Tahu Mengering Termakan Lambung
Ditulis oleh: Rizka A
Jumat kelabu rintik-rintik
hujan membasahi dapur tak berjendela dan tak berpintu itu. Sosok wanita tua
berwajah segitiga terbalik itu sedang sibuk mengiris bawang putih. Guratan
kasar tergambar di wajahnya yang selalu nampak letih. Matanya yang berwarna
sedikit keabuan di bagian pinggirnya. Tangannya tak sehalus dulu, tak licin
seperti bawang putih yang baru dikupasnya.
Ia begitu fokus
menggoreng tahu untuk camilan sore hari yang dingin. Anak perempuan dan
laki-lakinya terheran karena tak biasanya wanita tua itu berperilaku seperti saat
ini. Wanita itu menjadi sosok ibu yang sebenarnya, yang biasanya ia sibuk
menjadi seorang ayah. Sesekali ia memanggil anak perempuannya yang berwajah
segitiga dan tak mewarisi sifatnya sama sekali. Anak perempuannya yang
merupakan si sulung itu tampak senang mencipratkan air bekas cuci piring ke
rambut adiknya. Wanita tua itu berteriak keras seperti biasanya. Suaranya
menggelegar penuh percaya diri dan ketegasan. Ia melerai dua buah hatinya untuk
segera berhenti dan membantunya membuat gorengan. Seperti biasanya, si bungsu
segera lari dari tanggung jawab dan lebih memilih mencuci motornya di halaman
rumah. Tinggalah si sulung yang sedikit ogah-ogahan membantu, karena ibunya itu
sungguh berisik sekali dan suka bertanya-tanya seputar info pribadinya atau
keadaan dirinya selama 4 hari dalam seminggu pergi menuntut ilmu ke kota orang.
Dua orang berbeda
karakter itu akhirnya terhenyak di dalam lamunan panjang seiring air hujan
tumpah ruah dan aroma sedap dari minyak panas perlahan menyeruak hidung. Si
sulung ternyata lebih memilih bungkam untuk tidak membeberkan permasalahan
pribadinya. Wanita tua yang melahirkan dua buah hati yang bergolongan darah berbeda
satu sama lain itu terus membolak-balik tahu. Tahu yang menguning, lalu
perlahan berubah kecoklatan dan bagian luarnya mulai mengering. Tahu yang
mengering, tak kenyal lagi, dan akhirnya raib tertelan lambung manusia. Seperti
siklus hidup manusia dari yang segar hingga layu. Seperkasanya wanita, akhirnya
akan lunglai juga seiring tua renta menyerang usianya.
Tiba-tiba, terbenak
dalam hati si sulung bahwa setelah ibunya tiada nanti tanggung jawabnya akan
semakin besar. Ia harus dapat menjadi panutan bagi 4 adiknya yang terletak di
berbagai tempat. Meski hanya adik pertamanya yang berada di rumah itu, namun
adik-adiknya yang lain masih membutuhkan bimbingan darinya. Adik-adik tirinya.
Yang masih sangat belia dan si sulung tak ingin mereka bernasib sama seperti
dirinya. Hidup yang penuh keheningan tanpa suara tawa yang hangat.
Dari
hal sepele saja yang ingin dilakukan si sulung sedari dulu adalah mendapat
bimbingan keterampilan dasar seorang wanita dari ibunya, seperti membuat
camilan sederhana yang dilakukannya hari ini. Tapi sayangnya, si ibu jarang
sekali meluangkan waktu mengajarinya menjadi wanita sejati. Mungkin
rintik-rintik hujan sore ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi si sulung
meski tak menampakkannya secara langsung, malah terkesan cuek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar