oleh Ken Hanggara
Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan bagi saya. Meski begitu, tak
dipungkiri, seringkali beberapa kendala datang menghambat. Salah satu
kendala yang paling sering terjadi adalah kebuntuan saat mengembangkan
ide. Coba bayangkan, saat tengah asyik melamun, tiba-tiba ada ide
berkelebat dalam kepala. Tak ayal, kita pun segera bangkit, mengambil
pena, lalu mulai menulis. Akan sangat nikmat bila ide tadi berkembang
seiring dengan bekerjanya jemari mengolah kata. Namun, apa jadinya bila
berhenti di tengah jalan?
Saya punya dua analogi dalam menulis.
Bagi saya ide itu bagaikan sebongkah batu. Sedangkan sebuah karya,
ibarat rumah yang siap ditempati. Batu tidak akan pernah mempunyai arti
apabila ia tetap diam dalam keberadaannya. Sedangkan tanpa batu, rumah
tidak akan pernah berdiri. Maka, "sebongkah batu" akan memberi arti bila
kita menjadikannya bagian dari pondasi "rumah" yang akan dibangun.
Lalu, bagaimana caranya agar "rumah" itu selesai? Serta bagaimana pula
agar kita tidak kekurangan "batu"? Semua pertanyaan ini dapat terjawab
jika kita benar-benar menginginkan "rumah" itu ada. Mau tidak mau,
segala upaya dilakukan. Semakin keras upaya, semakin jelas menunjukkan
seberapa serius keinginan kita untuk memiliki "rumah" tersebut. Nah,
dengan pemikiran semacam inilah, selama ini saya mampu mengatasi
kebuntuan dalam mengembangkan ide. Saya tanamkan dalam alam bawah sadar,
bahwa: "Aku tidak akan berhenti sampai rumah ini selesai kubangun!"
Metode menulis ini saya sebut dengan metode "Rumah Batu". Mungkin ini
sangat aneh. Tapi setidaknya dengan cara ini; "menanam pemahaman bahwa
tulisan layaknya sebuah rumah", saya merasa sangat termotivasi oleh diri
sendiri, untuk terus mengembangkan ide yang buntu, agar tidak
terbengkalai, hingga menjadi tulisan yang utuh.
Salah satu
buktinya adalah saat saya menulis kumpulan cerpen "Minus Menangis". Buku
ini tak jauh berbeda dari dua buku saya sebelumnya (jika dilihat dari
cara pembuatannya). Saya selalu menerapkan metode di atas. Dalam
beberapa kesempatan, kebuntuan dalam menulis pasti terjadi. Tidak ada
penulis yang tak pernah mengalaminya. Namun, dengan adanya metode
tersebut, saya seolah terdorong untuk berpikir kreatif, mencari celah
dari kebuntuan tadi, untuk menemukan kemungkinan baru yang bisa
dieksplor.
Pada awalnya, "Minus Menangis" sama sekali tak
pernah terbayang di pikiran. Bahkan saya sendiri tak berniat untuk
menulis buku ini. Namun seperti halnya waktu, kedatangan ide tak bisa
diduga kapan, di mana, serta bagaimana. Suatu pagi di akhir bulan Mei
2013 lalu, saya dan keluarga berlibur ke kota Malang, Jawa Timur.
Rencananya hari itu kami akan pergi ke pantai. Sebenarnya pantai bukan
tempat favorit saya. Apalagi pantai tujuan kami--menurut saya--tidak
terlalu istimewa; Pantai Balekambang. Bukan karena tempatnya kurang
bagus, melainkan saya sendiri sering merasa bosan dengan pemandangan
pantai yang itu-itu saja. Saya lebih senang wisata alam di air terjun
atau gunung. Kala itu, lubuk hati saya berbisik: "Bersenang-senanglah
hari ini, apa pun yang terjadi. Meski tidak suka, setidaknya kau
berlibur!" Dan saya pun patuh. Apa salahnya bersenang-senang?
Saya sempat menduga tidak akan ada ide menarik untuk tulisan saya hari
itu. Namun dugaan itu sungguh salah. Ide bagus justru datang saat mobil
yang saya tumpangi melaju kencang. Tak jauh sebelum kami sampai di
pantai itu, di tepi jalan, saya melihat seorang kakek tua berbaju lusuh,
penuh lubang, tengah berjalan sambil memikul sebatang sapu. Apa yang
dia lakukan, batin saya. Mata ini lekat menatapnya dalam-dalam, sampai
kakek tua itu tak terlihat. Sejak dulu saya memang tertarik dengan
kehidupan pedesaan, dari mulai orang-orangnya, keindahan alamnya, sampai
profesi mereka. Maka, bila melihat segala yang berkaitan dengan itu,
saya merasa seolah ada yang melempar kepala ini dengan sebongkah batu.
Segeralah setelah kakek itu menghilang, saya catat "sebongkah batu" yang
saya dapatkan pagi itu dalam buku catatan.
Beberapa hari
setelahnya, tepatnya sore tanggal 3 Juni 2013, saya memutuskan untuk
menulis sebuah cerpen. Semangat saya menggebu-gebu. Tiga bulan tak
menulis cerpen, rasanya seolah hampa. Jadilah senja yang sunyi itu bak
reuni dengan sahabat yang tiga tahun lamanya berpisah. Oh, indahnya
pertemuan kami!
Namun sayangnya, keindahan itu tak sebanding
dengan pusingnya kepala saya. Entah kenapa menulis cerpen menjadi tidak
selancar sebelumnya. Saya berhenti di beberapa bagian, berpikir keras,
mengutak-atik satu kata dengan kata lainnya, mengolah satu per satu
kalimat, berdiri, berjalan keliling ruangan, untuk kemudian kembali
melanjutkan menulis.
Akhirnya, dalam waktu kurang lebih 3 jam,
dengan bersusah payah, akhirnya selesailah sebuah cerpen berjudul
"Telanjang". Inspirasinya dari kakek tua pemikul sapu tadi. Cerpen itu
bercerita tentang kondisi kejiwaan lelaki miskin yang dikhianati oleh
banyak orang, bahkan oleh bangsanya sendiri. Senang rasanya, setelah
tiga bulan tak sekali pun menulis cerpen, rindu ini pun terobati. Di
waktu yang hampir bersamaan, perut saya terasa sakit. Sudah sejak siang
tidak makan. Lambung terasa sangat perih. Ingin rasanya segera menutup
netbook dan mengisi perut dengan nasi.
Akan tetapi, sesuatu
tiba-tiba datang membisiki telinga saya, pelan, pelan sekali: "Kenapa
ide ini tidak kau buat jadi sebuah buku?" Benar juga. Ide ini langka.
Sayang sekali kalau hanya sebatas menjadi cerpen. Baiknya sekalian
membuat buku saja. Ya, baiknya kujadikan buku saja; buku kumpulan
cerpen!
Rasa lapar pun musnah. Perut tidak lagi terasa sakit.
Dengan penuh semangat, saya rapikan cerpen itu dari kesalahan ketik,
sembari membayangkan akan seperti apa buku yang masih dalam tahap
rencana ini. Saya rela menunda makan demi tidak kehilangan ilham yang
baru saja mampir.
Pada detik itulah saya melihat usaha menulis
cerpen ini sebagai peletakan "batu" pertama dalam pembangunan "rumah"
yang saya inginkan. Diam-diam saya bersyukur kami berlibur ke pantai.
Sebab, boleh jadi ide yang didapat akan jauh berbeda dan tidak semenarik
kakek tua pemikul sapu tadi, andaipun kami pergi ke gunung. Betapa
tidak? Sebatang sapu itu memberi saya pelajaran, bahwa dari sapulah,
seseorang bisa membuat sesuatu yang kotor menjadi bersih. Dengan
sapulah, seseorang bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik.
Tidaklah sulit untuk menentukan benang merah buku ini. Sebab, semua
itu telah tersimpan di balik setiap paragraf dalam cerpen "Telanjang"
yang baru saja selesai. Saya ingin menulis tentang sisi kelam Indonesia.
Korupsi yang merajalela, keadilan yang diperjualbelikan, pendidikan dan
layanan kesehatan yang seolah bukan untuk mereka yang tak mampu, serta
masih banyak lagi kekacauan di negeri ini. Semua itu membuat semangat
saya berkobar-kobar. Dengan cara inilah saya bisa menyuarakan
keprihatinan saya atas segala persoalan itu.
Sore itu juga saya
memberi deadline untuk diri sendiri, bahwa pada hari ulang tahun saya
yang ke-22 (21 Juni 2013), buku itu sudah harus selesai. Itu artinya,
saya hanya punya waktu tidak kurang dari 18 hari!
Ah,
sepertinya tidak mungkin. Menulis buku dalam waktu sesingkat itu belum
pernah saya lakukan. Dua buku saya yang telah terbit sebelumnya ditulis
selama 40 hari. Walau keduanya ditulis secara bersamaan, setidaknya
sudah ada persiapan sebelumnya. Ide-ide yang terserak telah lebih dulu
saya catat. Nah, ini? Kali ini saya tidak memiliki persiapan apa-apa,
selain hanya "sebongkah batu" yang saya pungut dalam perjalanan menuju
pantai!
Jelaslah, dengan adanya deadline tadi, saya justru
menciptakan tekanan untuk diri sendiri. Tapi anehnya, keadaan ini malah
memancing saya untuk lebih kreatif mencari ide-ide baru, serta memuaskan
hasrat untuk bereksperimen lewat tulisan. Saya sengaja membuang waktu
istirahat dan "bersenang-senang" saya, lalu menggantikannya dengan hanya
menulis saja. Jika teman-teman sedang berkumpul, saya asyik menulis.
Jika teman-teman menonton film, saya masih menulis. Dan jika teman-teman
tidur, kadang-kadang saya malah menulis.
Dalam sehari, saya
jadwalkan minimal 3 jam waktu untuk menulis, atau bahkan lebih bila
memungkinkan (dengan waktu yang terbagi, tidak sekaligus). Saya tidak
menunggu kapan waktu terbaik untuk menulis (bagi sebagian penulis
disebut dengan mood atau golden moment), karena jadwal menulis saya
telah tertempel di meja belajar, dan saya tidak mau "mengkhianatinya".
Saya bertekad bahwa dalam satu hari setidaknya harus menyelesaikan satu
atau dua judul cerpen. Saya tidak tahu cerpen-cerpen seperti apa yang
akan saya tulis nanti. Saya hanya meletakkan dalam kepala; gambar-gambar
imajiner berisi penderitaan bangsa ini, sebagai benang merah dari buku
yang akan saya tulis.
"Kalau kau ingin rumahmu cepat selesai,
cari potongan-potongan batu berikutnya, agar pondasi, dinding, dan
atapmu segera berdiri. Jangan bermalas-malasan!" bisik saya pada diri
sendiri.
Metode "Rumah Batu"--sebutan dua analogi yang saya
ciptakan sendiri tadi--kembali saya jalani. Berkali-kali kebuntuan saya
alami, namun berkali-kali pula saya bangkit, karena waktu menuju tanggal
21 Juni 2013 semakin dekat. Dengan adanya tekanan dan motivasi hasil
rekayasa otak saya sendiri itu, beruntung, segala hal yang saya lihat,
dengar, dan pikirkan, bermetamorfosis menjadi bermacam ide cemerlang
untuk disulap menjadi cerpen.
Perjalanan mencari ide salah
satunya saya lakukan dengan mengakses berita dari televisi maupun
internet. Tak jarang pula, ide-ide segar saya dapat ketika tengah asyik
menonton film sebelum tidur. Dua hal di atas menyimpan banyak ide bagi
siapa pun yang peka. Ada pula beberapa ide yang saya dapat lewat
"perjumpaan tak terduga", seperti halnya perjumpaan saya dengan kakek
tua pemikul sapu. Dan sisanya, beberapa ide didapat dari masa lalu saya
sendiri.
Tantangan lain yang saya hadapi adalah dari datangnya
ide-ide itu. Oleh karena ide datang semau-maunya sendiri, saya
mempersiapkan diri sedapat mungkin agar ide-ide baru tidak lantas
terabaikan. Maka, beginilah jadinya:
"Jika dalam satu hari ada
dua ide yang muncul, setidaknya saya harus mewujudkan salah satu atau
bahkan dua-duanya dalam bentuk cerpen. Jika dalam satu hari ada lebih
dari dua ide yang muncul, saya buat antrean sederhana untuk ide-ide itu
(ide berikutnya ditulis di keesokan harinya). Dan jika dalam satu hari
itu tidak ada ide sama sekali, saya akan menulis tanpa tahu apa yang
akan saya tulis!"
Yang terakhir mungkin aneh. Tapi begitulah
adanya. Justru dari tidak adanya ide, sepanjang saya menulis bebas
sesuai dengan apa yang saya bayangkan saat itu juga, malah dengan
sendirinya ide datang di tengah proses. Dan alhamdulillah saya berhasil
melakukannya sampai beberapa kali. Cerpen-cerpen yang diawali dengan
"tanpa ide" itu adalah: "Sambal Terasi", "Manusia Setengah Pohon",
"Dulu, di Balik Jendela Kamar", "Rutinitas", "Tahi Ayam", "Minus",
"Marni & Marno", dan "Anjing-Anjing Kota".
Hari terakhir,
21 Juni 2013, menjadi hari terberat dari seluruh proses penulisan buku
"Minus Menangis". Ide telah didapat sehari sebelumnya. Sayangnya, entah
kenapa jemari ini rasanya sulit mengolah ide itu menjadi bagian terakhir
dari atap "rumah" yang hampir selesai. Tak ayal, kepala ini pusing.
Ditambah lagi suasana depan rumah kala itu tengah ramai. Bocah-bocah
kecil asyik bermain, menimbulkan kegaduhan di pikiran saya. Berulang
kali saya ucapkan dalam hati, bagaimanapun caranya, saya harus
merampungkan cerpen terakhir sore itu juga.
Namun karena masih
juga buntu, saya coba menghitung kembali berapa judul cerpen yang sudah
saya hasilkan selama dua minggu itu. Ah, ternyata sudah 18 judul. Saya
tak percaya. Dalam euforia tekanan yang saya buat sendiri, saya bisa
mengatasinya. Belum pernah saya merasa "segila" ini dalam menulis. Itu
artinya, judul kesembilan belas harus diperjuangkan. Godaan untuk
berhenti saya buang jauh-jauh. Karena bagi saya ide terakhir dari cerpen
penutup itu amatlah unik. Dan, setelah kembali bersusah payah, seperti
halnya "Telanjang", cerpen berjudul "Lewat" pun selesai tepat pada
tanggal 21 Juni 2013, pukul 16.20 WIB. Bersamaan dengan itu, selesai
pulalah buku ini.
Tiada henti saya mengucap syukur. "Rumah"
yang tadinya sebatas ada dalam angan, kini telah selesai. Bongkahan batu
yang saya temukan dari berbagai penjuru, telah melengkapi seluruh
bagiannya. Tinggal mengecatnya saja agar terlihat lebih indah.
Selama menulis "Minus Menangis" ini sendiri, saya sempat berhenti selama
tiga hari. Bukan menyerah, tapi karena jadwal menulis yang saya
tetapkan berbenturan dengan urusan pekerjaan. Saya masih ingat,
berhentinya proses ini justru membuat saya makin "gila" dan ingin segera
menyelesaikan buku ini. Bersyukur, dalam beberapa kesempatan,
"kegilaan" itu membuat saya dapat dengan mudah menyelesaikan dua judul
cerpen dalam satu hari. Bahkan pernah pula satu cerpen hampir jadi saya
tulis, namun batal saya gunakan (saya hapus), gara-gara ada beberapa
bagian yang entah kenapa membuat saya kurang suka membacanya.
Tak lama setelah rampung, saya kirimkan naskah ini ke salah satu
penerbit konvensional. Kala itu saya beri judul "Minus Punya Cerita".
Sayangnya, hanya dalam waktu 3-4 hari, langsung ditolak. Saya pun
berpikir, "Oh, mungkin ada saatnya nasib baik menyapamu. Bukan sekarang,
tapi suatu saat nanti."
Maka, saya putuskan untuk sementara
menyimpan dulu naskah ini. Saya kembali "disibukkan" dengan jadwal
menulis "rumah" baru, sebab "sebongkah batu" yang baru telah pula datang
menghampiri. Namun karena terlalu asyik menulis naskah-naskah lain
itulah, tanpa sadar saya telah mengabaikan naskah ini terlalu lama: 6
bulan!
Akhirnya, di penghujung Desember 2013, saya menyentuh
kembali naskah ini. Saya edit setiap cerpennya, mengoreksi beberapa
kesalahan ketik. Setelah membacanya berulang kali, dengan berbagai
pertimbangan, judul buku ini pun saya ganti menjadi: "Minus Menangis".
Alhamdulillah, naskah ini kini benar-benar terbit menjadi sebuah buku,
yang mengangkat berbagai sisi kelam di Indonesia dalam bentuk fiksi
(kumpulan cerpen). Buku ini memuat delapan sisi kelam negeri ini (versi
saya), di antaranya: tentang orang-orang yang dikhianati oleh keadaan
("Telanjang", "Timbangan", "Istimewa", "Dulu, di Balik Jendela Kamar),
orang-orang yang menjadi gila tanpa mereka sadari ("Sambal Terasi",
"Rutinitas", "Marni & Marno"), orang-orang yang menyerah pada takdir
("Wujud Lainku", "Manusia Setengah Pohon", "Lelaki Berwajah Luka"),
orang-orang yang optimis meski pada akhirnya mereka kalah ("Manis",
"Abnormal", "Lewat"), orang-orang yang terjebak dalam rumitnya sistem
("Aku Manusia", "Tahi Ayam"), orang-orang yang haus mengejar dunia
("Tamu-Tamu"), para koruptor/wakil rakyat yang culas ("Cermin &
Tukang Sulap", "Anjing-Anjing Kota), juga segala kekacauan yang tiada
berujung ("Minus").
Pemilihan judul "Minus Menangis" ini
diilhami atas banyaknya persoalan bangsa yang membuat sebagian besar
rakyat Indonesia menderita. Minus adalah salah satu tokoh dalam buku
ini. Sedangkan Minus sendiri, tercipta sebagai gambaran utuh tentang
manusia Indonesia yang hidup di tengah gemerlap dunia, sementara ia
sendiri tidak berdaya oleh derita yang ibu pertiwi alami.
Saya
berharap terbitnya "Minus Menangis" ini dapat menginspirasi kita semua
untuk selalu bersikap benar. Memang, tidak ada yang sempurna. Akan
tetapi, bukankah sebuah kebenaran itu bertumbuh dari hati yang bersih?
Untuk itulah, sebuah kesadaran dalam "melihat" dan "mendengar" dengan
hati, adalah tindakan terbaik untuk mengawali sebuah kebenaran, walau
kecil sekalipun. Mari kita cintai negeri ini sepenuh hati, agar Minus
tak lagi menangis.
Salam semangat berkarya!
Ken Hanggara
Pasuruan, 1 Maret 2014
*Keterangan foto: sampul buku kumpulan cerpen “Minus Menangis” terbitan
FAM Publishing. Untuk pembelian buku, Anda bisa menghubungi nomor 0812
5982 1511 (Tim FAM Indonesia) via telepon atau SMS. Tulis jumlah
eksemplar buku yang ingin Anda beli beserta nama dan alamat lengkap
Anda. Harga per buku 42 ribu belum termasuk ongkos kirim. Tebal buku 195
halaman, dimensi 13 x 20 cm.
http://kenhanggara.blogspot.com/2014/03/agar-minus-tak-lagi-menangis-proses.html#more
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/03/05/agar-minus-tak-lagi-menangis-proses-kreatif-buku-kumpulan-cerpen-minus-menangis-639412.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar