah pun Ibu masih harus disibukkan merawat Bapak yang lumpuh. Meladeni makan, mengganti popok atau sekadar menemani Bapak mengobrol. Aku tahu itu sangat melelahkan, tapi sekalipun aku tak pernah mendengar Ibu mengeluh.
Tak ada pekerjaan yang tanpa resiko. Tak jarang ketika pulang aku menyalami tangannya dan mendapati tangannya melepuh karena minyak, terkoyak parutan kelapa. Tapi itu beliau lakukan untuk memenuhi kebutuhan kami, menyekolahkan aku yang saat itu masih kelas tiga sekolah dasar. Satir memang, ia bekerja memasak kepada orang lain mengupas makanan yang enak-enak hanya untuk membuat keluarganya makan nasi plus telur ceplok atau berganti menu ala kadarnya. Upahnya kala itu hanya Rp 500.000,- , rasanya tak cukup untuk biaya makan, bayar listrik, membeli sabun sampai membayar sekolah dan uang sakuku. Lantas darimana Ibu menambal kekurangannya? Rupanya beliau ada bisnis terselubung. Seusai shalat maghrib, sembari menemani aku mengerjakan pe-er, Ibu membuat jajanan seperti ; pastel, lumpia , tahu isi, dll. Paginya akan beliau titipkan untuk di iderkan oleh Mbok Jamu.
Hasilnya bekerja keras itu rupanya mampu menyekolahkan aku sampai lepas SMA. Tenangnya seperti tak pernah ada habisnya, masih kuat untuk merawat seorang laki-laki tercinta di hidupnya. Menyuapinya dengan sungguh, padahal aku sendiri tahu beliau kadang juga menahan lapar. Saat itu aku pernah ikut Ibu kerja di satu hari libur, Ibu jarang sekali makan siang. Paling hanya nyemil satu dua tempe goreng. Tapi saat kakinya menginjak rumah yang pertama kali beliau tanyakan adalah “Bapak sudah lapar? Ayo makan”
Passion Ibu dalam memasak sungguh luar biasa. Semangatnya yang subhanallah selalu bisa menginspirasiku dari segala sudut kehidupan. Hal sesederhana seperti memasak ternyata mampu menjadi kebanggaan untuk dia. Beliau tak perlu menjadi chef internasional untuk membuatnya merasa hebat. Kala kutanya padanya Ibu hanya menjawab “Ibu sudah senang bisa bekerja pada sesuatu yang Ibu suka.” 19 Juni 2014 kemarin bisa jadi pukulan terdahsyat yang menghantamnya. Laki-laki tercinta dalam hidup Ibu dan aku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Bapak meninggalkan kami berdua. Aku tahu ada sembilu yang coba beliau sembunyikan. Dalam keadaan demikian pun kalimat yang sungguh luar biasa seakan mudah sekali keluar dari mulutnya “Inilah hebatnya menjadi seorang Ibu dan seorang istri. Mereka bisa memasak dan membahagiakan keluarga dengan masakan-masakannya. Ibu senang sudah menemani dua puluh lima tahun dalam hidup Bapak kamu dan menjadi kebanggaanya. Itu sudah pernghargaan tertinggi dalam hidup Ibu.” Subhanallah, Engkau menciptakan hati Ibu dari apa sih ya Allah ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar