Tanaman
Tanpa Buah
Karya:
Adeliagitta (siswi kelas 5C SD Roudhotul Jannah, Pepelegi,Sidoarjo)
Pada
pukul 5 pagi, aku harus sudah siap untuk bekerja. Cita-citaku adalah petani.Di
dekat rumahku, aku memiliki lahan yang luas. Aku sempat berpikir untuk
mengganti cita-cita. Tetapi aku bingung harus berganti apa. Hmm... sambil
mencari kesibukan, aku pergi ke hutan dengan bersepeda.
Di
tengah jalan, aku berpapasan dengan Mbak Uri. Dia adalah salah seorang kakakku
yang baik hati.
“Kakak
sedang apa?” tanyaku.
“Ini
sepertinya ada biji yang tersebar disini,” ucap Mbak Uri.
Aku
memandang ke arah yang ditunjuk oleh Mbak Uri sambil mencoba menebak apa yang
akan dilakukannya terhadap biji-biji itu.
“Bintang,
apa kamu mau membantuku untuk mengambil biji-biji ini, nanti akan kita tanam di
halaman rumah,” ajak Mbak Uri.
“Oke,”
sahutku.
Aku
membantu Mbak Uri. Sesampainya di rumah, aku dan Mbak Uri langsung menanam
biji-biji itu di dalam tanah. Setiap hari aku memberinya air, pupuk, bahkan
yang paling aneh aku sering memandanginya hingga melotot.
Suatu
hari, desa yang kutempati mengalami kekeringan. Semua lahan mati, tumbuhan di
jalan-jalan layu. Aku pun bersedih. Meski begitu, kasih sayangku terhadap
tumbuhan yang kutanam bersama Mbak Uri tidak ikut rontok. Tetapi, aku makin
lama makin putus asa. Tumbuhan itu tidak mau tumbuh.
“Sudah
tidak ada harapan lagi. Seluruh tumbuhan di desa kita akan mati kekeringan,”
ucap Pak RT. Mendengar itu, aku langsung pulang.
Aku
penasaran dengan tumbuhan yang kutanam itu. Akhirnya aku melakukan penggalian.
Mbak Uri ikut membantu. Setelah kucangkul sepenuh tenaga, aku sangat terkejut.
Ternyata tumbuhan itu berbuah di dalam tanah.
“Aku
mau cicipi. Mungkin rasanya enak,” ujar Mbak Uri saat melihat tanamanku tumbuh
subur di dalam tanah.
“Wah,
benar. Rasanya enak sekali!” seru Mbak Uri kegirangan. Aku senang mendengarnya.
Tak lama kemudian, Pak RT datang bersama para warga. Rupanya kabar tentang
berbuahnya tanamanku itu menyebar dengan cepat.
“Bintang,
ini adalah makanan terlezat yang pernah Bapak makan,” puji Pak RT.
Aku
senang. Desaku hijau lagi. Dan yang tak kalah penting, aku bertekad tidak akan
mengubah cita-citaku. Ya, menjadi petani, itulah cita-citaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar