Demi
Perhiasan Hidupnya
Posturnya memang kecil.
Tidak tinggi, tidak gemuk. Namun selama puluhan tahun dia telah banyak menanam
di hamparan lahan amalnya yang terus meluas. Dia juga telah memperpanjang
goresan tinta emas malaikat Raqib di dalam buku catatannya. Empat tahun silam,
sekitar dua bulan jelang Ramadhan, dia kembali membuktikan kapasitasnya sebagai
salah satu perempuan terhebat yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Di saat
kebingungan melanda karena harus segera mengumpulkan dana kurang lebih 30 juta,
dengan sepenuh kerelaan dan tanpa menyisakan senoktah keraguan, dia “titipkan”
semua perhiasan emas dan peraknya ke Perum Pegadaian demi membiayai operasi dan
20 hari rawat inap salah satu anaknya di
RSUD Dr Soetomo Surabaya akibat musibah kecelakaan. Dia lebih rela kehilangan
semua perhiasannya daripada kehilangan salah satu “perhiasan hidupnya” yang jauh
lebih berharga.
Keikhlasan berkorban
memang menjadi karakter utamanya sebagai sosok ibu. Tak pernah dia menuntut
balik modal atas semua dana yang dibelanjakan untuk kepentingan keluarga.
Baginya, suami dan ketiga buah hatinya adalah segala-galanya. Tak jarang, dia
rela menyantap makanan yang tidak lebih lezat dibandingkan dengan masakan untuk
orang-orang tercintanya. Dia selalu menjadi orang paling cemas saat terjadi
sesuatu yang menimpa anak-anaknya. Di balik jasad kecilnya juga terpancar
ketegasan, terutama mengenai hal-hal prinsip. Dia tidak pernah ingin mereka
yang terlahir dari kandungannya kelak tersesat atau bahkan jatuh dalam jurang
kehinaan. Walaupun kadang terkesan cerewet, namun dia juga tak ragu
mengorbankan waktunya untuk menjadi figur yang membuat ketiga anaknya merasa
nyaman berkeluh kesah, mencurahkan isi hati mereka.
Bentuk pengorbanannya
yang lain adalah dengan tidak menjadi seorang wanita karir. Beliau lebih
memilih menjadi ibu rumah tangga biasa. Dengan begitu, dia bisa punya banyak
waktu untuk dijadikan sandaran suami dan anak-anaknya. Dia merasa bahwa menjadi
ibu rumah tangga adalah jihad terbaik yang bisa ia lakukan. Dia tidak pernah
rendah diri di hadapan ibu-ibu lain yang berkarir di kantor.
“Jangan lupa baca doa,”
itu satu-satunya pesan yang tak pernah bosan ia sampaikan pada putera puterinya
meski ia sendiri pun tak pernah lupa memasukkan nama-nama penghuni ruang cinta
dan sayangnya dalam daftar doa setiap usai shalat. Dia meyakini bahwa doa bisa
menjadi senjata penngiring ikhtiar untuk mencapai ridho Allah.
Itulah ibuku. Andai saja
ada jutaan ibu yang seikhlas, setabah, dan sebesar pengorbanannya, alangkah
indahnya dunia ini.
Yudha Prima
Surabaya, 22 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar