Blogger Widgets

Jumat, 11 April 2014

[Cerpen]: "Pohon Asem Keramat" karya M. Sholiha



Sudut-sudut kecil, lorong-lorong kecil, tempat-tempat kecil, pojokan-pojokan, dan tempat apa pun yang sunyi dan terpencil. Apakah sesuatu yang kecil itu bermasalah? Mungkinkah? Mungkin iya di desaku. Desa Sukamakmur yang agak jauh dari jalan aspal. Jalan paving pun hanya sebagian yang nampak dan ada pula yang tidak lagi mematuhi barisan garis paving-nya, hingga sepeda yang kunaiki berbunyi gronjal-gronjal mengguncang perutku. Kukayuh sepeda ontel yang berwarna biru tua itu dengan cepat. Menembus hitam pekatnya malam. Napasku tersengal-sengal dibuatnya, hanya untuk cepat-cepat menuju rumah dan melarikan diri dari depan tempat itu.
“Mbak Nilam..., terdengar dari jauh suara parau memanggilku.
 “Iya....”
“Tungguin aku, Mbak!” teriak suara itu lagi.
Aku mengerem sepedaku tapi tidak serta merta berhenti. Menunggunya menghampiriku.
“Mbak.... tungguin aku ya, setiap pulang diba’an. Aku takut banget kalo sampai di depan pohon itu, pintanya setelah ia berhasil mengejarku.
“Memangnya pohon itu kenapa sih? Biasa aja deh kayaknya, lagian kan lokasinya di depan masjid.
“Katanya sih ada putih-putih gitu loh!”
“Putih-putih apaan? Gak ada apa-apa kok. Kamu kan bisa ngaji, bacain aja An Naas atau Al Fatihah,” bantahku sekenanya.
“Yah, Mbak, pokoknya nanti kalo pulangnya lewat sini, Aku bareng sama Mbak”.
“Oke-oke, nanti Aku tungguin pulangnya biar bisa bareng”.
***
Pagi itu tidak seperti biasanya. Padahal suasana masih pagi sekali dan dingin pun masih menyembunyikan dirinya pada selimut-selimut tebal bergaris. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Biasanya pukul tersebut adalah waktu untuk mengais rejeki bagi para pedagang. Di desaku, banyak orang yang bekerja menjadi pedagang, terutama pedagang sayur. Mereka sudah mempunyai pelanggan-pelanggan yang kebanyakan orang-orang Surabaya. Lumrah, karena para pedagang tersebut menjajakan dagangannya di Surabaya. Tapi, tidak untuk kali ini. Pagi ini mereka tidak pergi kerja. Mereka ikut bersuara di pilkades. Sehingga hari itu sangat ramai dan ada pula rasa takut yang tiba-tiba muncul bila calon lurah idolanya kalah bersaing dengan lawannya. Maklum saat itu adalah hari H pemilihan lurah di desaku yang diikuti oleh tiga dusun. Ada tiga calon dalam pilkades kali ini. Dua calon berasal dari desaku.
Banyak sekali trik-trik atau semacam ritual-ritual yang dilakoni warga untuk keberhasilan calonnya meraih kursi kepala desa. Salah satunya adalah dengan selametan di bawah pohon asem besar yang terletak di depan masjid. Menurut warga desaku, di pohon tersebut ada penghuninya atau sesosok makhluk halus yang menjaga wilayah sekitar pohon itu tumbuh. Mereka memanggilnya “buyuk”. Setiap ada hajatan, mereka selalu memberi sesajen di bawah pohon asem tersebut, katanya buat tolak balak.
“Allahu akbar....Allahu akbar...,” terdengar salah satu pengikut atau pemilih salah satu calon lurah yang menggemakan takbir dan diikuti oleh seluruh pemilih yang lain. Mereka mengantarkan calon kesayangannya ke balai desa, persis seperti berangkat perang. Sebelumnya mereka mampir sebentar ke tempat “buyuk”, yaitu di bawah pohon asem tersebut. Sedangkan calon lain dari desaku juga, ia dan rombongannya tidak terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Ia berangkat lebih awal, tapi entah kapannya tak jelas.
            Singkat kata singkat cerita, pilkades dilaksanakan seperti biasa hingga selesai pukul 12.00 WIB. Tepat pukul 13.00 WIB, perhitungan suara dimulai dan akhirnya diketahui siapa pemenangnya. Ternyata calon yang berhasil merebut kursi kepela desa adalah calon yang terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Warga menganggap itu semua karena berkah dari “buyuk” yang menghuni pohon asem itu.
“Bu, memangnya pohon itu benar-benar membawa keberkahan ya?”  tanyaku pada Ibuku.
“Gak usah percaya sama orang-orang,” kata Ibuku ketus.
Menurutku, pohon itu biasa-biasa saja, hanya tubuhnya yang semlohai dan tinggi menjulang serta membopong ranting-ranting berdaun dan berbunga yang mengeluarkan asem. Kalo lagi panen, uuuhhh... buahnya besar-besar dan bila dijual, hasilnya menjanjikan. Apalagi kalo ranting yang membopongnya sudah tak kuat lagi, sebab buah asemnya telah matang, bisa-bisa jadi hujan asem. Sementara anak-anak, tua muda laki-laki atau perempuan berjejal-jejal menunggu rontokan asem dari atas pohon yang dikoyak oleh salah satu orang yang naik di ranting yang agak besar. Kantong-kantong mereka penuh dengan asem. Kantong plastik, kantong saku bahkan kantong perut, semuanya penuh.
“Bu..bu... katanya Mbak Eka loh, kalo mau cari asem tu harus ngomong dulu sama buyuk”, kata adikku suatu saat setelah pulang dari berburu asem dengan temannya.
“Buyuk apa se, In? Emang Indra tau buyuk itu apa?” tanya Ibu menggoda.
“Gak tau. Neneknya Mbak Eka mungkin.
Sontak Aku dan ibuku tertawa geli mendengarnya. Adikku terlihat bingung melihatku dan Ibu tertawa, maklum dia masih kecil. Baru menginjak taman kanak-kanak.
“Iya ta? Memangnya Mbak Eka bilang apa?” tanyaku memancingnya.
“Begini, Mbak… Buyuk, kulo nyuwun aseme, gitu.
Ia menirukan si Eka.
“Ha ha ha...”
Aku dan Ibuku tak bisa menahan tawa.
Yah begitulah kalau mau ambil buah asem di pohon asem besar itu. Dulu aku juga pernah disuruh seperti itu oleh temanku. Tapi aku sih tidak pernah percaya dengan hal semacam itu, jadi aku cuek saja dan tak pernah mempedulikan itu semua. Mungkin peradaban sudah sedemikian maju, teknologi pun semakin canggih, listrik sudah masuk desa sejak dulu, meski sebagian kecil desa yang belum pernah sama sekali tersentuh aliran listrik. Tentu mereka hanya memakai lampu minyak atau oblek. Biasanya daerah yang sulit dijangkau dan terisolasi, entah itu karena lingkungan geografi maupun karena budayanya yang apriori.
Suatu ketika di desaku ada sebuah perhelatan ijab kabul sang pengantin. Seorang tua dengan memakai sembong dan lilitan rambut di belakang ditunjuk untuk melakukan pembakaran di tempat-tempat tertentu, salah satunya di pohon asem besar. Entah apa yang dibawa. Tapi kalau tidak salah, sempat aku melihat hasil tradisi tersebut dilakukan. Dalam wadah yang terbuat dari bahan dasar daun pisang dan dibentuk seperti perahu yang masing-masing ujungnya dililit kayu kecil yang dibuat untuk sapu lidi. Di dalamnya berisi macam rempah-rempah, selain itu ada segelintir tanaman padi atau apa yang mirip dengan padi dibakar terus ditinggal begitu saja. Nah, setelah selesai, anak-anak biasanya mengerubung tempat tersebut dan mengambil uang rupiah recehan yang ikut nimbrung di wadah tersebut bersama telur ayam. Mereka saling berebut.
“Bu... Aku dapat telur,” kata Adikku suatu hari setelah ikut pembakaran atau yang disebut obong-obong di desaku itu.
“Dari mana, Ndra?”
“Dari Buyuk, Bu, jawabnya sekenanya.
Hmmm... Aku tak habis pikir dengan semuanya. Mungkinkah akan tetap selamanya seperti ini? Oh entahlah, Aku tak tahu. Aku bukan Tuhan, tapi hanya seorang hamba yang berusaha patuh pada setiap perintah-Nya. Desaku yang katanya cukup luas ketimbang desa-desa tetangga itu, sudah menganut kepercayaan semacam itu sejak dulu, mungkinkah seperti nenek moyangnya? Menurutku sih iya. Biasanya kan generasi dulu suka mewariskan ilmunya pada generasi di bawahnya. Dan anehnya lagi kenapa generasi dibawahnya tidak bertanya yang lebih jelas, mengapa disuruh seperti ini? Ataukah mengapa begini dan begini? Mereka hanya terimo dadi, menerima apa adanya tanpa memikirkan manfaat dan mudharatnya.
Olala mungkin ini acuan weber dalam merumuskan salah satu teorinya mengenai tindakan sosial, mungkin. Dulu saat malam maulid Nabi, orang-orang membawa tumpeng, apem, air dan jajanan lain untuk dibawa ke pohon tersebut. Setelah itu airnya dibuat cuci muka dan dibuang ke halaman rumah, katanya sih buat tolak balak. Namun sekarang tidak lagi sejak pengurus desanya ganti orang-orang yang mengerti masalah agama. Kalau masalah tumpeng dan kawan-kawan tetap ada tapi dibawa ke masjid tidak ke pohon asem. Di masjid, mereka berdoa bersama-sama melantunkan shalawat pada sang Nabi dan mohon pertolongan kepada yang kuasa. Setelah itu, makan bersama, tapi kaum adam biasanya yang bawa tumpeng ke masjid.
Terkadang orang-orang masih sering melakukan kenduri di bawah pohon asem tersebut, entah karena apa alasannya, Aku tak tahu. Selama tradisi adat tetap dilestarikan, tradisi pohon asem keramat itu akan tetap ada bahkan sampai zaman yang akan datang, meski teknologi kian maju dan kian canggih serta zaman metafisik telah merambah ke seluruh pelosok negeri. Memang begitu kuat ikatan yang ada pada masyarakat gemeinschaft menurut Tonnies atau yang solidaritas mekanis yang menurut Durkheim.
Sampai sekarang kebudayaan itu masih lestari dan masih dilakoni seperti biasanya, tapi apa mereka tidak penat atau bosan ya? Atau mereka takut kalau penghuni pohon asem ngamuk dan mendatangkan balak? Tak tahulah aku. Hemm.. benar-benar tak masuk akal. Wallahu ‘alam lah.

M. Sholiha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar