Blogger Widgets

Sabtu, 19 April 2014

Puisi Pada Sebuah Kursi Karya Rabiatul Hasanah

Pada Sebuah Kursi
Karya: Rabiatul Hasanah (siswi SMA Al-Irsyad Surabaya)

Pada sebuah kursi
mereka bercengkrama
entah apa yang mereka bicarakan
berbicara tapi tak nyata

Mungkin mereka sedang sibuk
atau hanya menyibukkan diri
ada yg fokus pada topik
adapula yang hanya menatap kosong

Ah, dasar sombong sekali mereka
jas hitam memperindah tubuhnya
datang dan membuang waktu
aku tak habis pikir untuk apa mereka begitu

Pada sebuah kursi
duduk dan terdiam
sesekali bola matanya berkeliling
mungkin mereka sedang berpikir keras
atau merancang garis permainan

Aku terkagum kagum dibuatnya
hebat sekali mereka
hanya berprofesi duduk
materi mengaliri kehidupannya




 Surabaya, 17 April 2014

Jumat, 11 April 2014

[Cerpen]: "Pohon Asem Keramat" karya M. Sholiha



Sudut-sudut kecil, lorong-lorong kecil, tempat-tempat kecil, pojokan-pojokan, dan tempat apa pun yang sunyi dan terpencil. Apakah sesuatu yang kecil itu bermasalah? Mungkinkah? Mungkin iya di desaku. Desa Sukamakmur yang agak jauh dari jalan aspal. Jalan paving pun hanya sebagian yang nampak dan ada pula yang tidak lagi mematuhi barisan garis paving-nya, hingga sepeda yang kunaiki berbunyi gronjal-gronjal mengguncang perutku. Kukayuh sepeda ontel yang berwarna biru tua itu dengan cepat. Menembus hitam pekatnya malam. Napasku tersengal-sengal dibuatnya, hanya untuk cepat-cepat menuju rumah dan melarikan diri dari depan tempat itu.
“Mbak Nilam..., terdengar dari jauh suara parau memanggilku.
 “Iya....”
“Tungguin aku, Mbak!” teriak suara itu lagi.
Aku mengerem sepedaku tapi tidak serta merta berhenti. Menunggunya menghampiriku.
“Mbak.... tungguin aku ya, setiap pulang diba’an. Aku takut banget kalo sampai di depan pohon itu, pintanya setelah ia berhasil mengejarku.
“Memangnya pohon itu kenapa sih? Biasa aja deh kayaknya, lagian kan lokasinya di depan masjid.
“Katanya sih ada putih-putih gitu loh!”
“Putih-putih apaan? Gak ada apa-apa kok. Kamu kan bisa ngaji, bacain aja An Naas atau Al Fatihah,” bantahku sekenanya.
“Yah, Mbak, pokoknya nanti kalo pulangnya lewat sini, Aku bareng sama Mbak”.
“Oke-oke, nanti Aku tungguin pulangnya biar bisa bareng”.
***
Pagi itu tidak seperti biasanya. Padahal suasana masih pagi sekali dan dingin pun masih menyembunyikan dirinya pada selimut-selimut tebal bergaris. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Biasanya pukul tersebut adalah waktu untuk mengais rejeki bagi para pedagang. Di desaku, banyak orang yang bekerja menjadi pedagang, terutama pedagang sayur. Mereka sudah mempunyai pelanggan-pelanggan yang kebanyakan orang-orang Surabaya. Lumrah, karena para pedagang tersebut menjajakan dagangannya di Surabaya. Tapi, tidak untuk kali ini. Pagi ini mereka tidak pergi kerja. Mereka ikut bersuara di pilkades. Sehingga hari itu sangat ramai dan ada pula rasa takut yang tiba-tiba muncul bila calon lurah idolanya kalah bersaing dengan lawannya. Maklum saat itu adalah hari H pemilihan lurah di desaku yang diikuti oleh tiga dusun. Ada tiga calon dalam pilkades kali ini. Dua calon berasal dari desaku.
Banyak sekali trik-trik atau semacam ritual-ritual yang dilakoni warga untuk keberhasilan calonnya meraih kursi kepala desa. Salah satunya adalah dengan selametan di bawah pohon asem besar yang terletak di depan masjid. Menurut warga desaku, di pohon tersebut ada penghuninya atau sesosok makhluk halus yang menjaga wilayah sekitar pohon itu tumbuh. Mereka memanggilnya “buyuk”. Setiap ada hajatan, mereka selalu memberi sesajen di bawah pohon asem tersebut, katanya buat tolak balak.
“Allahu akbar....Allahu akbar...,” terdengar salah satu pengikut atau pemilih salah satu calon lurah yang menggemakan takbir dan diikuti oleh seluruh pemilih yang lain. Mereka mengantarkan calon kesayangannya ke balai desa, persis seperti berangkat perang. Sebelumnya mereka mampir sebentar ke tempat “buyuk”, yaitu di bawah pohon asem tersebut. Sedangkan calon lain dari desaku juga, ia dan rombongannya tidak terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Ia berangkat lebih awal, tapi entah kapannya tak jelas.
            Singkat kata singkat cerita, pilkades dilaksanakan seperti biasa hingga selesai pukul 12.00 WIB. Tepat pukul 13.00 WIB, perhitungan suara dimulai dan akhirnya diketahui siapa pemenangnya. Ternyata calon yang berhasil merebut kursi kepela desa adalah calon yang terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Warga menganggap itu semua karena berkah dari “buyuk” yang menghuni pohon asem itu.
“Bu, memangnya pohon itu benar-benar membawa keberkahan ya?”  tanyaku pada Ibuku.
“Gak usah percaya sama orang-orang,” kata Ibuku ketus.
Menurutku, pohon itu biasa-biasa saja, hanya tubuhnya yang semlohai dan tinggi menjulang serta membopong ranting-ranting berdaun dan berbunga yang mengeluarkan asem. Kalo lagi panen, uuuhhh... buahnya besar-besar dan bila dijual, hasilnya menjanjikan. Apalagi kalo ranting yang membopongnya sudah tak kuat lagi, sebab buah asemnya telah matang, bisa-bisa jadi hujan asem. Sementara anak-anak, tua muda laki-laki atau perempuan berjejal-jejal menunggu rontokan asem dari atas pohon yang dikoyak oleh salah satu orang yang naik di ranting yang agak besar. Kantong-kantong mereka penuh dengan asem. Kantong plastik, kantong saku bahkan kantong perut, semuanya penuh.
“Bu..bu... katanya Mbak Eka loh, kalo mau cari asem tu harus ngomong dulu sama buyuk”, kata adikku suatu saat setelah pulang dari berburu asem dengan temannya.
“Buyuk apa se, In? Emang Indra tau buyuk itu apa?” tanya Ibu menggoda.
“Gak tau. Neneknya Mbak Eka mungkin.
Sontak Aku dan ibuku tertawa geli mendengarnya. Adikku terlihat bingung melihatku dan Ibu tertawa, maklum dia masih kecil. Baru menginjak taman kanak-kanak.
“Iya ta? Memangnya Mbak Eka bilang apa?” tanyaku memancingnya.
“Begini, Mbak… Buyuk, kulo nyuwun aseme, gitu.
Ia menirukan si Eka.
“Ha ha ha...”
Aku dan Ibuku tak bisa menahan tawa.
Yah begitulah kalau mau ambil buah asem di pohon asem besar itu. Dulu aku juga pernah disuruh seperti itu oleh temanku. Tapi aku sih tidak pernah percaya dengan hal semacam itu, jadi aku cuek saja dan tak pernah mempedulikan itu semua. Mungkin peradaban sudah sedemikian maju, teknologi pun semakin canggih, listrik sudah masuk desa sejak dulu, meski sebagian kecil desa yang belum pernah sama sekali tersentuh aliran listrik. Tentu mereka hanya memakai lampu minyak atau oblek. Biasanya daerah yang sulit dijangkau dan terisolasi, entah itu karena lingkungan geografi maupun karena budayanya yang apriori.
Suatu ketika di desaku ada sebuah perhelatan ijab kabul sang pengantin. Seorang tua dengan memakai sembong dan lilitan rambut di belakang ditunjuk untuk melakukan pembakaran di tempat-tempat tertentu, salah satunya di pohon asem besar. Entah apa yang dibawa. Tapi kalau tidak salah, sempat aku melihat hasil tradisi tersebut dilakukan. Dalam wadah yang terbuat dari bahan dasar daun pisang dan dibentuk seperti perahu yang masing-masing ujungnya dililit kayu kecil yang dibuat untuk sapu lidi. Di dalamnya berisi macam rempah-rempah, selain itu ada segelintir tanaman padi atau apa yang mirip dengan padi dibakar terus ditinggal begitu saja. Nah, setelah selesai, anak-anak biasanya mengerubung tempat tersebut dan mengambil uang rupiah recehan yang ikut nimbrung di wadah tersebut bersama telur ayam. Mereka saling berebut.
“Bu... Aku dapat telur,” kata Adikku suatu hari setelah ikut pembakaran atau yang disebut obong-obong di desaku itu.
“Dari mana, Ndra?”
“Dari Buyuk, Bu, jawabnya sekenanya.
Hmmm... Aku tak habis pikir dengan semuanya. Mungkinkah akan tetap selamanya seperti ini? Oh entahlah, Aku tak tahu. Aku bukan Tuhan, tapi hanya seorang hamba yang berusaha patuh pada setiap perintah-Nya. Desaku yang katanya cukup luas ketimbang desa-desa tetangga itu, sudah menganut kepercayaan semacam itu sejak dulu, mungkinkah seperti nenek moyangnya? Menurutku sih iya. Biasanya kan generasi dulu suka mewariskan ilmunya pada generasi di bawahnya. Dan anehnya lagi kenapa generasi dibawahnya tidak bertanya yang lebih jelas, mengapa disuruh seperti ini? Ataukah mengapa begini dan begini? Mereka hanya terimo dadi, menerima apa adanya tanpa memikirkan manfaat dan mudharatnya.
Olala mungkin ini acuan weber dalam merumuskan salah satu teorinya mengenai tindakan sosial, mungkin. Dulu saat malam maulid Nabi, orang-orang membawa tumpeng, apem, air dan jajanan lain untuk dibawa ke pohon tersebut. Setelah itu airnya dibuat cuci muka dan dibuang ke halaman rumah, katanya sih buat tolak balak. Namun sekarang tidak lagi sejak pengurus desanya ganti orang-orang yang mengerti masalah agama. Kalau masalah tumpeng dan kawan-kawan tetap ada tapi dibawa ke masjid tidak ke pohon asem. Di masjid, mereka berdoa bersama-sama melantunkan shalawat pada sang Nabi dan mohon pertolongan kepada yang kuasa. Setelah itu, makan bersama, tapi kaum adam biasanya yang bawa tumpeng ke masjid.
Terkadang orang-orang masih sering melakukan kenduri di bawah pohon asem tersebut, entah karena apa alasannya, Aku tak tahu. Selama tradisi adat tetap dilestarikan, tradisi pohon asem keramat itu akan tetap ada bahkan sampai zaman yang akan datang, meski teknologi kian maju dan kian canggih serta zaman metafisik telah merambah ke seluruh pelosok negeri. Memang begitu kuat ikatan yang ada pada masyarakat gemeinschaft menurut Tonnies atau yang solidaritas mekanis yang menurut Durkheim.
Sampai sekarang kebudayaan itu masih lestari dan masih dilakoni seperti biasanya, tapi apa mereka tidak penat atau bosan ya? Atau mereka takut kalau penghuni pohon asem ngamuk dan mendatangkan balak? Tak tahulah aku. Hemm.. benar-benar tak masuk akal. Wallahu ‘alam lah.

M. Sholiha

Sabtu, 05 April 2014

Puisi "Perihal Hujan Kemarin". Karya: Maulidan Rahman Siregar

Perihal Hujan Kemarin
Karya: Maulidan Rahman Siregar

/1/
gemuruh tangis Mikail yang jatuh buru-buru selalu saja melukiskan namamu ditiap rintiknya, inikah yang disebut merindu, Din?
/2/
Din, tentang hujan yang menggenangi atap kotaku senja tadi. sudilah kiranya aku menganggap itu kamu. maka banjirlah aku, maka tenggelamlah aku dalam rindu. lalu berlinanglah itu si kelopak mataku, mengiringi titik-titik hujan yang silih berganti, berpacu dalam melodi-melodi nan syahdu.
ya, kira-kira begitu, Din
/3/
tentang satu warna pelangi yang timbul selepas hujan berduyun-duyun senja tadi di kotamu, Dinda. sudilah kiranya kau menganggap itu aku. Oke?


Pariaman, 6 Maret 2014

Nge-blog Untuk Happy Atau Money?

Oleh Reffi Dhinar FAMili Surabaya IDFAM 1695M

Menulis di blog adalah salah satu bentuk latihan menulis yang baik. Beragam tulisan yang kita posting di blog,  dapat dibaca orang lain sehingga bisa saja pembaca merasa terinspirasi oleh tulisan kita atau minimal merasa terhibur saat membacanya. Selain itu dengan rutin menulis di blog, kita juga dapat memperoleh penghasilan tambahan. Tak sedikit blogger-blogger sukses yang meraup penghasilan fantastis melebihi karyawan kantor dan pegawai biasa.

Menulis blog untuk menyalurkan ide dan keluh kesah atau bertujuan meraup untung, keduanya sama baiknya. Tentunya jika anda ingin menjadikan blog sebagai lahan penghasilan, anda harus tekun dalam menulis dan terus mengisi blog secara rutin sesuai dengan tema tulisan yang anda inginkan.
Jangan merasa risih dengan anggapan orang lain yang mengatakan jika nge-blog adalah kegiatan yang membuang-buang waktu. Justru dengan menulis di blog, kondisi psikologis akan lebih baik karena menulis dapat melepaskan kegelisahan ditambah lagi pengetahuan-pengetahuan menarik yang bisa diperoleh dari blogwalking (berkunjung ke blog orang lain).
sumber : google
Jika sudah memiliki blog, anda tidak boleh malu untuk mempromosikan tulisan anda. Dengan adanya pembaca yang mengapresiasi tulisan atau memberi kritik pada tulisan kita, tentunya kita aka mendapat pelajaran yang bermanfat untuk meningkatkan kemampuan menulis. Jadikan kegiatan nge-blog menjadi kegiatan yang membuat happy. Inilah beberapa cara agar kegiatan blog menjadi menyenangkan,
  1. Tulislah beragam tulisan yang sesuai minat kita. Akan lebih baik jika anda tak hanya menulis curhatan pribadi. Tulislah puisi, cerpen, artikel dan tips dengan gaya bahasa yang anda sukai. Karena blog adalah media sosial yang bisa diakses siapapun, maka jangan membuat tulisan yang berbau pornografi. Jadikan tulisan anda menghibur atau bermanfaat dengan cara yang tidak vulgar.
  2. Share tulisan anda di akun jejaring sosial khusus sharing blog seperti grup Warung Blogger di facebook dan twitter, lintas me, viva log news, dan lain-lain.
  3. Rajinlah berkunjung ke blog orang lain dan perhatikan gaya masing-masing. Jangan malu dengan tulisan anda, Raditya Dika saja bisa sukses karena tulisan kocaknya di blog dibukukan. 
  4. Sesekali ikutlah giveaway (kuis) yang diselenggarakan di blog orang lain. Saya mendapatkan buku dan T-shirt unik setelah tulisan saya emenangkan giveaway di sebuah blog. Jangan putus asa jika belum menang, karena kita tetap bisa melatih menulis dengan mengikuti giveaway.
Untuk menjadikan kegiatan nge-blog sebagai penambah pundi-pundi kantung kita, anda bisa melakukan beberapa tips berikut,
  • Mengikuti lomba review produk atau artikel yang memberi hadiah cukup besar seperti gadget hingga kendaraan  bermotor.
  • Fokus membuat tulisan dengan tema tertentu lalu mendaftarkan blog melalui Google Adsense. Misalnya, membuat blog khusus review alat-alat elektronik, gadget atau tips kesehatan. Awalnya, anda tidak akan menghasilkan apa-apa, namun seiring berkembangnya popularitas blog, maka akan banyak pemasang iklan atau instansi yang ingin dibuatkan reviewnya oleh kita. Saya sendiri baru saja mendapat job menulis review sebuah komunitas online karena rajin posting di blog, dan itu saya dapatkan dari seorang blogger yang cukup sukses.
Menulis adalah jalan amal yang tak habis-habis. Lewat menulis kita bisa menunjukkan eksistensi secara positif. Kumpulan tulisan di blog juga bisa menjadi ide untuk dijadikan buku. Ayo mulai rajin menulis di blog, kawan! :D