Awal
mula kisahku berawal dari sini. Namaku Nayla. Aku gadis remaja yang masih duduk di
bangku kelas 3 SMP. Aku
bersekolah di SMP Cahaya
Kasih, Jakarta Barat. Di usiaku yang masih beranjak 15
tahun ini,
aku harus memikul beratnya cobaan yang aku alami, yaitu penyakitku. Aku adalah satu dari sebagian penderita
kanker yang masih dapat bertahan hidup.
Iya, saat ini penyakit yang kuderita sedang
menyerang otakku. Bagi
sebagian orang aku ini orang yang sial. Namun
bagiku aku ini adalah orang yang sangat beruntung karena masih dapat merasakan
sakitnya penyakit yang aku derita.
Dan
aku juga masih beruntung meskipun aku terserang kanker--yang menurut sebagian orang itu penyakit
yang mengerikan, namun di sisi itu aku masih mempunyai dua orang
tua yang sangat menyayangiku.
Aku
juga mempunyai dua kakak serta lima sahabat yang selalu memberiku motivasi serta semangat agar aku dapat sembuh.
Pada pagi itu jam dinding menunjuk ke
arah pukul 06.00. Saat aku terbangun,
entah kenapa seluruh badanku rasanya kaku dan mati. Seketika itu pula aku langsung berteriak.
“Ayah, Bunda! Kak Reno, Kak
Ardi!”
“Ada apa, Nay?”
“Yah, badan Nayla kaku!”
“Kaku?”
“Iya, Yah,
kaku, nggak bisa digerakin.”
“Kok bisa gitu?”
“Nayla juga nggak tau, Yah.”
“Ada apa, Yah?”
“Ini, Bun,
kata Nayla badannya
kaku.”
“Bukan cuma itu aja, Yah.”
“Terus apa lagi, Sayang, yang kamu rasain?”
“Badan Nayla rasanya mati, Yah.”
“Maksud kamu mati?”
“Iya, Kak. Rasanya
kayak mati rasa gitu.”
“Yah, apa mungkin ini pengaruh kemo?”
“Ayah juga nggak tahu, Bun. Nanti coba Ayah tanyakan ke dokter Rendi. Ardi tolong suruh Pak Yus untuk siapin mobil sekarang.”
“Baik, Yah.”
Saat beberapa lama kemudian, aku, Ayah, dan Bunda berangkat ke rumah sakit untuk
bertemu dengan dokter Rendi, membicarakan tentang keadaanku ini. Sesampainya di rumah sakit, Ayah langsung menemui dokter Rendi.
“Dokter Rendi.”
“Ada apa, Pak Sofyan?”
“Begini, Dok. Setelah
satu minggu Nayla
kemo, tapi tidak ada
kemajuan. Malah
badannya
terasa kaku dan mati rasa.”
“Mungkin ada kesalahan dengan organ tubuh
Nayla, Pak.”
“Maksud dokter?”
“Iya, mungkin saja kanker Nayla sudah menyebar.”
“Terus apa solusinya, Dok?”
“Sebaiknya Nayla saya periksa dulu. Mari, Nayla.”
“Baik, Dok.”
Saat beberapa menit dokter telah selesai
memeriksaku dan memberi informasi kepada ayah dan bundaku bahwa kanker di
otakku sudah semakin membesar dan sudah mulai menyebar ke organ lain. Itulah
yang menyebabkan badanku terasa kaku dan mati rasa. Namun ayah dan bundaku
hanya dapat menangis dan pasrah akan keputusan dokter.
“Bagaimana solusinya, Dok,
agar anak saya bisa sembuh?”
“Jalan satu-satunya hanya operasi, Pak. Jika
operasi itu berhasil anak bapak akan sembuh, namun ....”
“Kenapa, Dok?”
“Kemungkinan anak bapak akan lumpuh
seumur hidup.”
“Nggak,
Dok,
saya nggak mau, saya nggak mau
anak saya lumpuh.”
“Ayah, udah, kita serahin aja sama dokter. Baik, Dok,
jika menurut dokter itu yang terbaik buat saya, saya mau dioperasi.”
“Nggak,
Nayla, Ayah nggak
mau kamu lumpuh.”
“Tapi, Yah!”
“Sudah cukup. Biar saja Nayla kemo. Nanti kita lihat hasilnya.”
“Tapi, Bunda!”
“Sudah, Yah,
ini semua juga demi kesembuhan Nayla.”
“Ya sudah kalau memang keputusan Bunda seperti itu, Nayla setuju?”
“Iya, Yah, Nayla
setuju.”
Setelah enam bulan lamanya aku mengikuti
penyembuhan dengan cara kemoterapi,
namun penyakitku tak kunjung sembuh, malahan rambutku sedikit demi sedikit
rontok. Bahkan
saat ini telah botak. Enam
bulan itu pula aku tidak bersekolah.
Namun
kelima sahabatku,
Putri, Bintang, Elena, Sari, serta Sela, siap membagi ilmu padaku. Saat itu pukul 12.00 siang. Para sahabatku telah berjanji akan
datang kerumahku untuk belajar bersama.
“Nayla.”
“Iya, masuk.”
Saat aku menemui mereka, mereka hanya
dapat memandangiku
dan menangis.
“Hey, kalian kenapa? Ayo,
masuk.”
“Ya ampun Nayla. Kamu kenapa jadi seperti ini?”
“Udah aku nggak papa kok,
ini semua karena pengaruh kemo.”
“Tapi kenapa kamu pakai kursi roda, kamu
lumpuh?”
“Nggak.
Aku cuma butuh ini untuk sementara waktu.”
“Ya, Tuhan. Nay ....”
“Udah jangan nangis. 'Kan kita di sini niat belajar bukan niat drama.”
“Ada-ada aja kamu, Nay.”
“Habisnya sih kalian pakek
nangis.”
“Kita 'kan nggak
tega ngelihat keadaan kamu,
Nay.”
“Iya-iya. Ya udah. Masuk, yuk.”
“Ayo.”
Dua jam berlalu aku belajar dengan para
sahabatku. Tanpa
kusadari darah dari hidungku menetes dengan sendirinya dan membuat panik para
sahabatku. Namun
aku mencoba untuk menenangkan mereka.
“Nayla, kamu kenapa?”
“Nggak apa kok. Ini udah biasa.”
“Tapi, Nayla!”
“Udah nggak apa kok.”
Akhirnya kami pun kembali melanjutkan
belajar. Lima belas menit
berlalu. Saat
itu aku berniat untuk mengambil obat ke kamar.
“Guys,
aku ke kamar dulu, ya.”
“Ngapain, Nay?”
“Aku mau ngambil obat dulu.”
“Oh, perlu dibantu berdirinya.”
“Nggak
usah.”
“Serius.!”
“Iya, temen-temen.”
Baru mencoba untuk berdiri sejenak, aku langsung terjatuh dan tak sadarkan
diri. Para sahabatku panilk dan teriak meminta tolong.
“Nayla! Nay,
bangun!
Tolong, tolong ....”
“Ada apa, anak-anak?”
“Ini, Tante. Nayla pingsan.”
“Ya Allah. Kok bisa?”
“Kita juga nggak tahu, Tante.”
“Ya Allah! Ayah, Reno, Ardi.”
“Ada apa, Bun?”
“Ayah kalian mana?”
“Di ruang kerja, Bun.”
“Cepat panggil.”
Saat itu
Kak Ardi langsung berlari ke ruang kerja Ayah sambil berteriak.
“Ayah! Ayah!”
“Ada apa, Ardi?”
“Nayla, Yah.”
“Iya adik kamu kenapa?”
“Nayla pingsan, Yah.”
“Ya Allah! Ayo kita ke bawah.”
Sesampainya di bawah Ayah langsung panik dan bingung.
“Ya Allah, Nayla. Pak Yus ... Pak
Yus!”
“Iya, Tuan?”
“Cepat siapkan mobil kita ke rumah sakit
sekarang.”
“Baik, Tuan.”
Saat di perjalanan, Kakak, Bunda, Ayah, serta para sahabatku begitu panik melihat
keadaanku. Beberapa lama di perjalanan,
akhirnya kami pun sampai di rumah sakit. Aku langsung dibawa
ke UGD. Saat itu keadaanku memang benar-benar parah hingga dokter dan suster
kelelahan menangaiku. Saat
itu memang aku telah sadar namun hasilnya nihil. Aku
memang bisa terselamatkan namun aku koma.
Empat hari berlalu. Aku masih tetap tak sadarkan diri. Namun di hari kelima pukul 9 pagi, aku merasa seperti ada yang membisikkan: “Nayla,
bangun sayang,
sudah waktunya engkau berpamitan pada mereka. Sampaikan pesan terakhirmu untuk
mereka.”
Entah kenapa seketika itu pula aku
terbangun.
“Nayla, kamu
sudah bangun, Sayang?”
Aku
hanya dapat tersenyum,
namun aku sibuk menengok kanan kiri. Ayah mencoba membantuku.
“Kamu cari apa, Sayang?”
Lalu
aku langsung menunjuk kertas dan pulpen yang ada di atas meja. Dengan sekuat tenaga aku mencoba
menyampaikan pesan melalui tulisan karena mulutku terasa tak bisa digerakkan. Dengan sekuat tenaga aku menulis dengan
pasti. Walaupun
tulisan itu tak begitu jelas,
namun Kak Reno berusaha untuk mengartikannya.
“Ayah, Bunda, Kak Reno, Kak Ardi, dan
sahabat-sahabat Nayla,
maaf jika selama ini Nayla
hanya dapat menyusahkan kalian. Nayla
cuma
mau bilang Nayla
mau pergi.”
Dengan menahan tangis ayahku hanya dapat
berkata, “Nayla
mau pergi? Kalau
iya,
Ayah, Bunda sama yang lain sudah rela, Sayang.”
Aku tak dapat berkata namun aku hanya
dapat tersenyum dan meneteskan air mata. Tepat pada pukul 09.15 pagi aku
mengembuskan napas
terakhirku. Di saat
itu pula ruangan tempatku dirawat seketika diliputi rasa haru dan menjadi
lautan air mata. Aku yakin bahwa air
mata yang dijatuhkan itu adalah tanda kerelaan akan kepergianku.
Saat dalam tidur panjangku hati kecilku
berkata. “Terimakasih Ayah, Bunda, kakak-kakakku, serta para sahabatku.
Selama ini kalian telah
banyak membantuku meskipun akhirnya aku harus pergi, namun aku berjanji akan selalu ada
di sisi kalian.”
"Pesan Terakhir"
Tuhan
jika ini memang hari terakhirku
Aku rela
Karena kurasa ini adalah waktu yang
tepat untukku
Tuhan
Jika memang kau beri aku kesempatan
sekali saja untuk aku dapat kembali
Ku 'kan ucapkan terimakasih
Namun jika tidak?
Aku
hanya ingin kau sampaikan pesan terakhirku untuk orang-orang yang kucintai
Ayah, Bunda, Kakak, dan
sahabat-sahabatku
Di sini,
di tempat ini percayalah bahwa aku bahagia
Karena aku yakin, bahwa kalian selalu
ada
Selalu ada tepat di hatiku
Dan aku selalu ada di sisi kehidupan kalian meskipun, kita
telah berbeda
alam
Namun percayalah!
Aku tetap bersama kalian