“Hei Rin,” suara Vanessa
mengagetkan Ririn yang tengah sibuk menekuni laptopnya.
“Ono
opo toh? Kowe iku ngaget-ngageti wae!”
Ririn membelalakan mata
sambil mengelus-elus dadanya, kaget.
“Aduh, please deh. Aku ‘kan sudah bilang sama
kamu, jangan pakai bahasa Jawa kalau ngomong
sama aku. Aku nggak ngerti, beneran deh!”
Vanessa menggeleng-gelengkan
kepalanya. Gadis tomboy berkulit
putih itu adalah saudara sepupu Ririn dari Jakarta.
“Hehe, iya deh, sepurane.. eh, maaf ya, kebiasaan sih,” ujar
Ririn menahan tawa melihat ekspresi Vanessa yang sedang menggaruk-garuk kepala.
“Eh, ngomong-ngomong
kamu lagi apa sih? Kok kayaknya serius
banget?”
Vanessa ikut duduk di
sebelah Ririn, sekarang mereka sama-sama memandangi laptop dengan 2 kebingungan
yang berbeda, Ririn bingung harus menulis apa, sementara Vanessa bingung karena
layar yang selama setengah jam di ‘pelototi’ Ririn ternyata masih putih bersih.
“Sebenarnya kamu mau
nulis apa sih beb?” tanya Vanessa.
“Ini nih, aku kan dapet
tuga nulis artikel di FAM,” jawab Ririn singkat.
“FAM? Apa’an tuh?”
Vanessa mengernyitkan dahi.
“Itu lho, Forum Aktif
Menulis, semacam perkumpulan para penulis-penulis gitu, baik yang pemula maupu
n yang udah mahir,” jelas Ririn.
“Ooh, jadi dibimbing
menulis gitu?” tanya Vanessa lagi.
“Ya gitu dhe,” Ririn
menjawab singkat lagi, saudaranya memang keppo.
“Terus, apanya yang
sulit? Bukannya kamu dulu ketua mading ya waktu SMA? Seharusnya kan soal tulis
menulis bukan hal sulit,” sahut Vanessa polos.
“Waduh, memangnya penulis nggak butuh mikir apa buat cari inspirasi? Dan sekarang pikiranku
tambah buntu kalau kamu nanya melulu!” Ririn berkata sewot.
“Idiih, jangan marah gitu donk, aku kan cuma berusaha bantu. Oh iya,
meskipun aku bukan penulis, aku seorang desain grafis, tapi kan sama-sama butuh
inspirasi, dan menurut aku, inspirasi itu seperti buang air besar, nggak bisa di paksa-paksa keluar cepet-cepet, harus pelan-pelan dan
sabar.. Hehehe,” Vanessa terbahak.
“Idih, sumpah, nggak
sopan!” Ririn sewot.
“Aduh, maaf deh.
Yasudah, makanya kamu sekarang tutup laptopnya, ngobrol-ngobrol sambil nyamil
chiki sama aku, biar nggak tambah
pusing. Masak ada saudara jauh datang
kamu malah asyik sendiri,” Vanessa berkata sambil mengeluarkan banyak snack dari tasnya. Ririn menelan ludah,
langsung menutup laptopnya dan mengambil salah satu bungkus snack di dekat
Vanessa. Mereka pun memakan snack-snack itu bersama-sama.
“Eh, Rin, boleh tanya nggak, tugas dari FAM itu tentang
apa?”Vanessa berkata hati-hati, takut Ririn terganggu dengan sikap banyak ingin
tahunya.
“Ehm, tentang Kebun
Binatang Surabaya,”jawab Ririn sambil menuangkan air sirup ke dalam gelasnya.
“Oh, yang lagi marak
diberitakan itu?”
“Iya Ness, tapi aku
bingung mau nulis apa. Aku sendiri juga nggak
seberapa suka dengan kebun binatang. Terakhir aku ke sana itu sekitar berapa
tahun yang lalu gitu, waktu aku masih SD.”
“Terus?”
“Ya, maka dari itu aku
bingung, apa yang penting juga dengan Kebun Binatang Surabaya? Hanya
hewan-hewan yang dikandangin. Terus,
kalaupun banyak yang mati, tinggal cari aja
lagi di hutan, mungkin hewan-hewannya sudah pada tua kali, jadi pada mati.”
“Eh, kamu nggak boleh gitu Rin, biar bagaimanapun juga, KBS itu kan icon kota Surabaya. Seperti Monas, icon kota Jakarta. Kamu nggak
lihat berita ya? Ada singa yang namanya Michael gantung diri di KBS? Itu sudah jadi
berita internasional lho!”
“Masak sih? Nggak mungkin Singa bisa bunuh diri,
anak kecil juga tahu kalo hewan nggak
mungkin melakukan itu!”
“Nah, itu dia.
Diperkirakan itu ada unsur kesengajaan. Belum lagi, dalam 3 bulan, ada sekitar
30 hewan mati di KBS. Ada yang karena kelaparan, ada yang karena kebanyakan
makan yang mengandung formalin, dan, pokoknya banyak deh. Dan parahnya, ada
jarum suntik tiba-tiba ditemukan di dekat kandang hewan. Benar-benar
memprihatinkan.”
“Wah, parah ya.
Aku orang Surabaya sendiri kok nggak tahu ya?”
“Wah, wah, parah loe!
Makanya jangan kebanyakan nonton FTV melulu, sering-sering nonton tontonan yang
bergizi donk, berita kek, pengetahuan kek.”
“Iya deh, princes keppooooo…. Trus, berita
apa lagi tentang KBS?”
“Nah, itu dia,katanya
sih, KBS mau dialihfungsikan. Lokasinya mau dijadikan hotel atau mall, atau apa
kek gitu, pokoknya KBSnya mau ditiadakan. Emang
kamu mau nggak punya icon kebanggaan di kotamu?”
“Waduh, jangan donk!
Trus, salah siapa itu? Trus, kita sebagai masyarakat biasa, bisa apa?”
“Hem, kalau mau
salah-salahan, aku sendiri juga nggak
tahu ya salah siapa. Hanya Tuhan yang tahu, Rin. Yang jelas, petugas di KBS
seharusnya lebih intens lagi merawat hewan-hewan dengan penuh dedikasi. Jangan
sampai hewan-hewan punah, karena hewan selain asset manusia, juga merupakan
amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi. Kalau kita sebagai masyarakat biasa, yang bisa
kita lakukan adalah peduli, Rin. Peduli bisa diwujudkan dengan berbagai macam
yang kita bisa. Seperti mengunjungi KBS, menyuarakan kepedulian kita lewat
tulisan yang dipublikasikan, atau banyak lagi deh. Kita jadi rakyat harus
kritis, jangan apatis.”
“Hem, ya, betul betul
betul.”
“Sekarang KBS sedang di
sorot oleh dunia internasional. Mendapat julukan sebagai Zoo of Death.”
“Kebun binatang
kematian? Wah parah. Ini nggak bisa
dibiarkan, mencoreng muka bangsa kita. Disangkanya Surabaya nggak becus merawat hewan.”
“Sudahlah, makanya,
dimulai dari diri kita sendiri, mulai berusaha belajar kritis dan peduli dengan
lingkungan.”
“Betul Ness! Aha!
Sekarang aku ad aide buat tulisanku untuk tugas FAM tentang Save Our KBS!”
Ririn menghampiri laptopnya, dinyalakan laptop
kesayangannya itu. Lalu mulai mengetik dengan ide yang baru saja didapatnya
itu. Sementara Vanessa tersenyum geli melihat mimik muka serius saudara
sepupunya yang bertubuh gemuk bulat itu, pipinya semakin tembem ketika sedang
serius.
“Ririn.. Ririn..”
Vanessa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tulisan Ririn :
Puisi
Jerit Hati
Karya
Ririn Indah Sheilamanya
Dunia
kami, itu juga duniamu
Duniamu,
mungkin juga dunia kami
Kita
hidup dalam satu rotasi yang sama
Kita
hidup dalam satu pijakan yang sama..
Lalu
mengapa kau tega menjadikan kami korban?
Satu
per satu dari kami tumbang oleh tangan yang penuh nafsu keserakahan
Satu
per satu dari kami tumbang karena keapatisan
Kami
juga ingin hidup,
Kami
juga ingin cinta
Sudah
cukup kami rela berpisah dengan habitat kami
Terkurung
dalam jeruji besi demi menebar kebahagiaan
Namun
rupanya itu belum cukup
Kami
juga punya perasaan,
Namun
kami tak tahu caranya menangis,
Kami
hanya hewan yang tak dapat dipahami
ucapannya
Mari
sejenak kita saling bicara dengan bahasa kalbu
Dengarkan
jerit pilu kami,
Atau
maukah kau dengarkan jerit kami nanti di alam sana?
Setelah
kau menyusul teman-teman kami yang sudah terbang ke surga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar