Saat pagi datang menyambut mentari
dengan senyuman bahagia ayah serta bundaku. Kicauan burung serta tetesan lembut
embun pagi membuatku merasakan lengkapnya kebahagiaan dalam sisi hidupku. Pagi
itu pukul 05.00 sudah jadwalku untuk bangun dan bersiap-siap untuk pergi
sekolah. Namaku Raisa. Aku siswi SMP YP 17 yang
masih duduk di bangku kelas 9. Pagi itu bundaku membangunkanku yang sedang tertidur
pulas.
“Raisa, ayo bangun, Sayang, sudah pagi.”“Iya, Bun.”
“Ya sudah kalau sudah bangun langsung mandi, ya?”
“Iya, Bunda.” Beberapa menit berlalu aku pun telah selesai mempersiapkan diriku untuk pergi ke sekolah.
“Bunda, Raisa berangkat sekolah dulu, ya. Assalamullaikum.”
“Eh, Raisa tunggu”
“Ada apa, Bun?”
“Ini bekalnya ketinggalan.”
“Oh, iya. Raisa lupa. Makasih ya, Bun.”
“Iya sama-sama, Sayang.”
“Ya sudah kalau gitu, Ayah, Bunda, Raisa berangkat dulu, ya. Assalamualaikum.”
“Wa’allaikumsallam.”
Saat itu aku
menikmati perjalananku dengan senyuman.
Beberapa dari tetanggaku
bersahutan untuk menyapaku.
Aku pun hanya
membalasnya dengan ucapan dan senyuman kecilku. Tak lama kemudian aku pun
sampai di depan gerbang sekolahku tercinta. Saat itu satpam sekolahku menyapa
serta bertanya padaku.
“Pagi, Raisa.”
“Pagi, Pak.”
“Kok tumben datangnya pagi-pagi sekali?”
“Iya, Pak soalnya Bunda saya bangunin saya pagi sekali. Takutnya entar telat. Kata Bunda saya sih gitu.”
“Oh gitu, bundanya Raisa perhatian sekali ya, sama Raisa. Pasti Raisa sayang sekali sama bundanya, ya?”
“ya dong, Pak. Ya sudah Raisa masuk kelas dulu ya, Pak?”
“Iya silakan.”
“Permisi, Pak.”
“Pagi, Raisa.”
“Pagi, Pak.”
“Kok tumben datangnya pagi-pagi sekali?”
“Iya, Pak soalnya Bunda saya bangunin saya pagi sekali. Takutnya entar telat. Kata Bunda saya sih gitu.”
“Oh gitu, bundanya Raisa perhatian sekali ya, sama Raisa. Pasti Raisa sayang sekali sama bundanya, ya?”
“ya dong, Pak. Ya sudah Raisa masuk kelas dulu ya, Pak?”
“Iya silakan.”
“Permisi, Pak.”
Setelah
sampainya di kelas, seperti
biasa, kelakuanku kalau nggak latihan vokal ya bikin puisi. Tak lama kemudian salah
satu teman kelasku yang bernama Nindi
datang dan menghampiriku.
“Assallamuallaikum.”
“Wa’allaikumsallam.”
“Eh, ada Raisa. Pagi sekali kamu datang?”
“Enggak, aku barusan datang kok.”
“Oh. Eh, ngomong-ngomong kamu lagi bikin apa?”
“Lagi bikin puisi”
“Aku boleh lihat nggak?”
“Boleh.”
“Coba aku lihat. Wah, karya puisi kamu bagus sekali.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Eh, ngomong-ngomong orangtua kamu tahu nggak, kalau kamu punya bakat bikin puisi kayak gini?”
“Enggak”
“Lho? Kenapa?”
“Aku takut mereka kecewa sama aku, Nin, karena mereka ingin sekali melihat aku sukses menjadi seorang dokter.”
“Sekarang aku tanya, kamu merasa punya bakat jadi dokter nggak?”
“Enggak”
“Makanya, Sa, bakat seperti kamu itu jarang dipunyai orang lain. Kalau nggak kamu kembangin gimana kamu bisa tau kemampuan kamu sampai mana?”
“Iya juga sih.”
“Lagian orangtua kamu ‘kan penyabar, perhatian sama kamu, sayang lagi sama kamu. Nggak kayak orangtuaku yang selalu sibuk sama pekerjaannya dan nggak pernah ada waktu buat aku.”
“Husstt.... nggak boleh gitu, Nindi. Gimana pun juga mereka juga orangtua kamu. Mereka seperti ini itu juga untuk kamu untuk ngebiayain sekolah kamu, makan, belum juga biaya keseharian kamu. Ya, ‘kan?”
“Iya sih.”
“Makannya, kamu jangan ngomong gitu lagi, ya”
“Iya, Sa, makasih ya udah nyadarin aku kalau selama ini perasangka burukku ke orangtuaku itu salah.”
“Iya, sama-sama, yang penting tugas kamu itu cuma belajar, belajar, dan belajar”.
“Wa’allaikumsallam.”
“Eh, ada Raisa. Pagi sekali kamu datang?”
“Enggak, aku barusan datang kok.”
“Oh. Eh, ngomong-ngomong kamu lagi bikin apa?”
“Lagi bikin puisi”
“Aku boleh lihat nggak?”
“Boleh.”
“Coba aku lihat. Wah, karya puisi kamu bagus sekali.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Eh, ngomong-ngomong orangtua kamu tahu nggak, kalau kamu punya bakat bikin puisi kayak gini?”
“Enggak”
“Lho? Kenapa?”
“Aku takut mereka kecewa sama aku, Nin, karena mereka ingin sekali melihat aku sukses menjadi seorang dokter.”
“Sekarang aku tanya, kamu merasa punya bakat jadi dokter nggak?”
“Enggak”
“Makanya, Sa, bakat seperti kamu itu jarang dipunyai orang lain. Kalau nggak kamu kembangin gimana kamu bisa tau kemampuan kamu sampai mana?”
“Iya juga sih.”
“Lagian orangtua kamu ‘kan penyabar, perhatian sama kamu, sayang lagi sama kamu. Nggak kayak orangtuaku yang selalu sibuk sama pekerjaannya dan nggak pernah ada waktu buat aku.”
“Husstt.... nggak boleh gitu, Nindi. Gimana pun juga mereka juga orangtua kamu. Mereka seperti ini itu juga untuk kamu untuk ngebiayain sekolah kamu, makan, belum juga biaya keseharian kamu. Ya, ‘kan?”
“Iya sih.”
“Makannya, kamu jangan ngomong gitu lagi, ya”
“Iya, Sa, makasih ya udah nyadarin aku kalau selama ini perasangka burukku ke orangtuaku itu salah.”
“Iya, sama-sama, yang penting tugas kamu itu cuma belajar, belajar, dan belajar”.
Tak terasa anak
panah jam dinding telah menunjuk ke angka 06.15 sudah seperti biasa keseharian
sekolahku yaitu pelaksanaan apel
pagi. Suasana ramai serta ditambah keceriaan dan tawa dari wajah setiap
teman-temanku menambah kebahagiaan
dalam hidupku. Tak terasa 15 menit telah berlalu dan apel pagi pun telah selesai dilaksanakan.
Pelajaran demi pelajaran telah kulalui hingga tak terasa lamanya waktu membuatku teringat akan kerinduanku kepada ayah serta bundaku. Saat mengingat keceriaan serta senyuman mereka membuatku terdiam sejenak untuk memutar kembali memori kebahagiaan itu. Saat itu guruku memegang pundakku untuk bertanya sesuatu hal padaku.
“Raisa ….”
“Iya, Bu?”
“Kamu kenapa bengong? Senyum-senyum sendiri lagi? Kamu kenapa, Sayang?”
“Raisa lagi ingat masa bahagia raisa sama orangtua Raisa aja, Bu . Kalau ingat masa itu Raisa jadi kangen sama mereka.”
“Wah, Raisa beruntung sekali ya memiliki keluarga yang sangat.... sayang sekali dengan Raisa.”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah bel pulang sekolah tinggal 10 menit lagi kok. Sebentar lagi kita semua pulang ke rumah masing-masing, ya”
“Baik, Bu.”.
Pelajaran demi pelajaran telah kulalui hingga tak terasa lamanya waktu membuatku teringat akan kerinduanku kepada ayah serta bundaku. Saat mengingat keceriaan serta senyuman mereka membuatku terdiam sejenak untuk memutar kembali memori kebahagiaan itu. Saat itu guruku memegang pundakku untuk bertanya sesuatu hal padaku.
“Raisa ….”
“Iya, Bu?”
“Kamu kenapa bengong? Senyum-senyum sendiri lagi? Kamu kenapa, Sayang?”
“Raisa lagi ingat masa bahagia raisa sama orangtua Raisa aja, Bu . Kalau ingat masa itu Raisa jadi kangen sama mereka.”
“Wah, Raisa beruntung sekali ya memiliki keluarga yang sangat.... sayang sekali dengan Raisa.”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah bel pulang sekolah tinggal 10 menit lagi kok. Sebentar lagi kita semua pulang ke rumah masing-masing, ya”
“Baik, Bu.”.
Tak terasa 10
menit berlalu. Akhirnya aku
pun
langsung beranjak pulang ke
rumah
untuk menemui ayah bundaku.
“Assallamuallaikum, Ayah, Bunda … Raisa pulang.”
“Wa’allaikumsallam. Wah, anak bunda udah pulang. Ayah, ini lho Raisa udah pulang.”
“Mana peri kecil Ayah?”
“Ayah, Raisa di sini.”
“Wah, gimana tadi sekolahnya? Kayaknya seneng banget nih?”
“Iya dong, sekolahnya seru kok, Yah”
“Ya sudah. Raisa pasti laper”
“Iya. Kok Ayah tau?”
“Taulah. ‘Kan kebiasaannya anaknya Ayah gitu.”
“Hehehehe....jadi malu.”
“Ya udah, Bunda, masakannya udah siap belum”
“Udah, Yah”
“Ya sudah ayo kita makan bareng”
“Assallamuallaikum, Ayah, Bunda … Raisa pulang.”
“Wa’allaikumsallam. Wah, anak bunda udah pulang. Ayah, ini lho Raisa udah pulang.”
“Mana peri kecil Ayah?”
“Ayah, Raisa di sini.”
“Wah, gimana tadi sekolahnya? Kayaknya seneng banget nih?”
“Iya dong, sekolahnya seru kok, Yah”
“Ya sudah. Raisa pasti laper”
“Iya. Kok Ayah tau?”
“Taulah. ‘Kan kebiasaannya anaknya Ayah gitu.”
“Hehehehe....jadi malu.”
“Ya udah, Bunda, masakannya udah siap belum”
“Udah, Yah”
“Ya sudah ayo kita makan bareng”
“Ayo!”
“Eits.. ganti baju dulu.”
“Oh iya Raisa lupa.”
“Eits.. ganti baju dulu.”
“Oh iya Raisa lupa.”
Setelahnya ganti
baju, aku pun langsung
menuju meja makan dan makan bersama dengan ayah dan bundaku tersayang. Saat itu
aku mencoba untuk bertanya tentang apa yang diucapkan Nindi tadi.
“Hmmm, Ayah, Bunda?”
“Iya ada apa, Sayang?”
“Yah, Raisa ‘kan punya bakat bikin puisi tapi … ehmm, eh tapi kalau Ayah nggak ngizinin nggak papa kok. Raisa juga nggak maksa.”
“Sayang, Ayah sama Bunda itu selalu mendukung apa yang kamu impikan.”
“Ayah serius? Bukannya Ayah ingin Raisa jadi dokter?”
“Tapi itu kan bukan bakat kamu.”
“Jadi Ayah sama Bunda ngedukung Raisa?”
“Iya, Sayang.”
“Terima kasih ya, Ayah, Bunda. Raisa sayang sekali sama Ayah dan Bunda”.
“Hmmm, Ayah, Bunda?”
“Iya ada apa, Sayang?”
“Yah, Raisa ‘kan punya bakat bikin puisi tapi … ehmm, eh tapi kalau Ayah nggak ngizinin nggak papa kok. Raisa juga nggak maksa.”
“Sayang, Ayah sama Bunda itu selalu mendukung apa yang kamu impikan.”
“Ayah serius? Bukannya Ayah ingin Raisa jadi dokter?”
“Tapi itu kan bukan bakat kamu.”
“Jadi Ayah sama Bunda ngedukung Raisa?”
“Iya, Sayang.”
“Terima kasih ya, Ayah, Bunda. Raisa sayang sekali sama Ayah dan Bunda”.
Saat itu aku
hanya dapat berkata dalam hati kecilku. “terimakasih
ya allah kau telah berikan aku keluarga yang sangat menyayangiku serta sangat
mendukungku dengan bakat apa yang aku miliki saat ini, yang hanya dapat kuberikan
untuk mu ayah bundaku hanyalah senyuman serta hasil yang akan ku gapai
nantinya”.
Satu karyaku yang dapat kupersembahkan
untukmu ayah bundaku:
“Kaulah Malaikatku”
malam berganti pagi
bulan yang di dampingi bintang
kini telah hilang digantikan oleh sang mentari
kicauan burung kecil serta tetes embun pagi lah
yang dapat kurasakan saat hadir pertama senyuman ayah dan bundaku
terimakasih ya allah
kau telah persembahkan padaku
para malaikat yang siap merangkulku
saat senang,sedih maupun saatku rapuh
bahagiamu adalah bahagiaku
tangismu adalah tangisku
dan bintang lah perhiasan yang kau beikan untukku
untuk menjadi pendamping malamku
karena hanya engkaulah(ayah bundaku)
permata dunia dan permata akhirat ku untuk selamanya
dan karena engkau(ayah bundaku) malaikat yang selalu temaniku
saat ku terdiam maupun disaatku sendiri dalam lelap malam ku.
*Oleh:
Vira
Yanuar Ramadhani, siswi kelas IX-A, SMP YP 17 Surabaya
Overall not bad untuk siswa SMP. Dia potensial. Tapi tulisannya masih miskin diksi.(comented by Mas Eko Prasetyo, pengajar di Sirikit School of Writing, eks editor Jawa Pos)
BalasHapus