Pagi ini masih berkabut,
mungkin karena semalam turun hujan. Fajar pun masih malu-malu menampakkan cahayanya di tengah-tengah awan kelabu.
Dengan berhiaskan remang-remang cahaya fajar, Nia berangkat sekolah untuk
mengikuti jam tambahan pagi. Dia mengendarai sepeda menelusuri tepian jalan yang
masih lengah akan kendaraan.
Sekitar seratus meter di
depannya, berdiri sebuah rumah tua yang masih kokoh tak terkikis zaman. Hanya
rumah tua itu yang menyolok mata di antara deretan rumah-rumah mewah nan megah di sisi
kiri-kanannya.
Ini dia tak enaknya,
menulusuri jalan sepi sendirian. Dari dulu Nia tidak suka melihat rumah itu. Setiap
melewatinya Nia selalu merinding dan menutup mata dengan kedua tangannya, itu pun karena dia diantar, jadi
dia hanya bisa melihat rumah itu di balik kaca hitam mobil ayahnya. Tapi sekarang.
“Arghhh…!”
Nia hanya bisa mengerang.
Dengan sekuat tenaga Nia mencoba menjaga keseimbangan sepeda karena gemetar
tubuhnya ketika berada di samping rumah tua itu.
Sekelebat bayangan seseorang
menutup gorden terlihat oleh Nia, menambah rasa kekhawatirnya.
Setibanya di sekolah,
tidak henti-hentinya Nia menceritakan tentang rumah tua di pinggir jalan.
Teman-temannya sendiri sudah kebal akan cerita rumah tua itu.
“Nia … Please,
dech! Itu
hanya sebuah rumah! Gak lebih,” jawab Eni yang mulai jengkel akan cerita Nia yang
terus ngotot.
“Tapi, Eni, kalau aku melewatinya perasaanku
jadi gak enak, seperti ada yang mengawasiku dari rumah itu. Ih, serem, deh. Tuh, 'kan, bulu kudukku jadi berdiri,” bela Nia dan menunjukkan
kepada teman-temannya kalau tubuhnya memang merinding.
“Iya. Itu, 'kan, hanya rumah! Gak
akan kenyang deh kalau seandainya rumah itu makan kamu!” Mira menimpali, yang
dijawab cekikikan anak-anak, sambil melirik tubuh Nia yang kurus itu.
“Jangan ngehina,
dech!”
“Udah-udah jangan
berkelahi! Nia, sebaiknya kamu hati-hati aja. Mungkin aja saat kamu
melewati rumah itu, ada pocong yang menghalangi jalan kamu, atau genderuwo yang
tiba-tiba megang pundak kamu atau sundelbolong yang duduk di boncengan sepedamu. Atau, tiba-tiba ...,” goda
Daniel.
“Cukup-cukup! Aku gak
mau dengar!”
“Hush! Daniel, jangan
bikin Nia takut dong!” kata Eni menengahi.
“Mending kita ke kantin aja,
yuk!
Daripada ribut ngomongin masalah hantu,” tambah Eni,
“Yuk. Kantin ... kami datang!” teriak Nia
sekonyong-konyongnya
“Siapa yang mau ke kantin?!” teriak guru kimia
yang terkenal super galak itu, tiba-tiba muncul di ambang pintu.
Mendengar teriakan guru
kimia, nyali Nia menciut, perlahan-lahan dia menyembunyikan tubuhnya dan berharap pak guru itu
tidak melihatnya.
“Oh iya! Sekarang waktunya
pelajaran kimia, istirahat masih dua setengah jam lagi,” bisik Eni kepada
teman-temannya.
Nia yang mendengar itu hanya
bisa mengumpat dalam hati. Dan, pelajaran pun dimulai.
***
Nia baru bisa pulang sekolah
sekitar pukul empat sore, karena kegiatan PMR di sekolah. Tentu saja saat
pulang Nia harus melewati jalan itu, jalan di mana rumah tua itu berada. Nia mengayunkan pedal
sepedanya sekuat tenaga, berharap bisa sampai rumah secepat mungkin. Tapi saat
di depan rumah itu.
“Kok, boncengannya berat, ya?”
Keringat
dingin bercucuran membasahi seragam sekolahnya. Teringat akan kata-kata
Daniel.
“Jangan-jangan, aku lagi mbonceng
sundel bolong? Aduh, gimana, ya? Ya Allah, semoga
yang saya bonceng bukan sundel bolong.”
Perlahan-lahan Nia
menolehkan kepalanya kebelakang untuk memastikannya, dan ….
“Ah! Aduh kirain sundel bolang. Ternyata
ini, toh! Pantesan
berat.”
Ban sepeda belakang Nia
gembos.
“Kalo di sekitar sini, sih, gak ada tambal ban.”
Nia celingukan mencari
tempat tambal ban, tapi sebuah tangan terjulur di bahunya. Sontak Nia kaget,
dan lagi-lagi tubuh Nia bergetar, teringat kembali kata-kata Daniel di
sekolahnya tadi.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” kata
sumber suara itu, membuat Nia ketakutan setengah mati. Dengan tubuh yang masih
bergetar, Nia mencoba menengok ke belakang. Dengan bibir bergetar mencoba
membaca ayat suci. Terbayang di pikirannya, sesosok bayangan hitam yang mempunyai
wajah tak berbentuk penuh darah bercucuran.
Dan saat membuka mata yang
sedari tadi ditutupnya, sosok yang diharapkannya tidak muncul dan digantikan
oleh sesosok pemuda dengan wajah yang bersinar. Dengan melihat wajah itu, hati Nia
serasa begitu damai dan menyejukkan. Tapi wajah di depannya ini seperti tak
asing di matanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
tanyanya lagi. Tapi Nia masih tidak menjawab dan hanya terpaku oleh pemilik
wajah yang putih itu. Sedangkan pemuda itu mulai salah tingkah terus dilihat
oleh Nia.
“Ada yang aneh dengan muka
saya, ya, Mbak?”
Seketika
itu Nia terbangun akan lamunannya dan kembali ke dunia nyata.
“Ah, enggak kok. Muka Mas cakep!”
Ups! Nia menutup mulutnya yang
terlalu jujur itu. Sang pemuda hanya tersenyum mendengarnya. Membuat Nia tambah
malu.
“Ban sepeda Mbak
bocor?”
“Mmm, kayaknya cuma gembos.”
“Boleh, nggak, saya bantu memompa ban Mbak ini?”
“Oh … Iya, iya, boleh. Tentu saja boleh.”
Entah dari mana pemuda itu
mendapatkan alat pompa. Dengan cekatan dia memompa sepeda Nia yang gembos.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu, Nia langsung tancap pedal,
takut kemalaman. Saat meninggalkan pemuda itu, tiba-tiba angin sepoi berhembus
di tengkuknya, membuat setiap bulu-bulu kuduk Nia berdiri.
***
Semenjak bertemu dengan
pemuda itu Nia jadi bersemangat untuk sering-sering melewati Jl. Pattimura, di mana dia bertemu dengannya
walaupun sekadar say hello atau ngobrol tanpa batas dengannya, membuat
Nia jadi semakin dekat dengan pemuda yang bernama Iskandar Kurniawan ini, yang
biasa dipanggil Awan. Nia tentu saja mulai merasakan ada benih-benih cinta yang
tumbuh sekarang ini di hatinya.
Seperti biasa, setiap
hari Jumat Nia selalu pulang pukul empat sore karena mengikuti
kegiatan PMR. Nia bersepeda dengan hati berbunga-bunga. Tidak biasanya, mungkin
karena sekarang Nia mulai kecanduan untuk selalu menemui pemuda itu, Awan!
Dan
sekarang Nia ingin sekali bertemu dengannya. Setiap detik yang terlewat,
teringat masa-masa di mana Nia menghabiskan detik-detik itu bersama Awan. Di
kejauhan tampak siluet bayangan yang sudah dikenalnya. Tubuhnya yang tinggi,
badannya yang tegap terlihat di kejauhan. Itu dia! Sekarang dia sedang
melambai-lambaikan tangannya yang panjang itu. Jantung Nia mulai berdetak
seenaknya dan wajahnya perlahan-lahan bersemu merah.
“Nia,” panggil Awan. Suaranya
yang lembut membuat tubuh Nia bergetar.
“Ih, Kak Awan
kekanak-kanakkan pake lambai-lambai tangan segala, padahal 'kan masih
jauh.”
“Emang gak boleh, ya? Ngapain
aja di sekolah? Kok lama? Gimana ulangannya?
Sukses?”
“Satu-satu dong
tanyanya! Tadi di sekolah nilaiku cukup memuaskan. Ini berkat Elsa. Aku
dicontekin sama dia. Tadi ada kegiatan PMR, jadi jelas aja lama! Sekarang
giliranku. Dari dulu aku penasaran, kenapa Kak Awan selalu ada di depan
rumah ini? 'Kan di sini angker? Kayak gak ada tempat laen
aja.”
“Siapa bilang? Buktinya aku gak
kesurupan walau lama duduk-duduk sendiri di sini. Lagian aku di sini lagi nunggu seseoarang,” katanya.
Wajah Nia kontan berubah
memerah malu.
Hah? Kak
Awan nunggu aku? batinnya.
“Jangan ge-er dulu. Buat apa aku nunggu kamu?”
Sepertinya
Awan sudah bisa membaca isi pikiran Nia. Mendengar itu Nia memonyongkan
bibirnya.
“He … bercanda! Gitu aja
diambil ati!”
Derr!
Tiba-tiba petir menyambar
hebat di tengah-tangah perbincangan mereka, disertai gerimis. Air lalu
berubah menjadi hujan lebat. Mereka berteduh di teras depan rumah tua dan
terpaksa Nia menahan ketakutan akan rumah itu. Hujan semakin lebat disertai
angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Walaupun teras rumah itu sangat
lebar, tak ayal seragam Nia mulai basah karenanya.
Derr!
Lagi-lagi petir menyambar,
kilatan cahaya terbentuk seperti gambaran akar-akar pohon menghiasi langit yang
kelam tertutup awan mendung. Melihat seragam Nia basah oleh air hujan, Awan
mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah tua itu. Anehnya pintu rumah itu tidak digerendel, seperti
yang biasa dilihat Nia. Kemudian masuklah mereka berdua.
Di dalam rumah itu amatlah
gelap dan begitu pengap. Samar-samar Nia melihat begitu banyak barang-barang
berserakan tak karuan, ditutupi kain putih. Awan mengambil kotak kayu untuk
tempat duduk Nia. Mereka saling berpandangan cukup lama. Nia merasa pandangan
Awan mempunyai suatu arti yang sangat dalam tak bisa digambarkan oleh
kata-kata. Entah ada angin apa, Awan menggenggam tangan Nia dengan lembut dan
menariknya ke dalam pelukan. Jantung Nia berdebar sangat cepat, pipinya
bersemu merah. Dia bisa merasakan wangi tubuh Awan.
“Chlara … aku sayang kamu!”
Apa?!
Chlara? Siapa Chlara?
“Sekarang aku bisa lega
telah mengatakannya padamu,” katanya lagi.
Sekejap tubuh Awan mendingin
sedingin es. Dia memandang Nia dengan penuh sayang. Nia sendiri bingung melihat
kelakuan Awan yang aneh ini. Perlahan wajah Awan memudar dari hadapan Nia,
seolah-olah Awan hanya sebuah bayangan maya yang tidak nyata. Tapi sorotan mata
itu masih terlihat jelas. Nia sangat terkejut ingin rasanya dia limbung di situ juga, mendapati
kenyataan ini.
Apa ini benar-benar terjadi? Hanya kata
itu yang dia ucapkan dalam hati. Selebihnya Nia hanya bisa mendengar samar-samar suara
Awan.
“Aku akan melihatmu dari sini dan terus menjagamu ....”
***
Biru, itulah yang pertama dilihat
Nia.
“Di mana ini?”
“Kamu ada di rumahku,” kata seseorang yang berada
di dekatnya.
Walaupun masih setengah
sadar, Nia masih bisa mengenali suara yang berat itu.
“Apa?!”
“Gak usah tegang gitu
dong. Aku tadi melihatmu tergeletak di depan rumahku.”
Ternyata
seseorang itu tidak lain adalah Daniel, teman sekelasnya. Dia kemudian
mengambilkan air minum agar Nia tenang.
“Terima kasih,” kata Nia
setelah dibawakan air minum.
Daniel Cuma tersenyum,
senyum yang mengingatkannya pada Awan. Napasnya tiba-tiba berat. Sekarang, Nia
tahu siapa Awan sebenarnya.
“Daniel?”
“Hmm?”
“Namamu bukannya Daniel
Kurniawan?”
“Emang kenapa?”
“Cuma nanya, Daniel. Kayaknya
sekarang aku gak takut lagi ama rumah itu. Itu hanya
kakakmu yang mengawasi aku dan mencoba untuk menjagaku,” kata Nia sambil tersenyum.
***
Benar, Nio adalah kakak
Daniel yang telah meninggal tiga bulan yang lalu di sekitar Jl. Pattimura
karena tabrak lari. Lalu, Chlara? Hanya Daniel yang tahu siapa itu Chlara dan
untuk apa kakaknya mengatakan itu pada Nia.
Terkadang dari balik tirai
lusuh rumah tua itu Nia bisa melihat bayangan Awan yang tersenyum, senyum
ceria. Seperti gumpalan kapas di langit biru yang cerah.
Isi cerita ada yg kurang nyambung
BalasHapus