Tak Perlu Menjadi Chef Internasional
Ditulis oleh: Viva Latiefatus Yuroch
Pagi hari pukul tiga setelah selesai
dalam sujud tahajudnya, Ibu berganti seragam. Berangkat menembus dinginnya
pagi, rela menanggalkan selimut dan hangatnya rumah untuk menuju ke tempat kerjanya. Saat matanya yang masih
sepet harus pula ditambahi oleh pedih karena mengupas bawang. Pekerja catering
tidak boleh mengeluh tangannya panas karena mencuci cabai atau mual karena
anyir darah ayam. Ibu seorang pekerja catering di daerah yang tak jauh dari
rumah kami. Sebuah catering yang setiap harinya selalu menerima pesanan untuk
makan siang sebuah pabrik. Jadi bisa dipastikan kalau tidak pernah ada hari
libur untuk beliau.
Wanita Jawa tulen akan selalu berkata
pada anak perempuannya “Sepandai-pandainya seorang wanita ia akan kembali ke
dapur juga. Jadi tak ada salahnya kalau kamu belajar masak.” Kutipan itu
seringkali digaungkan di telingaku bahkan sampai usiaku yang ke Sembilan belas
tahun ini. Ibu adalah orang tak pernah bosan mengajariku. Mengenal mana
ketumbar mana merica. Membedakan mana lengkuas, jahe, kunyit dan rempah
lainnya. Ibu tidak pernah lelah.
Wanita kelahiran Surabaya 5 Mei 1955 itu
telah dengan sangat baik mempengaruhi pola pikiranku. Aku sangat tahu betul apa
yang menjadi kegemaran Ibu. Beliau sangat menyukai memasak. Tangannya begitu
lincah meracik berbagai macam bahan untuk menjadi makanan yang luar biasa enak.
Atau bahkan hanya sekadar menyajikan kudapan untuk menemani kumpul kita di sore
hari. Bahkan ketika saat tersulit itu datang…
Tahun 2004 silam, Bapak yang seharusnya
menjadi tulang punggung keluarga kami mendadak harus mengalami sakit yang
parah. Stroke telah merenggut sebagian aktifitas beliau. Dan silahkan kalian
tebak, siapakah yang harus banting setir menambah pekerjaannya? IBU. Kenapa aku
sebut ‘menambah’. Ya, karena Ibu harus berperan ganda bahkan lebih. Beliau
harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi istri dan menjadi seorang ibu
untuk aku.
Ketika aku bertanya “Hendak bekerja apa
nantinya Ibu?.” Dengan senyum yang tergurat di wajahnya beliau tenang menjawab
“Memasak.” Ibu mendadak melejit menjadi tukang masak andalan catering itu.
Banyak pelanggan merasa puas karena masakannya. Tak sia-sia berarti kerjanya
dari shubuh sampai ba’da ashar itu. Pulang ke rumah pun Ibu masih harus
disibukkan merawat Bapak yang lumpuh. Meladeni makan, mengganti popok atau
sekadar menemani Bapak mengobrol. Aku tahu itu sangat melelahkan, tapi
sekalipun aku tak pernah mendengar Ibu mengeluh.
Tak ada pekerjaan yang tanpa resiko. Tak
jarang ketika pulang aku menyalami tangannya dan mendapati tangannya melepuh
karena minyak, terkoyak parutan kelapa. Tapi itu beliau lakukan untuk memenuhi
kebutuhan kami, menyekolahkan aku yang saat itu masih kelas tiga sekolah dasar.
Satir memang, ia bekerja memasak kepada orang lain mengupas makanan yang
enak-enak hanya untuk membuat keluarganya makan nasi plus telur ceplok atau
berganti menu ala kadarnya. Upahnya kala itu hanya Rp 500.000,- , rasanya tak
cukup untuk biaya makan, bayar listrik, membeli sabun sampai membayar sekolah
dan uang sakuku. Lantas darimana Ibu menambal kekurangannya? Rupanya beliau ada
bisnis terselubung. Seusai shalat maghrib, sembari menemani aku mengerjakan
pe-er, Ibu membuat jajanan seperti ; pastel, lumpia , tahu isi, dll. Paginya
akan beliau titipkan untuk di iderkan
oleh Mbok Jamu.
Hasilnya bekerja keras itu rupanya mampu
menyekolahkan aku sampai lepas SMA. Tenangnya seperti tak pernah ada habisnya,
masih kuat untuk merawat seorang laki-laki tercinta di hidupnya. Menyuapinya
dengan sungguh, padahal aku sendiri tahu beliau kadang juga menahan lapar. Saat
itu aku pernah ikut Ibu kerja di satu hari libur, Ibu jarang sekali makan
siang. Paling hanya nyemil satu dua tempe goreng. Tapi saat kakinya menginjak
rumah yang pertama kali beliau tanyakan adalah “Bapak sudah lapar? Ayo makan”
Passion
Ibu dalam memasak sungguh luar biasa. Semangatnya yang subhanallah selalu bisa menginspirasiku dari segala sudut
kehidupan. Hal sesederhana seperti memasak ternyata mampu menjadi kebanggaan
untuk dia. Beliau tak perlu menjadi chef internasional untuk membuatnya merasa
hebat. Kala kutanya padanya Ibu hanya menjawab “Ibu sudah senang bisa bekerja
pada sesuatu yang Ibu suka.” 19 Juni 2014 kemarin bisa jadi pukulan terdahsyat
yang menghantamnya. Laki-laki tercinta dalam hidup Ibu dan aku dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa. Bapak meninggalkan kami berdua. Aku tahu ada sembilu yang coba
beliau sembunyikan. Dalam keadaan demikian pun kalimat yang sungguh luar biasa
seakan mudah sekali keluar dari mulutnya “Inilah hebatnya menjadi seorang Ibu
dan seorang istri. Mereka bisa memasak dan membahagiakan keluarga dengan
masakan-masakannya. Ibu senang sudah menemani dua puluh lima tahun dalam hidup
Bapak kamu dan menjadi kebanggaanya. Itu sudah pernghargaan tertinggi dalam
hidup Ibu.” Subhanallah, Engkau menciptakan hati Ibu dari apa sih ya Allah ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar