Blogger Widgets

Sabtu, 18 Januari 2014

Puisi "Waktu" Karya Moh Haris

WAKTU
Karya: Moh Haris

Pagi! Berikan ku kekuatan jalani hidup Cerahkan hariku agar tak redup Semangati aku 'tuk tak jenuh Awetkan dayaku agar selalu penuh Siang! Hangati tubuhku dengan sinar Bimbing aku cakap bernalar Tuntun aku ke jalan yang benar Lindungi aku agar tak melar Malam! Bawa aku ke alam penuh cinta Seret aku seirama goresan tinta Kasih aku terang dengan pelita Tunjukanku jalan sukses dengan peta
Sumenep, 05 Jan 2014


Puisi "Nasehat Itu" karya Rabiatul Hasanah

Nasehat Itu
Karya: Rabiatul Hasanah
Bayangkan bila waktu berhenti
Dan nafas tak lagi berhembus
Jantung
pun berhenti berdetak
Kau takkan pernah bisa lari
Kala Izroil mendekat
Berserupun kau tak mampu
Yang ada hanyalah jasad yang terkapar kaku
Jasad yang kan hancur dimamah bumi

Maka rugilah kau..
Bila tak kau rasakan betapa indahnya bersua di sepertiga malamNya
Menjalin kasih dalam setiap do’a dan sujud
Menangis dalam simpuh
Nikmatnya menyelami ayat-ayat Nya
Membasahi bibir ini dengan dzikir kepada Nya
Menangislah…


Bila kau tak lewati sepertiga malammu bersamaNya
Mengarungi keajaiban firmanNya
Lalu apa yang kan kau bawa menemuiNya?


Rabiatul Hasanah adalah siswi SMA Al Irsyad Surabaya

Minggu, 12 Januari 2014

[Cerpen]: "Pesan Terakhir" karya Vira Yanuar Ramadhani


Awal mula kisahku berawal dari sini. Namaku Nayla. Aku gadis remaja yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Aku bersekolah di SMP Cahaya Kasih, Jakarta Barat. Di usiaku yang masih beranjak 15 tahun ini, aku harus memikul beratnya cobaan yang aku alami, yaitu penyakitku. Aku adalah satu dari sebagian penderita kanker yang masih dapat bertahan hidup.
Iya, saat ini penyakit yang kuderita sedang menyerang otakku. Bagi sebagian orang aku ini orang yang sial. Namun bagiku aku ini adalah orang yang sangat beruntung karena masih dapat merasakan sakitnya penyakit yang aku derita. Dan aku juga masih beruntung meskipun aku terserang kanker--yang menurut sebagian orang itu penyakit yang mengerikan, namun di sisi itu aku masih mempunyai dua orang tua yang sangat menyayangiku. Aku juga mempunyai dua kakak serta lima sahabat yang selalu memberiku motivasi serta semangat agar aku dapat sembuh.
Pada pagi itu jam dinding menunjuk ke arah pukul 06.00. Saat aku terbangun, entah kenapa seluruh badanku rasanya kaku dan mati. Seketika itu pula aku langsung berteriak.
“Ayah, Bunda! Kak Reno, Kak Ardi!
“Ada apa, Nay?”
“Yah, badan Nayla kaku!
“Kaku?”
“Iya, Yah, kaku, nggak bisa digerakin.”
“Kok bisa gitu?”
“Nayla juga nggak tau, Yah.”
“Ada apa, Yah?”
“Ini, Bun, kata Nayla badannya kaku.”
“Bukan cuma itu aja, Yah.”
“Terus apa lagi, Sayang, yang kamu rasain?”
“Badan Nayla rasanya mati, Yah.”
“Maksud kamu mati?”
“Iya, Kak. Rasanya kayak mati rasa gitu.”
“Yah, apa mungkin ini pengaruh kemo?”
“Ayah juga nggak tahu, Bun. Nanti coba Ayah tanyakan ke dokter Rendi. Ardi tolong suruh Pak Yus untuk siapin mobil sekarang.”
“Baik, Yah.”
Saat beberapa lama kemudian, aku, Ayah, dan Bunda berangkat ke rumah sakit untuk bertemu dengan dokter Rendi, membicarakan tentang keadaanku ini. Sesampainya di rumah sakit, Ayah langsung menemui dokter Rendi.
“Dokter Rendi.”
“Ada apa, Pak Sofyan?”
“Begini, Dok. Setelah satu minggu Nayla kemo, tapi tidak ada kemajuan. Malah badannya terasa kaku dan mati rasa.”
“Mungkin ada kesalahan dengan organ tubuh Nayla, Pak.”
“Maksud dokter?”
“Iya, mungkin saja kanker Nayla sudah menyebar.”
“Terus apa solusinya, Dok?”
“Sebaiknya Nayla saya periksa dulu. Mari, Nayla.”
“Baik, Dok.”
Saat beberapa menit dokter telah selesai memeriksaku dan memberi informasi kepada ayah dan bundaku bahwa kanker di otakku sudah semakin membesar dan sudah mulai menyebar ke organ lain. Itulah yang menyebabkan badanku terasa kaku dan mati rasa. Namun ayah dan bundaku hanya dapat menangis dan pasrah akan keputusan dokter.
“Bagaimana solusinya, Dok, agar anak saya bisa sembuh?”
“Jalan satu-satunya hanya operasi, Pak. Jika operasi itu berhasil anak bapak akan sembuh, namun ....”
Kenapa, Dok?”
“Kemungkinan anak bapak akan lumpuh seumur hidup.”
Nggak, Dok, saya nggak mau, saya nggak mau anak saya lumpuh.”
“Ayah, udah, kita serahin aja sama dokter. Baik, Dok, jika menurut dokter itu yang terbaik buat saya, saya mau dioperasi.”
Nggak, Nayla, Ayah nggak mau kamu lumpuh.”
“Tapi, Yah!”
“Sudah cukup. Biar saja Nayla kemo. Nanti kita lihat hasilnya.”
“Tapi, Bunda!”
“Sudah, Yah, ini semua juga demi kesembuhan Nayla.”
“Ya sudah kalau memang keputusan Bunda seperti itu, Nayla setuju?”
“Iya, Yah, Nayla setuju.”
Setelah enam bulan lamanya aku mengikuti penyembuhan dengan cara kemoterapi, namun penyakitku tak kunjung sembuh, malahan rambutku sedikit demi sedikit rontok. Bahkan saat ini telah botak. Enam bulan itu pula aku tidak bersekolah. Namun kelima sahabatku, Putri, Bintang, Elena, Sari, serta Sela, siap membagi ilmu padaku. Saat itu pukul 12.00 siang. Para sahabatku telah berjanji akan datang kerumahku untuk belajar bersama.
“Nayla.”
 “Iya, masuk.”
Saat aku menemui mereka, mereka hanya dapat memandangiku dan menangis.
“Hey, kalian kenapa? Ayo, masuk.”
“Ya ampun Nayla. Kamu kenapa jadi seperti ini?”
“Udah aku nggak papa kok, ini semua karena pengaruh kemo.”
“Tapi kenapa kamu pakai kursi roda, kamu lumpuh?”
Nggak. Aku cuma butuh ini untuk sementara waktu.”
“Ya, Tuhan. Nay ....
“Udah jangan nangis. 'Kan kita di sini niat belajar bukan niat drama.”
“Ada-ada aja kamu, Nay.”
“Habisnya sih kalian pakek nangis.”
“Kita 'kan nggak tega ngelihat keadaan kamu, Nay.”
“Iya-iya. Ya udah. Masuk, yuk.”
“Ayo.”
Dua jam berlalu aku belajar dengan para sahabatku. Tanpa kusadari darah dari hidungku menetes dengan sendirinya dan membuat panik para sahabatku. Namun aku mencoba untuk menenangkan mereka.
“Nayla, kamu kenapa?”
Nggak apa kok. Ini udah biasa.”
“Tapi, Nayla!”
“Udah nggak apa kok.”
Akhirnya kami pun kembali melanjutkan belajar. Lima belas menit berlalu. Saat itu aku berniat untuk mengambil obat ke kamar.
Guys, aku ke kamar dulu, ya.”
“Ngapain, Nay?”
“Aku mau ngambil obat dulu.”
“Oh, perlu dibantu berdirinya.”
Nggak usah.”
“Serius.!”
“Iya, temen-temen.”
Baru mencoba untuk berdiri sejenak, aku langsung terjatuh dan tak sadarkan diri. Para sahabatku panilk dan teriak meminta tolong.
“Nayla! Nay, bangun! Tolong, tolong ....
“Ada apa, anak-anak?”
“Ini, Tante. Nayla pingsan.”
“Ya Allah. Kok bisa?”
“Kita juga nggak tahu, Tante.”
“Ya Allah! Ayah, Reno, Ardi.”
“Ada apa, Bun?”
“Ayah kalian mana?”
“Di ruang kerja, Bun.”
“Cepat panggil.”
Saat itu  Kak Ardi langsung berlari ke ruang kerja Ayah sambil berteriak.
“Ayah! Ayah!
“Ada apa, Ardi?”
“Nayla, Yah.”
“Iya adik kamu kenapa?”
“Nayla pingsan, Yah.”
“Ya Allah! Ayo kita ke bawah.”
Sesampainya di bawah Ayah langsung panik dan bingung.
“Ya Allah, Nayla. Pak Yus ... Pak Yus!
“Iya, Tuan?”
“Cepat siapkan mobil kita ke rumah sakit sekarang.”
“Baik, Tuan.”
Saat di perjalanan, Kakak, Bunda, Ayah, serta para sahabatku begitu panik melihat keadaanku. Beberapa lama di perjalanan, akhirnya kami pun sampai di rumah sakit. Aku langsung dibawa ke UGD. Saat itu keadaanku memang benar-benar parah hingga dokter dan suster kelelahan menangaiku. Saat itu memang aku telah sadar namun hasilnya nihil. Aku  memang bisa terselamatkan namun aku koma.
Empat hari berlalu. Aku masih tetap tak sadarkan diri. Namun di hari kelima pukul 9 pagi, aku merasa seperti ada yang membisikkan: “Nayla, bangun sayang, sudah waktunya engkau berpamitan pada mereka. Sampaikan pesan terakhirmu untuk mereka.”
Entah kenapa seketika itu pula aku terbangun.
“Nayla, kamu sudah bangun, Sayang?
Aku hanya dapat tersenyum, namun aku sibuk menengok kanan kiri. Ayah mencoba membantuku.
“Kamu cari apa, Sayang?”
Lalu aku langsung menunjuk kertas dan pulpen yang ada di atas meja. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menyampaikan pesan melalui tulisan karena mulutku terasa tak bisa digerakkan. Dengan sekuat tenaga aku menulis dengan pasti. Walaupun tulisan itu tak begitu jelas, namun Kak Reno berusaha untuk mengartikannya.
“Ayah, Bunda, Kak Reno, Kak Ardi, dan sahabat-sahabat Nayla, maaf jika selama ini Nayla hanya dapat menyusahkan kalian. Nayla cuma mau bilang Nayla mau pergi.”
Dengan menahan tangis ayahku hanya dapat berkata, “Nayla mau pergi? Kalau iya, Ayah, Bunda sama yang lain sudah rela, Sayang.”
Aku tak dapat berkata namun aku hanya dapat tersenyum dan meneteskan air mata. Tepat pada pukul 09.15 pagi aku mengembuskan napas terakhirku. Di saat itu pula ruangan tempatku dirawat seketika diliputi rasa haru dan menjadi lautan air mata. Aku yakin bahwa  air mata yang dijatuhkan itu adalah tanda kerelaan akan kepergianku.
Saat dalam tidur panjangku hati kecilku berkata. “Terimakasih Ayah, Bunda, kakak-kakakku, serta para sahabatku. Selama ini kalian telah banyak membantuku meskipun akhirnya aku harus pergi, namun aku berjanji akan selalu ada di sisi kalian.”


"Pesan Terakhir"

Tuhan
jika ini memang hari terakhirku
Aku rela
Karena kurasa ini adalah waktu yang tepat untukku
Tuhan
Jika memang kau beri aku kesempatan sekali saja untuk aku dapat kembali
Ku 'kan ucapkan terimakasih
Namun jika tidak?
Aku hanya ingin kau sampaikan pesan terakhirku untuk orang-orang yang kucintai
Ayah, Bunda, Kakak, dan sahabat-sahabatku
Di sini, di tempat ini percayalah bahwa aku bahagia
Karena aku yakin, bahwa kalian selalu ada
Selalu ada tepat di hatiku
Dan aku selalu ada di sisi kehidupan kalian meskipun, kita telah berbeda alam
Namun percayalah!
Aku tetap bersama kalian