Blogger Widgets

Senin, 22 Desember 2014

Feature Ibu: Tahu Mengering Termakan Lambung (RIzka A)

Tahu Mengering Termakan Lambung
Ditulis oleh: Rizka A
Jumat kelabu rintik-rintik hujan membasahi dapur tak berjendela dan tak berpintu itu. Sosok wanita tua berwajah segitiga terbalik itu sedang sibuk mengiris bawang putih. Guratan kasar tergambar di wajahnya yang selalu nampak letih. Matanya yang berwarna sedikit keabuan di bagian pinggirnya. Tangannya tak sehalus dulu, tak licin seperti bawang putih yang baru dikupasnya.
Ia begitu fokus menggoreng tahu untuk camilan sore hari yang dingin. Anak perempuan dan laki-lakinya terheran karena tak biasanya wanita tua itu berperilaku seperti saat ini. Wanita itu menjadi sosok ibu yang sebenarnya, yang biasanya ia sibuk menjadi seorang ayah. Sesekali ia memanggil anak perempuannya yang berwajah segitiga dan tak mewarisi sifatnya sama sekali. Anak perempuannya yang merupakan si sulung itu tampak senang mencipratkan air bekas cuci piring ke rambut adiknya. Wanita tua itu berteriak keras seperti biasanya. Suaranya menggelegar penuh percaya diri dan ketegasan. Ia melerai dua buah hatinya untuk segera berhenti dan membantunya membuat gorengan. Seperti biasanya, si bungsu segera lari dari tanggung jawab dan lebih memilih mencuci motornya di halaman rumah. Tinggalah si sulung yang sedikit ogah-ogahan membantu, karena ibunya itu sungguh berisik sekali dan suka bertanya-tanya seputar info pribadinya atau keadaan dirinya selama 4 hari dalam seminggu pergi menuntut ilmu ke kota orang.  
Dua orang berbeda karakter itu akhirnya terhenyak di dalam lamunan panjang seiring air hujan tumpah ruah dan aroma sedap dari minyak panas perlahan menyeruak hidung. Si sulung ternyata lebih memilih bungkam untuk tidak membeberkan permasalahan pribadinya. Wanita tua yang melahirkan dua buah hati yang bergolongan darah berbeda satu sama lain itu terus membolak-balik tahu. Tahu yang menguning, lalu perlahan berubah kecoklatan dan bagian luarnya mulai mengering. Tahu yang mengering, tak kenyal lagi, dan akhirnya raib tertelan lambung manusia. Seperti siklus hidup manusia dari yang segar hingga layu. Seperkasanya wanita, akhirnya akan lunglai juga seiring tua renta menyerang usianya.
Tiba-tiba, terbenak dalam hati si sulung bahwa setelah ibunya tiada nanti tanggung jawabnya akan semakin besar. Ia harus dapat menjadi panutan bagi 4 adiknya yang terletak di berbagai tempat. Meski hanya adik pertamanya yang berada di rumah itu, namun adik-adiknya yang lain masih membutuhkan bimbingan darinya. Adik-adik tirinya. Yang masih sangat belia dan si sulung tak ingin mereka bernasib sama seperti dirinya. Hidup yang penuh keheningan tanpa suara tawa yang hangat.  
Dari hal sepele saja yang ingin dilakukan si sulung sedari dulu adalah mendapat bimbingan keterampilan dasar seorang wanita dari ibunya, seperti membuat camilan sederhana yang dilakukannya hari ini. Tapi sayangnya, si ibu jarang sekali meluangkan waktu mengajarinya menjadi wanita sejati. Mungkin rintik-rintik hujan sore ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi si sulung meski tak menampakkannya secara langsung, malah terkesan cuek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar