Blogger Widgets

Senin, 22 Desember 2014

feature Ibu: Demi Perhiasan Hidupnya (Yudha Prima)

Demi Perhiasan Hidupnya
Posturnya memang kecil. Tidak tinggi, tidak gemuk. Namun selama puluhan tahun dia telah banyak menanam di hamparan lahan amalnya yang terus meluas. Dia juga telah memperpanjang goresan tinta emas malaikat Raqib di dalam buku catatannya. Empat tahun silam, sekitar dua bulan jelang Ramadhan, dia kembali membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu perempuan terhebat yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Di saat kebingungan melanda karena harus segera mengumpulkan dana kurang lebih 30 juta, dengan sepenuh kerelaan dan tanpa menyisakan senoktah keraguan, dia “titipkan” semua perhiasan emas dan peraknya ke Perum Pegadaian demi membiayai operasi dan 20 hari rawat inap  salah satu anaknya di RSUD Dr Soetomo Surabaya akibat musibah kecelakaan. Dia lebih rela kehilangan semua perhiasannya daripada kehilangan salah satu “perhiasan hidupnya” yang jauh lebih berharga.
Keikhlasan berkorban memang menjadi karakter utamanya sebagai sosok ibu. Tak pernah dia menuntut balik modal atas semua dana yang dibelanjakan untuk kepentingan keluarga. Baginya, suami dan ketiga buah hatinya adalah segala-galanya. Tak jarang, dia rela menyantap makanan yang tidak lebih lezat dibandingkan dengan masakan untuk orang-orang tercintanya. Dia selalu menjadi orang paling cemas saat terjadi sesuatu yang menimpa anak-anaknya. Di balik jasad kecilnya juga terpancar ketegasan, terutama mengenai hal-hal prinsip. Dia tidak pernah ingin mereka yang terlahir dari kandungannya kelak tersesat atau bahkan jatuh dalam jurang kehinaan. Walaupun kadang terkesan cerewet, namun dia juga tak ragu mengorbankan waktunya untuk menjadi figur yang membuat ketiga anaknya merasa nyaman berkeluh kesah, mencurahkan isi hati mereka. 
Bentuk pengorbanannya yang lain adalah dengan tidak menjadi seorang wanita karir. Beliau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga biasa. Dengan begitu, dia bisa punya banyak waktu untuk dijadikan sandaran suami dan anak-anaknya. Dia merasa bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah jihad terbaik yang bisa ia lakukan. Dia tidak pernah rendah diri di hadapan ibu-ibu lain yang berkarir di kantor.  
“Jangan lupa baca doa,” itu satu-satunya pesan yang tak pernah bosan ia sampaikan pada putera puterinya meski ia sendiri pun tak pernah lupa memasukkan nama-nama penghuni ruang cinta dan sayangnya dalam daftar doa setiap usai shalat. Dia meyakini bahwa doa bisa menjadi senjata penngiring ikhtiar untuk mencapai ridho Allah.
Itulah ibuku. Andai saja ada jutaan ibu yang seikhlas, setabah, dan sebesar pengorbanannya, alangkah indahnya dunia ini.

Yudha Prima

Surabaya, 22 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar