Feature:
Secangkir Cinta Untuk Ibu
Hanum Hiyanumz
Titik-titik hujan jatuh
bergantian, terpelanting ketanah menimbulkan cipratan kecil. Langkah itu tetap
tegap menjejak, membawa raga tanpa kenal lelah. Senyum tetap menyungging
membentuk lesung pipit walau tubuh terasa payah. Membagi ilmu dengan tulus. Menuangkan
air kesejukan pada yang haus akan ilmu. Gersangnya jiwa bisa terbasahi oleh
tutur lembut darinya. Beliau adalah ibuku.
Guru, adalah profesi ibu selama kurang
lebih sebelas tahun lamanya. Di sebuah sekolah sederhana ala ‘laskar pelangi’.
Sekolah islam yang mau menampung murid-murid yang berlatar belakang kekurangan
dalam hal ekonomi. Sekolah yang mau menampung murid-murid yang hampir putus
sekolah, yang semangat sekolahnya kurang. Mungkin sebagian besar orang
memandang sekolah itu adalah perkumpulan sekolah anak-anak nakal yang tak bisa
menggambarkan masa depannya. Namun dari cerita ibuku, sekolah itu adalah
sekolah yang penuh perjuangan. Mereka yang kekurangan ekonomi namun semangat
sekolahnya masih ada bisa membayar spp semampunya dan juga bisa bekerja sambil
bersekolah.
Jarak
antara rumah ke sekolah cukup jauh, berkisar 11 Km. Namun ibu tetap menekuni
profesi itu dengan semangat, meski gajinya terkadang tidak pasti. Meski juga
harus pintar membagi waktu antara menjadi guru dan menjadi ibu rumah tangga,
mengurus tiga adikku. Seringkali kusarankan untuk mendaftar guru di sekolah negeri
atau di sekolah lain yang gajinya pasti. Namun ibu menolak. Kata Ibu jika kita
melakukan pekerjaan dengan mengharap pahala, hidupnya lebih berkah. “Kita bukan
orang yang berlimpah secara financial,
jika kita tidak bisa membantu orang dengan harta kita, kita masih bisa membantu
dengan yang lain, seperti ilmu yang kita bagi,” begitu kata Ibu.
Aku
menyaksikan sendiri bagaimana ibu berjuang mengajar di sekolah itu. Sekolah
yang bangunannya pernah tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo itu kini
berpindah di suatu daerah yang berkelok-kelok jalannya, masuk ke dalam suatu
desa dan bangunannya kini kecil seperti sebuah lembaga bimbingan belajar. Terkadang,
jika ibu sedang berhemat, ibu pun berjalan kaki
hingga keluar jalan raya yang jaraknya lumayan jauh. Hujan, kemarau,
apapun musimnya tak menyurutkan beliau untuk berangkat mengajar.
Ibuku
adalah sosok tangguh yang pernah kukenal. Selain mengajar, beliau juga ibu
rumah tangga yang tangguh. Dahulu sebelum berprofesi sebagai seorang guru,
ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Dan ketika kondisi rumah tangga kami
sedang turun, ketika ayah sempat susah mencari pekerjaan, ibu berjualan
gorengan keliling. Aku saat itu malu untuk ikut membantu. Lalu selain berjualan
gorengan,ibu juga memberi les privat untuk anak sekolah. Banyak yang senang
jika diajar oleh ibuku. Selain pejuang yang tangguh, ibu juga sosok yang cerdas
dan lembut. Sampai ibu pernah juga memberikan les privat pada seorang anak SLB.
Murid-muridnya senang bercurhat ria pada ibu.
Entah,
apa aku bisa menjadi sosok yang sekuat beliau. Aku yang cenderung mudah putus
asa dan mengambil sikap yang simple
di setiap permasalahan. Aku memang bukan sosok yang tangguh dan cenderung
pengeluh. Namun, dari ibu aku belajar untuk selalu menikmati hidup dan
memberikan manfaat, apapun dan bagaimana pun keadaannya. Thanks ibu, secangkir cinta untukmu kupersembahkan di setiap doaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar