Blogger Widgets

Minggu, 30 Maret 2014

[Cerpen]: "Dari Sebuah Kenyataan" Karya Heni Miranda




Pagi ini masih berkabut, mungkin karena semalam turun hujan. Fajar pun masih malu-malu menampakkan cahayanya di tengah-tengah awan kelabu. Dengan berhiaskan remang-remang cahaya fajar, Nia berangkat sekolah untuk mengikuti jam tambahan pagi. Dia mengendarai sepeda menelusuri tepian jalan yang masih lengah akan kendaraan.

Sekitar seratus meter di depannya, berdiri sebuah rumah tua yang masih kokoh tak terkikis zaman. Hanya rumah tua itu yang menyolok mata di antara deretan rumah-rumah mewah nan megah di sisi kiri-kanannya.
Ini dia tak enaknya, menulusuri jalan sepi sendirian. Dari dulu Nia tidak suka melihat rumah itu. Setiap melewatinya Nia selalu merinding dan menutup mata dengan kedua tangannya, itu pun karena dia diantar, jadi dia hanya bisa melihat rumah itu di balik kaca hitam mobil ayahnya. Tapi sekarang.
“Arghhh…!”
Nia hanya bisa mengerang. Dengan sekuat tenaga Nia mencoba menjaga keseimbangan sepeda karena gemetar tubuhnya ketika berada di samping rumah tua itu.
Sekelebat bayangan seseorang menutup gorden terlihat oleh Nia, menambah rasa kekhawatirnya.
Setibanya di sekolah, tidak henti-hentinya Nia menceritakan tentang rumah tua di pinggir jalan. Teman-temannya sendiri sudah kebal akan cerita rumah tua itu.
“Nia Please, dech! Itu hanya sebuah rumah! Gak lebih,” jawab Eni yang mulai jengkel akan cerita Nia yang terus ngotot.
“Tapi, Eni, kalau aku melewatinya perasaanku jadi gak enak, seperti ada yang mengawasiku dari rumah itu. Ih, serem, deh. Tuh, 'kan, bulu kudukku jadi berdiri,” bela Nia dan menunjukkan kepada teman-temannya kalau tubuhnya memang merinding.
“Iya. Itu, 'kan, hanya rumah! Gak akan kenyang deh kalau seandainya rumah itu makan kamu!” Mira menimpali, yang dijawab cekikikan anak-anak, sambil melirik tubuh Nia yang kurus itu.
“Jangan ngehina, dech!”
Udah-udah jangan berkelahi! Nia, sebaiknya kamu hati-hati aja. Mungkin aja saat kamu melewati rumah itu, ada pocong yang menghalangi jalan kamu, atau genderuwo yang tiba-tiba megang pundak kamu atau sundelbolong yang duduk di boncengan sepedamu. Atau, tiba-tiba ...,” goda Daniel.
“Cukup-cukup! Aku gak mau dengar!”
Hush! Daniel, jangan bikin Nia takut dong!” kata Eni menengahi.
“Mending kita ke kantin aja, yuk! Daripada ribut ngomongin masalah hantu,” tambah Eni,
“Yuk. Kantin ... kami datang!” teriak Nia sekonyong-konyongnya
“Siapa yang mau ke kantin?!” teriak guru kimia yang terkenal super galak itu, tiba-tiba muncul di ambang pintu.
Mendengar teriakan guru kimia, nyali Nia menciut, perlahan-lahan dia menyembunyikan tubuhnya dan berharap pak guru itu tidak melihatnya.
“Oh iya! Sekarang waktunya pelajaran kimia, istirahat masih dua setengah jam lagi,bisik Eni kepada teman-temannya.
Nia yang mendengar itu hanya bisa mengumpat dalam hati. Dan, pelajaran pun dimulai.
***
Nia baru bisa pulang sekolah sekitar pukul empat sore, karena kegiatan PMR di sekolah. Tentu saja saat pulang Nia harus melewati jalan itu, jalan di mana rumah tua itu berada. Nia mengayunkan pedal sepedanya sekuat tenaga, berharap bisa sampai rumah secepat mungkin. Tapi saat di depan rumah itu.
Kok, boncengannya berat, ya?”
Keringat dingin bercucuran membasahi seragam sekolahnya. Teringat akan kata-kata Daniel.
“Jangan-jangan, aku lagi mbonceng sundel bolong? Aduh, gimana, ya? Ya Allah, semoga yang saya bonceng bukan sundel bolong.
Perlahan-lahan Nia menolehkan kepalanya kebelakang untuk memastikannya, dan ….
“Ah! Aduh kirain sundel bolang. Ternyata ini, toh! Pantesan berat.
Ban sepeda belakang Nia gembos.
Kalo di sekitar sini, sih, gak ada tambal ban.
Nia celingukan mencari tempat tambal ban, tapi sebuah tangan terjulur di bahunya. Sontak Nia kaget, dan lagi-lagi tubuh Nia bergetar, teringat kembali kata-kata Daniel di sekolahnya tadi.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” kata sumber suara itu, membuat Nia ketakutan setengah mati. Dengan tubuh yang masih bergetar, Nia mencoba menengok ke belakang. Dengan bibir bergetar mencoba membaca ayat suci. Terbayang di pikirannya, sesosok bayangan hitam yang mempunyai wajah tak berbentuk penuh darah bercucuran.
Dan saat membuka mata yang sedari tadi ditutupnya, sosok yang diharapkannya tidak muncul dan digantikan oleh sesosok pemuda dengan wajah yang bersinar. Dengan melihat wajah itu, hati Nia serasa begitu damai dan menyejukkan. Tapi wajah di depannya ini seperti tak asing di matanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya lagi. Tapi Nia masih tidak menjawab dan hanya terpaku oleh pemilik wajah yang putih itu. Sedangkan pemuda itu mulai salah tingkah terus dilihat oleh Nia.
“Ada yang aneh dengan muka saya, ya, Mbak?”
Seketika itu Nia terbangun akan lamunannya dan kembali ke dunia nyata.
“Ah, enggak kok. Muka Mas cakep!”
Ups! Nia menutup mulutnya yang terlalu jujur itu. Sang pemuda hanya tersenyum mendengarnya. Membuat Nia tambah malu.
“Ban sepeda Mbak bocor?”
Mmm, kayaknya cuma gembos.
“Boleh, nggak, saya bantu memompa ban Mbak ini?
“Oh … Iya, iya, boleh. Tentu saja boleh.
Entah dari mana pemuda itu mendapatkan alat pompa. Dengan cekatan dia memompa sepeda Nia yang gembos. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu, Nia langsung tancap pedal, takut kemalaman. Saat meninggalkan pemuda itu, tiba-tiba angin sepoi berhembus di tengkuknya, membuat setiap bulu-bulu kuduk Nia berdiri.
***
Semenjak bertemu dengan pemuda itu Nia jadi bersemangat untuk sering-sering melewati Jl. Pattimura, di mana dia bertemu dengannya walaupun sekadar say hello atau ngobrol tanpa batas dengannya, membuat Nia jadi semakin dekat dengan pemuda yang bernama Iskandar Kurniawan ini, yang biasa dipanggil Awan. Nia tentu saja mulai merasakan ada benih-benih cinta yang tumbuh sekarang ini di hatinya.
Seperti biasa, setiap hari Jumat Nia selalu pulang pukul empat sore karena mengikuti kegiatan PMR. Nia bersepeda dengan hati berbunga-bunga. Tidak biasanya, mungkin karena sekarang Nia mulai kecanduan untuk selalu menemui pemuda itu, Awan!
Dan sekarang Nia ingin sekali bertemu dengannya. Setiap detik yang terlewat, teringat masa-masa di mana Nia menghabiskan detik-detik itu bersama Awan. Di kejauhan tampak siluet bayangan yang sudah dikenalnya. Tubuhnya yang tinggi, badannya yang tegap terlihat di kejauhan. Itu dia! Sekarang dia sedang melambai-lambaikan tangannya yang panjang itu. Jantung Nia mulai berdetak seenaknya dan wajahnya perlahan-lahan bersemu merah.
“Nia,panggil Awan. Suaranya yang lembut membuat tubuh Nia bergetar.
“Ih, Kak Awan kekanak-kanakkan pake lambai-lambai tangan segala, padahal 'kan masih jauh.
Emang gak boleh, ya? Ngapain aja di sekolah? Kok lama? Gimana ulangannya? Sukses?”
“Satu-satu dong tanyanya! Tadi di sekolah nilaiku cukup memuaskan. Ini berkat Elsa. Aku dicontekin sama dia. Tadi ada kegiatan PMR, jadi jelas aja lama! Sekarang giliranku. Dari dulu aku penasaran, kenapa Kak Awan selalu ada di depan rumah ini? 'Kan di sini angker? Kayak gak ada tempat laen aja.
“Siapa bilang? Buktinya aku gak kesurupan walau lama duduk-duduk sendiri di sini. Lagian aku di sini lagi nunggu seseoarang,” katanya.
Wajah Nia kontan berubah memerah malu.
Hah? Kak Awan nunggu aku? batinnya.
Jangan ge-er dulu. Buat apa aku nunggu kamu?
Sepertinya Awan sudah bisa membaca isi pikiran Nia. Mendengar itu Nia memonyongkan bibirnya.
“He … bercanda! Gitu aja diambil ati!”
Derr!
Tiba-tiba petir menyambar hebat di tengah-tangah perbincangan mereka, disertai gerimis. Air lalu berubah menjadi hujan lebat. Mereka berteduh di teras depan rumah tua dan terpaksa Nia menahan ketakutan akan rumah itu. Hujan semakin lebat disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Walaupun teras rumah itu sangat lebar, tak ayal seragam Nia mulai basah karenanya.
Derr!
Lagi-lagi petir menyambar, kilatan cahaya terbentuk seperti gambaran akar-akar pohon menghiasi langit yang kelam tertutup awan mendung. Melihat seragam Nia basah oleh air hujan, Awan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah tua itu. Anehnya pintu rumah itu tidak digerendel, seperti yang biasa dilihat Nia. Kemudian masuklah mereka berdua.
Di dalam rumah itu amatlah gelap dan begitu pengap. Samar-samar Nia melihat begitu banyak barang-barang berserakan tak karuan, ditutupi kain putih. Awan mengambil kotak kayu untuk tempat duduk Nia. Mereka saling berpandangan cukup lama. Nia merasa pandangan Awan mempunyai suatu arti yang sangat dalam tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Entah ada angin apa, Awan menggenggam tangan Nia dengan lembut dan menariknya ke dalam pelukan. Jantung Nia berdebar sangat cepat, pipinya bersemu merah. Dia bisa merasakan wangi tubuh Awan.
“Chlara aku sayang kamu!”
Apa?! Chlara? Siapa Chlara?
“Sekarang aku bisa lega telah mengatakannya padamu,” katanya lagi.
Sekejap tubuh Awan mendingin sedingin es. Dia memandang Nia dengan penuh sayang. Nia sendiri bingung melihat kelakuan Awan yang aneh ini. Perlahan wajah Awan memudar dari hadapan Nia, seolah-olah Awan hanya sebuah bayangan maya yang tidak nyata. Tapi sorotan mata itu masih terlihat jelas. Nia sangat terkejut ingin rasanya dia limbung di situ juga, mendapati kenyataan ini.
Apa ini benar-benar terjadi? Hanya kata itu yang dia ucapkan dalam hati. Selebihnya Nia hanya bisa mendengar samar-samar suara Awan.
“Aku akan melihatmu dari sini dan terus menjagamu ....
***
Biru, itulah yang pertama dilihat Nia.
“Di mana ini?”
“Kamu ada di rumahku, kata seseorang yang berada di dekatnya.
Walaupun masih setengah sadar, Nia masih bisa mengenali suara yang berat itu.
“Apa?!”
Gak usah tegang gitu dong. Aku tadi melihatmu tergeletak di depan rumahku.
Ternyata seseorang itu tidak lain adalah Daniel, teman sekelasnya. Dia kemudian mengambilkan air minum agar Nia tenang.
“Terima kasih,” kata Nia setelah dibawakan air minum.
Daniel Cuma tersenyum, senyum yang mengingatkannya pada Awan. Napasnya tiba-tiba berat. Sekarang, Nia tahu siapa Awan sebenarnya.
“Daniel?
Hmm?
“Namamu bukannya Daniel Kurniawan?”
Emang kenapa?”
“Cuma nanya, Daniel. Kayaknya sekarang aku gak takut lagi ama rumah itu. Itu hanya kakakmu yang mengawasi aku dan mencoba untuk menjagaku, kata Nia sambil tersenyum.
***
Benar, Nio adalah kakak Daniel yang telah meninggal tiga bulan yang lalu di sekitar Jl. Pattimura karena tabrak lari. Lalu, Chlara? Hanya Daniel yang tahu siapa itu Chlara dan untuk apa kakaknya mengatakan itu pada Nia.
Terkadang dari balik tirai lusuh rumah tua itu Nia bisa melihat bayangan Awan yang tersenyum, senyum ceria. Seperti gumpalan kapas di langit biru yang cerah.

1 komentar: