Sudut-sudut kecil,
lorong-lorong kecil, tempat-tempat kecil, pojokan-pojokan, dan tempat apa pun yang sunyi dan
terpencil. Apakah sesuatu yang kecil itu bermasalah? Mungkinkah? Mungkin iya di
desaku. Desa Sukamakmur
yang agak jauh dari jalan aspal. Jalan paving
pun hanya sebagian yang nampak dan ada pula yang tidak lagi mematuhi barisan
garis paving-nya, hingga sepeda yang
kunaiki berbunyi gronjal-gronjal mengguncang perutku. Kukayuh sepeda ontel yang
berwarna biru tua itu dengan cepat. Menembus hitam pekatnya malam. Napasku
tersengal-sengal dibuatnya, hanya untuk cepat-cepat menuju rumah dan melarikan
diri dari depan tempat itu.
“Mbak Nilam...,” terdengar dari jauh
suara parau memanggilku.
“Iya....”
“Tungguin aku, Mbak!” teriak suara itu lagi.
Aku mengerem sepedaku
tapi tidak serta merta
berhenti. Menunggunya menghampiriku.
“Mbak.... tungguin aku ya, setiap pulang
diba’an. Aku takut banget kalo sampai di depan pohon itu,” pintanya setelah ia berhasil mengejarku.
“Memangnya pohon itu kenapa
sih? Biasa aja deh kayaknya,
lagian kan lokasinya di depan masjid.”
“Katanya sih ada
putih-putih gitu loh!”
“Putih-putih apaan? Gak ada apa-apa kok. Kamu kan bisa ngaji,
bacain aja An Naas atau Al Fatihah,”
bantahku sekenanya.
“Yah, Mbak, pokoknya nanti
kalo pulangnya lewat sini, Aku bareng sama Mbak”.
“Oke-oke, nanti Aku
tungguin pulangnya biar bisa bareng”.
***
Pagi itu tidak seperti
biasanya. Padahal suasana masih pagi sekali dan dingin pun masih menyembunyikan
dirinya pada selimut-selimut tebal bergaris. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB.
Biasanya pukul tersebut adalah waktu untuk mengais rejeki bagi para pedagang.
Di desaku, banyak orang yang bekerja menjadi pedagang, terutama pedagang sayur.
Mereka sudah mempunyai pelanggan-pelanggan yang kebanyakan orang-orang Surabaya. Lumrah, karena para
pedagang tersebut menjajakan dagangannya di Surabaya. Tapi, tidak untuk kali
ini. Pagi ini mereka tidak pergi kerja.
Mereka ikut bersuara di pilkades. Sehingga hari itu
sangat ramai dan ada pula rasa takut yang tiba-tiba muncul bila calon lurah
idolanya kalah bersaing dengan lawannya.
Maklum saat itu adalah hari H pemilihan lurah di desaku
yang diikuti oleh tiga dusun. Ada tiga calon dalam pilkades kali ini. Dua calon
berasal dari desaku.
Banyak sekali trik-trik
atau semacam ritual-ritual yang dilakoni warga untuk keberhasilan calonnya
meraih kursi kepala desa. Salah satunya adalah dengan selametan di bawah pohon
asem besar yang terletak di depan masjid. Menurut warga desaku, di pohon
tersebut ada penghuninya atau sesosok makhluk halus yang menjaga wilayah
sekitar pohon itu tumbuh. Mereka memanggilnya “buyuk”. Setiap ada hajatan,
mereka selalu memberi sesajen di
bawah
pohon asem tersebut, katanya buat tolak balak.
“Allahu akbar....Allahu
akbar...,” terdengar salah satu
pengikut atau pemilih salah satu calon lurah yang menggemakan takbir dan
diikuti oleh seluruh pemilih yang lain.
Mereka mengantarkan calon kesayangannya ke balai
desa, persis seperti berangkat perang. Sebelumnya mereka mampir sebentar ke
tempat “buyuk”,
yaitu di bawah pohon asem tersebut. Sedangkan calon lain dari desaku juga, ia dan rombongannya
tidak terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Ia berangkat lebih awal, tapi
entah kapannya tak jelas.
Singkat
kata singkat cerita, pilkades dilaksanakan seperti biasa hingga selesai pukul
12.00 WIB. Tepat pukul 13.00 WIB, perhitungan suara dimulai dan akhirnya
diketahui siapa pemenangnya. Ternyata calon yang berhasil merebut kursi kepela
desa adalah calon yang terlebih dulu mampir ke pohon tersebut. Warga menganggap
itu semua karena berkah dari “buyuk” yang menghuni pohon asem itu.
“Bu, memangnya pohon
itu benar-benar membawa keberkahan ya?” tanyaku
pada Ibuku.
“Gak usah percaya sama
orang-orang,”
kata Ibuku ketus.
Menurutku, pohon itu
biasa-biasa saja, hanya tubuhnya yang semlohai dan tinggi menjulang serta
membopong ranting-ranting berdaun dan berbunga yang mengeluarkan asem. Kalo
lagi panen, uuuhhh... buahnya
besar-besar dan bila dijual, hasilnya menjanjikan. Apalagi kalo ranting yang membopongnya
sudah tak kuat lagi, sebab buah asemnya telah matang, bisa-bisa jadi hujan
asem. Sementara anak-anak, tua muda laki-laki atau perempuan berjejal-jejal
menunggu rontokan asem dari atas pohon yang dikoyak oleh salah satu orang yang
naik di ranting yang agak besar. Kantong-kantong mereka penuh dengan asem.
Kantong plastik, kantong saku bahkan kantong perut, semuanya penuh.
“Bu..bu... katanya Mbak
Eka loh, kalo mau cari asem tu harus ngomong dulu sama buyuk”, kata adikku suatu saat
setelah pulang dari berburu asem dengan temannya.
“Buyuk apa se, In? Emang Indra tau
buyuk itu apa?” tanya Ibu menggoda.
“Gak tau. Neneknya Mbak Eka
mungkin.”
Sontak Aku dan ibuku tertawa geli
mendengarnya. Adikku terlihat bingung melihatku dan Ibu tertawa, maklum dia
masih kecil. Baru menginjak taman kanak-kanak.
“Iya ta? Memangnya Mbak Eka
bilang apa?” tanyaku
memancingnya.
“Begini, Mbak… Buyuk, kulo nyuwun aseme, gitu.”
Ia menirukan si Eka.
“Ha ha ha...”
Aku dan Ibuku tak bisa
menahan tawa.
Yah begitulah kalau mau
ambil buah asem di pohon asem besar itu. Dulu aku juga pernah disuruh seperti itu oleh
temanku. Tapi aku
sih tidak pernah percaya dengan hal semacam itu, jadi aku cuek saja dan tak
pernah mempedulikan itu semua. Mungkin peradaban sudah sedemikian maju,
teknologi pun semakin canggih, listrik sudah masuk desa sejak dulu, meski
sebagian kecil desa yang belum pernah sama sekali tersentuh aliran listrik. Tentu mereka hanya memakai
lampu minyak atau oblek. Biasanya daerah yang sulit dijangkau dan terisolasi,
entah itu karena lingkungan geografi maupun karena budayanya yang apriori.
Suatu ketika di desaku ada sebuah
perhelatan ijab kabul sang pengantin. Seorang tua dengan memakai sembong dan
lilitan rambut di belakang ditunjuk untuk melakukan pembakaran di tempat-tempat
tertentu, salah satunya di pohon asem besar. Entah apa yang dibawa. Tapi kalau tidak salah, sempat aku melihat hasil
tradisi tersebut dilakukan. Dalam wadah yang terbuat dari bahan dasar daun
pisang dan dibentuk seperti perahu yang masing-masing ujungnya dililit kayu
kecil yang dibuat untuk sapu lidi. Di dalamnya berisi macam rempah-rempah,
selain itu ada segelintir tanaman padi atau apa yang mirip dengan padi dibakar
terus ditinggal begitu saja. Nah,
setelah selesai, anak-anak biasanya mengerubung tempat tersebut dan mengambil
uang rupiah recehan yang ikut nimbrung di wadah tersebut bersama telur ayam.
Mereka saling berebut.
“Bu... Aku dapat telur,” kata Adikku suatu
hari setelah ikut pembakaran atau yang disebut obong-obong di desaku itu.
“Dari mana, Ndra?”
“Dari Buyuk, Bu,” jawabnya sekenanya.
Hmmm... Aku tak habis
pikir dengan semuanya. Mungkinkah akan tetap selamanya seperti ini? Oh
entahlah, Aku tak tahu. Aku
bukan Tuhan, tapi hanya seorang hamba yang berusaha patuh pada setiap perintah-Nya. Desaku yang
katanya cukup luas ketimbang desa-desa tetangga itu, sudah menganut kepercayaan
semacam itu sejak dulu, mungkinkah seperti nenek moyangnya? Menurutku sih iya. Biasanya kan generasi
dulu suka mewariskan ilmunya pada generasi di bawahnya. Dan anehnya lagi kenapa
generasi dibawahnya tidak bertanya yang lebih jelas, mengapa disuruh seperti
ini? Ataukah mengapa begini dan begini? Mereka hanya terimo dadi, menerima apa adanya tanpa memikirkan manfaat dan
mudharatnya.
Olala mungkin ini acuan
weber dalam merumuskan salah satu teorinya mengenai tindakan sosial, mungkin. Dulu
saat malam maulid Nabi,
orang-orang membawa tumpeng, apem, air dan jajanan lain untuk dibawa ke pohon
tersebut. Setelah itu airnya dibuat cuci muka dan dibuang ke halaman rumah, katanya
sih buat tolak balak. Namun sekarang tidak lagi sejak pengurus desanya ganti
orang-orang yang mengerti masalah agama. Kalau masalah tumpeng dan kawan-kawan
tetap ada tapi dibawa ke masjid tidak ke pohon asem. Di masjid, mereka berdoa
bersama-sama melantunkan shalawat pada sang Nabi dan mohon pertolongan kepada
yang kuasa. Setelah itu,
makan bersama, tapi kaum adam biasanya yang bawa tumpeng ke masjid.
Terkadang orang-orang
masih sering melakukan kenduri di bawah pohon asem tersebut, entah karena apa alasannya,
Aku tak tahu. Selama tradisi adat tetap dilestarikan, tradisi pohon asem
keramat itu akan tetap ada bahkan sampai zaman yang akan datang, meski
teknologi kian maju dan kian canggih serta zaman metafisik telah merambah ke
seluruh pelosok negeri. Memang begitu kuat ikatan yang ada pada masyarakat
gemeinschaft menurut Tonnies atau yang solidaritas mekanis yang menurut
Durkheim.
Sampai sekarang
kebudayaan itu masih lestari dan masih dilakoni seperti biasanya, tapi apa mereka tidak penat atau
bosan ya? Atau mereka
takut kalau penghuni pohon asem ngamuk dan mendatangkan balak? Tak tahulah aku. Hemm.. benar-benar
tak masuk akal. Wallahu ‘alam lah.
M. Sholiha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar