Ambrulnya Ciputan
Karya: Akhmad Mukhlason (mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga)
Sejak pagi kami telah berdendang, kini waktu telah larut malam. Aku membawa grupku untuk mundur. Tapi sebelumnya, rekanku menyempatkan untuk menarik uang seadanya dengan topi hitamnya. Nampak hanya segelintir orang yang memberi, sisanya cuma bertepuk tangan. Hati tak harus dicampur dengan amarah, kini kami benar-benar bubar. Berkumpul di pojok warung, dengan lampu yang seolah tak menerangi. Kami memesan kopi, dan menghitung imbalan setelah seharian keliling di kota Bambu. Dua ratus kurang tiga puluh lima ribu rupiah. Kami bagi hasil sama rata. Sisanya buat beli sisa gorengan yang ada di sana. Larut tak menjadi penghalang bagi kami.
Ciputan,
sebuah grup pengamen jalanan yang tak ada tujuan hidup. Mereka lepas dari orang
tua, sekolah dan jauh dari hiruk pikuk tetangga. Mereka tidak punya rumah, dan
memulai dari nol. Sebuah angka yang sebenarnya tidak ada, namun menjadi
kekuatan hidup bagi mereka. Siang malam, terus rolling, saling jaga dan
mempertahankan sebuah janji. Lima lelaki dengan beragam karakter bercumbu di sana.
Si Bolang, seorang yang baru ditinggal oleh istrinya karena ia sama sekali
tidak berguna. Si Itong, lelaki paruh baya dengan tubuh jemblongnya, membawa
dua sarung untuk segala kegiatannya. Si Kotpa, lelaki yang baru lulus dari SMU
namun ia ingin dunia yang sebebas-bebasnya, dan terakhir, si Yundre, seorang
turunan Korea yang sangat polos, hingga mudah dibodohi. Dan aku, Si Rusli,
mantan kurir yang dipecat gara-gara salah kirim pesanan.
Sang
mentari merambah di ufuk timur, memekarkan harapan baru bagi ciputan. Kali ini
ia memulai akitivitasnya dengan masuk terminal. Ah, bodoh amat. Tanpa mandi
sekalipun mereka terus jalan. Hanya dapat separuh, si Yundre gatal-gatal karena
memang tubuhnya yang lemah dengan kuman.
“Bakteri
saja bisa buat kau kayak gini, apalagi gadis?” ujar si Itong. Semuanya terbahak
gurih. Walau mereka belum sarapan, namun setidaknya gorengan yang mereka santap
tadi malam masih berada di perut mereka. Mereka berhenti sejenak, melihat
keadaan si Yundre yang semakin tidak karuan. Bengkak, merah nan lengket.
“Sudahlah,
pergi mandi gih, kami tunggu di sini” gumanku.
Sepintas,
memang ini semua tidak adil. Namun, mereka percaya bahwasanya mereka
dipertemukan untuk mengguncangkan dunia. Sejarah yang mengkin terucap oleh
Kotpa. Mereka mempunyai impian yang besar, namun bertitik dari nama ketiadaan.
Mungkin iya, kita tidak punya apa-apa, namun yang terpenting aktualisasinya. Hati
selalu bahagia. Ujar mereka bila disinggung tentang ketiadaannya. Percuma juga
kaya, namun sombong, kaya namun sakit, kaya namun tersiksa, kaya namun derita
dan kaya namun tak indah. Ada saja alasan bagi kami bila terus ditusuk dengan
pertanyaan seperti itu.
Terpancing
dari itu semua, kita tidak mau berbuat apa-apa. Hanya saja butuh keadilan dari
yang maha kuasa. Entah itu nyata, maupun keyakinan kita. Gambaran nyatanya,
mungkin bila kami sedang mengamen, banyak anak kecil yang menari mengelilingi
kami berlima. Iya, memang kebanyakkan lagu yang kami bawakan kami unduh dari
lagu anak-anak yang kami arasemen dengan alat seadanya, kadang jadi jazz, rock,
pop, dan juga dangdut mampu menggoyangkan anak-anak kecil. Namun bila kita
berada di jalan raya, maka kita akan menyanyi lagu sekenanya. Ditambah sikap
Yundre yang aneh. Terkadang bilamana gatalnya tidak begitu parah, maka ialah
yang menambah lucunya kelompok kami. Kami seringkali memangsakan dia bak topeng
monyet, karena setiap ia gatal lincahnya bukan main. Sakitnya terkadang membawa
berkah. Namun, hati kecil terkadang juga berontak, kok jadi begini, itu kan
teman kita sendiri. Sedih pasti, namun apalah boleh buat? Inilah keadaan yang
menuntut kami.
Hanya
selang beberapa menit, dan barulah si Yundre keluar dari ponten umum, cukup
membayar dua ratus rupiah saja, itu pun kalau ada. Namun bila tak ada, terpaksa
kita pakai jurus ampuh kita, yaitu memelonco petugas yang ada. Bagaimanapun
caranya, namun justru dari ini kami hidup, dari ini kami bahagia, dari ini juga
kami menemukan arti kehidupan. Belum pernah sebelumnya kami tahu bagaimana ini
semua dilakukan, ajaran emak di desa juga tak ada dalam masa kecil kami. Yang
ada kini. Kinilah yang menuntun kami membawa hidup untuk bersama. Bagaimanapun
caranya. Sadar ataupun tidak, kita juga yakin bahwa hukum alam pasti ada.
Mungkin
sedikit cerita juga, bahwa kita juga seringkali tertangkap oleh satpol PP
ketika kami sedang beraksi di Taman kota. Tempat anti pengamen yang justru di sana
kami mendapat uang paling banyak.
“Segar,
bro!” kata Yundre.
Nah,
kita lanjutkan perjalann kita. Kita meluncurkan kaki di tengah lampu merah.
Jadi, banyak yang terheran juga dengan kami. Bagaimana tidak, kita berlima
berjoget di atas zebra cross. Itu pun yang melihat cuma mobil dan motor yang
berada di gelandang depan, yang lain cuma tertarik dengan jualan minuman atau
koran dari orang lain.
“Wow’oo…wow…”
Sedikit
lantunan yang kami dendangkan dengan lagu yang populer dan banyak kotroversi: Iwak Peyek. Lagu faforitnya si Bolang. Jadi
ketika dinyanyikan, maka suara dialah yang paling ngejos dibandingkan dengan
yang lainnya. Walaupun suaranya terdengar sengak dan supek ditelinga, namun
inilah kawan kita, yang semangat juangnya tinggi. Bukan apa-apa, namun waktu
lampu merah juga sudah mepet, jadi kami berempat minggir, biar si Kotpa yang
menarik. Karena ia suka bagian ini.
Tet,,,teteeet…
si Kotpa pun hanya mendapat empat mobil, yang lain langsung amblas. Sungguh
malang hari ini. Panas sang surya lagi teriknya ini. Karena musim penghujan
sudah lama tidak mampir. Debu, hingga kami belepotan dengan tebalnya. Item
sudah biasa, namun hati harus tetap bersih.
Kami
berlanjut ke tepi dan menelusuri trotoar yang ada, tak tahu harus tinggal di mana
nantinya, yang penting terus jalan. Bahkan kami juga punya cita-cita untuk
keliling dunia.
“Bagaimanapun
cara kita,” begitulah pasword kita. Kalau kata orang, kita teh bonek alias
bondo nekat. Si Itong, siang itu juga tumben-tumbenya sakit perut. Mungkin
penyakit maghnya kambuh. Padahal, kita cuma makan sehari sekali saja. Tapi,
berhubung dengan ini, kami pun tak tega dengannya, maka lagi-lagi kami mampir
ke warung kopi. Nelen ludah? Tidak ah. Kami juga sepakat sepaham, bilamana ada
teman kita makan, kita hanya ambil es eceran dan juga krupuk. Buat mengganjal perut. Itong makan
dengan lahapnya, dan kami pun terus senda gurau. Iya, warung kopi. Tempat yang
kami pilih ini memang sederajat dengan kita. Di sana kita dibebaskan berbicara
apa saja. Termasuk nyindir para mantri yang korupsi. Gini-gini kita juga update berita. Biasanya kita cuma pinjam
pada penjual koran dan membacanya sekilas.
Jam
terus berputar, hingga kami pun lanjut melangkah.
“Nah,
ini seru ini kayaknya!”
Kami
berhenti di Panti Asuhan Tali Asih. Tampak dengan jelas, bahwa yayasan ini
milik pemerintah. Kami minta izin pada penjaganya dan mencoba menghibur para
anak yang ada di sana. Dan betapa terbawa arusnya kami, sampai-sampai kita
menggendong anak yang ada di sana. Cuma itu, mengingat, kami hanya beralatkan
gitar, gendang dan juga kicir yang kami buat dari tutup botol softdrink. Hingga ada dua orang yang menganggur
dan hanya bertepuk tangan. Namun, kami juga tak dapat mengandalkannya. Kita
semua wajib bisa memainkan alat-alat itu, jadi mobilitas untuk saling bergantian
itu sering kali kita lakukan.
“Jreeeeng!” bunyi penutup dari kami. Dan
semuanya bertepuk tangan. Inilah kebahagiaan nyata yang kami harapkan. Walau
sang penjaga panti cuma memberi sepiring tahu goreng dan juga uang receh, kita
cukup bahagia. Tak perlu sedu-sedan buat ini semua.
Kita
beralih dan nampang lagi di pertengahan jalan raya. Kebetulan lampu merah. Kita
beraksi kembali. Kali ini kami membawa lagu Bollywood, yang cukup tersohor juga
di Indonesia: Chayya-chayya.
Benar-benar kami totalitas bergoyang. Namun tiba-tiba, gatal si Yundre kumat
lagi, sedikit kami tertawa terbahak. Namun setelah dia terjatuh lunglai, maka
kami panik, dan mengangkatnya.
“Hanya
dibelikan air mungkin sudah cukup,” si Bolang berkata. Dan yang lain tetap
melanjutkan acara mengamennya.
“Cukup
seru juga,” komentar seorang bapak yang ada di dalam mobil bercatkan hitam.
Waktu lampu merah sudah hampir selesai, dan seperti biasa, yang lain minggir,
dan si Kotpa mencoba meminta belasan dari para pengguna jalan. Sedikit tidak terasa, hingga lampu hijau berkelip kembali.
Tet..teett…
si Kotpa mencoba minggir. Begitu hampir sampai di pinggir, eh ternyata, motor matic menyambar tubuhnya. Waduh, kami
sempat terperanjat sebentar di sana. Bingung juga, mau menyelamatkan dia, dan
juga menjaga si Yundre. Tapi, Yondre malah lari sekencang kilat, dan berusaha
menghadang dan menghajar di pemilik motor silver itu. Kami bertiga meminggirkan
Kotpa, sementara Rusli dan Yundre mengahajar si pemilik motor. Sempat macet
juga bila kami pandang, namun bodoh amat, toh itu teman kita yang ketabrak.
Selang
beberapa menit, polisi pun datang dan mengamankan kita semua. Namun na’as,
ketika kami mau diringkas ke Polres, si Yundre pingsan. Polisinya juga
kelihatan bingung ini harus apa. Maka temanku yang lain juga membantu mengangkatnya
ke dalam mobil polisi. Kali ini, sebelum kami mampir ke Polres, kami diantar ke
Rumah Sakit untuk memeriksakan keadaan rekan kami. Entah apa yang dilakukan paramedis
hingga memakan waktu yang cukup lama di sana.
Dokter
pun keluar dari kamar pasien, bergegas menemui kami bertiga.
“Rekan
Anda, keadaannya cukup parah. Ada beberapa bagian tubuh Kotpa yang sobek hingga
kami memutuskan untuk menjahitnya. Tapi dia tidak apa-apa, mungkin butuh rawat
inap di sini hingga keadaanya benar-benar pulih.”
“Astaga.
Ini apa-apaan? Jangankan beberapa hari, sehari pun kami belum tentu mampu untuk
membayarnya,” batinku belum usai, dipotong oleh si Itong, “Kalau si Yundre
tidak apa-apa, ‘kan?”
“Dia
terkena penyakit Sifilis yang cukup berbahaya, dan keadaanya sungguh sudah di luar
kemampuan kami.”
Merintih
hati ini mendengarnya, semuanya mungkin memang sudah diatur olehNya, namun
apakah ini harus terjadi juga pada kami yang tak berdaya? Tuhan, jalanMu memang
bijak, namun apakah kebijakannya juga menyengsarakan kami. Terima atau tidak,
inilah yang terjadi. Dan setelah mendengar itu semua, baru aku ditangkap dan
dibawa ke Polres. Hanya Itong dan juga Bolanglah yang tinggal di sana dan
terdiam buat memikirkan semuanya. Cerita bersama teman-temannya, canda tawa, terus
terbayang di benaknya. Mengelilingi kebahagiaan kecil dari sebuah ketidakadaan.
Tewaslah dirinya bila terus begini
”Sudah,
aku mau pergi,” kata si Bolang, dengan muka tertunduk ia melangkah. Dan si
Itong, masih terperanjat dalam dukanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar