Blogger Widgets

Jumat, 21 Maret 2014

[Cerpen]: "Di Pinggir Danau Ketika Itu" karya Fidyah Desy Ardilah



Kunang-kunang itu ...
Aku tak pernah bisa sekuat dia, yang rela menyalakan tubuhnya di kala malam menerobos waktunya. Aku tak pernah bisa setegar dia, yang tak pernah berhenti menerangi danau ini, ketika kegelapan membelenggunya. Yah. Danau ini kini menjadi tempat favoritku, sejak aku tahu mereka ada di sana. Entah sudah berapa lama aku selalu datang ke danau ini. Ketika senja terakhir mulai menyapa sang bintang, ketika itu pula aku berlari menuju kawasan ini, dan mulai menikmati keindahan warna mereka. Kunang-kunang yang selalu membuat hatiku sedamai di rumah.
            Aku ingin kembali ke rumah, kembali merasakan hangatnya pelukan Ibu dan mendengarkan segala ungkapan kata bijak dari Ayah. Aku merindukannya. Aku tahu ini semua memang salahku. Jika dulu aku tak pernah memaksa Ayah untuk membelikannu sebuah mobil mewah, mungkin Ayah tidak akan pernah terperosok ke dalam lubang tikus yang menghantarkannya untuk mengambil jalan pintas agar aku bahagia. Ayahku korupsi, beliau mengambil beberapa jatah gaji bawahannya. Dulu ayahku bekerja sebagai kepala staf HRD di sebuah perusahaan besar di kota Surabaya. Tapi setelah kejadian itu Ayah dipecat dan dijebloskan ke dalam penjara. Aku tak pernah tahu pasti berapa tahun hukumannya, mungkin sekitar lima tahun penjara. Sedangkan Ibu, meninggal akibat serangan jantung mendadak ketika ketok palu dari sang hakim berbicara.
            Ini adalah tahun ke-4 setelah masa itu berlalu. Dan masa ini adalah masa di mana aku harus bertahan hidup sejak semua kesalahan itu terjadi. Masa yang mengharuskan aku pindah keluar kota dan mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku sendiri, dan tinggal di kontrakan rumah susun kumuh, yang dulu aku sendiri tak pernah menyukai tempat-tempat seperti ini. Bekerja sebagai buruh cuci piring di salah satu restoran mahal di kota ini, Bandung. Yah, karena hanya pekerjaan itulah yang bisa aku kerjakan. Tapi mungkinkah aku harus melalui semua ini sampai mati? Sungguh aku ingin pulang, dan memperbaiki kesalahan yang dulu pernah aku lakukan.
            Kini yang ada di pikiranku hanyalah tentang rumah, tentang Ayah, dan tentang almarhumah ibuku yang sedang melihatku dari surga.
            “Maafkan aku, Ayah, Ibu maafkan anakmu yang bodoh ini ....”
Mataku mulai nanar. Pandanganku mulai kabur karena timbunan air mata yang hampir tak mau menetes lagi di pipi. Mungkin sudah terlalu banyak air mata penyesalan yang sudah aku teteskan karena ini semua, hingga air mataku enggan meneteskannya lagi untukku.
Kuambil handphone dari tas kecil yang ada sebelahku dan mulai memandangi foto-foto kenangan paling manis yang pernah aku alami dalam hidupku. Kenangan apa lagi kalau bukan kenangan ketika masa Ayah dan Ibu masih memeluk hangat tubuhku? Kenangan ketika kami bertiga meninggalkan segala aktivitas kesibukan dan meluangkannya hanya untuk berkemah di tepi waduk di daerah Malang. Sederhana, namun berhasil membuat aku ingin kembali ke masa itu lagi.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Terdengar suara lelaki dari arah belakangku.
Perlahan lelaki itu mendekat ke arahku, mengusik kesepian yang sedang aku buat sendiri. Dari kegelapan aku menerka-nerka siapakah lelaki yang sudah lancang mengganggu kesendirianku ini? Beraninya mencuri perhatianku, ketika segala pusat perhatianku telah kuberikan untuk kenangan-kenangan indah masa laluku.
“Ini saya, Deris,ucapnya sambil menyentrong wajahnya dengan lampu senter yang terdapat dari handphone-nya.
Aku langsung kaget dan segera berdiri memberi salam penghormatanku kepadanya. Dia adalah kepala bagian dapur di restoran tempat aku bekerja. Umurnya baru 25 tahun, setahun lebih tua dariku. Namun di umur yang masih muda itu Pak Deris sudah dipercaya oleh pemilik restoran untuk menjabat sebagai kepala bagian dapur di sana.
“Maaf kalau saya lancang mengikuti kamu dari belakang, Riana. Saya hanya penasaran dengan apa yang selalu kamu lakukan di danau yang sepi ini.”
“Apa yang bapak ingin tahu dari saya? Toh saya hanyalah buruh tukang cuci di restoran itu,balas ucapanku yang selalu dingin terhadap orang lain yang tidak begitu aku kenal.
“Oh, ternyata kunang-kunang ini yang menarikmu ke sini. Ternyata indah juga, yah, ketika kunang-kunang rela menerangi gelapnya danau dengan sinar yang ada di dalam tubuhnya. Apa kedamaian seperti ini yang kamu cari?”
Aku melirik sesekali ke arah Pak Deris, dan sepertinya Pak Deris juga melakukan hal yang sama denganku ketika dia mulai memalingkan pembicaraannya.
“Apa yang sedang bapak lakukan?” sambil menoleh ke arah Pak Deris
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” langsung duduk di pinggir danau tanpa menoleh pun kearahku.
“Saya hanya ingin sendiri, Pak,membuntuti Pak Deris untuk duduk di sebelahnya.
“Dan saya hanya ingin menemani kamu yang lagi sendirian.”
Kali ini dia yang menoleh ke arahku.
Bahkan ketika kami berdua duduk berdampingan, kesepian masih saja berhasil menguasai batinku. Aku membiarkan Pak Deris menemaniku, namun tetap saja kekosongan itu masih terasa membelengguku.
“Jadi apa yang kamu lakukan di sini?”
Pak Deris mulai membuka percakapan itu lagi.
“Hanya mengingat rumah.”
Padanganku masih lurus ke arah danau di depanku.
“Rumah?”
Entah karena sebab apa aku mulai menceritakan semua kehidupanku kepadanya, tentang indahnya kebersamaan keluarga yang dulu pernah aku sia-siakan. Tentang cinta kedua orangtuaku dan tentang keegoisanku yang selalu meminta kesempurnaan. Dan tanpa pernah aku sadar, bahwa merekalah kesempurnaan kehidupanku waktu itu. Hingga sebuah kehancuran yang menjadi balasan atas apa yang pernah aku paksakan kepada kedua orangtuaku. Hanya penyesalan yang kini datang dan merajai di setiap hari pada hatiku.
Lalu hanya embusan napas besar yang aku dengar dari arah sebelah kananku.
“Tidak ada yang perlu kamu sesalkan atas apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Semua orang pernah melakukan kesalahan, semua orang pernah merasakan kehancuran atas apa yang dulu pernah ia lakukan. Tapi penyesalan hanya akan membuatmu semakin hancur,ucap Pak Deris mengagetkanku.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Memperbaiki apa yang kamu pikir harus kamu perbaiki.  Dan melanjutkan apa yang kamu pikir harus kamu lanjutkan, Riana,lanjutnya.
“Bagaimana bisa?”
“Tentang ibumu, doakan saja dia agar beliau bisa tenang di sana. Tentang ayahmu, tunggu saja beliau sampai keluar dari penjara. Kamu harus kembali dan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanmu dulu. Lalu jadilah seperti kunang-kunang itu.”
Pak Deris menunjuk satu kunang-kunang yang terlihat paling terang di antara kunang-kunang yang lainnya.
Yah, tepat sekali. Kunang-kunang itu memang terlihat paling terang karena dia tidak berkumpul bersama kunang-kunang yang lainnya. Dia menyendiri, dan mencoba menyinari satu titik tergelap di danau ini. Mungkin seperti aku, yang sedang mencoba bangkit atas keterpurukan yang pernah aku buat sendiri. Kunang-kunang itu memang paling bersinar, tapi aku harus lebih bersinar untuk Ayah yang sedang menunggu kebebasan, dan untuk Ibu yang sudah terlanjur bahagia di surga Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar